Bab 12 - Reino del Velasco

Grande Porto, Kerajaan Velasco

Dybala digendong oleh sang ayah menuju ke pasar ibukota membawa serta kedua adiknya. Sepanjang perjalanan di dalam kota dengan benteng yang kokoh itu, Dybala tidak jemu-jemu memperhatikan keadaan di sekelilingnya.

Sebagian besar penduduk Grande Porto dengan penuh kebanggaan menamakan diri mereka sebagai bagian daripada bangsa Portu. Kebudayaan Portu adalah budaya yang dominan di wilayah barat daya dan bagian barat benua.

Pada wilayah-wilayah barat laut, mereka adalah minoritas yang cukup besar jumlahnya. Kerajaan Velasco berbatasan langsung dengan Kekaisaran Italianica, negara terbesar di benua Dorado.

Dua kerajaan besar lain yang dikuasai oleh etnis Portu adalah Famalicao di ujung barat dan Kekaisaran Chaves di barat laut. Populasi mayoritas di Chavez adalah bangsa Spaniardo.

"Huh Ayah pilih kasih aku juga ingin digendong!" sahut Tiago. Tidak mengerti dengan keadaan kakaknya.

"Pergi sana!" bentak Enzo hendak memukulnya. Kegusaran yang sejak berada di dalam hatinya belum hilang meski sudah diajak ke ibukota.

"Jangan terlalu kasar kalau dengan adik ya," balas Dybala.

"Habis dia ini selalu saja, membuat orang lain kesal."

"Ya sudah sekarang giliran Tiago yang digendong, setelah itu Enzo. Ayah boleh turunkan aku sekarang?"

"Tidak perlu, ini minggu-minggu spesial untukmu. Apalagi sudah lama ayahmu ini belum pulang kan? tubuhmu terasa sangat ringan ...," balas Javier tersenyum kepadanya.

"Aneh ya ayah padahal aku sudah makan dan berlatih banyak. Aku yakin kalau memakan jajanan pasar yang enak nanti, Cambiaso Dybala akan cepat sembuh!" dia sangat yakin dengan ucapannya.

"Hoho akan ayah beli semuanya untuk Dybala."

Enzo tidak kuasa menahan air matanya. Pada malam kembalinya sang ayah dari perang untuk membela Velasco, Enzo mengintip dari balik kamar orang tuanya. Keduanya sedang membicarakan kesehatan Dybala yang semakin menurun.

"Enzo kau kenapa!?" sahut Dybala. Dia segera memberontak minta diturunkan.

"Jangan nakal Dybala," balas Javier menyuruhnya untuk diam.

"Ayah sekarang giliran Tiago!"

Dybala diturunkan oleh ayahnya dalam posisi duduk. Dia hanya mampu menggerakkan kakinya, tetapi tidak mempunyai kekuatan untuk berdiri. Tiago yang berada di bahu ayahnya, menyuruhnya untuk menuju ke pasar.

"Enzo jaga abangmu, ayah mau beli jajanan untuk Dybala dulu." perintah sang ayah.

"Baik aku akan menjaga kakak," balas Enzo mengusap air matanya.

"Kau itu kenapa menangis?"

"Aku hanya sedih saja ... Tiago itu jahat sekali. Aku sebenarnya benci dia!"

Buk!

"Mulutmu itu terlalu kotor dasar bodoh," ujar Dybala setelah menghajarnya. Saat hendak berdiri, dia terjatuh di atas jalan bebatuan khusus untuk kota.

"Kak jangan paksakan diri," Enzo segera membantunya berdiri.

"Tenang saja abangmu ini dalam beberapa hari akan sembuh."

"Tapi tubuhmu tambah kurus ...," ucap Enzo kembali menangis. Dia tidak sanggup memberitahukan kepada kakaknya, kalau kedua orang tua mereka mengatakan ada kemungkinan besar dia akan mati.

Dybala tertegun ketika melihat seekor basilisk raksasa yang terbang rendah di hadapannya. Satu cakar dari monster itu lebih besar dari tubuhnya. Enzo tidak melihatnya, dia hanya menangis.

"Abang tadi ada kadal besar sekali!" teriak Tiago. Membuat perumpamaan dengan tangannya hingga makanannya terjatuh.

"Ah aku mau pulang, aku tidak mau kehilangan Dybala!" Enzo merajuk saat melihat Tiago. Anak itu langsung berlari menjauh tanpa mempedulikan arah mana dia pergi.

"Dybala istirahat saja, tidak per--," Javier terkejut melihat anaknya yang telah terjatuh di atas tanah.

"Cepat ayah nanti Enzo hilang," balas Dybala menepis tangan Javier. Dia mencoba untuk berdiri dengan tangannya sendiri.

Pandangan Dybala berkunang-kunang, keringat mengucur deras di wajahnya. Aura kecil yang memancar dari tubuhnya dengan cepat berubah menjadi percikan-percikan listrik tanpa ia sadari. Dybala berjalan cepat mencoba untuk mencari Enzo.

"Sudah ayah bilang Dybala!" bentak Javier, mengguncangkan tubuh anaknya. Sebenarnya Dybala berjalan dalam keadaan tidak sadarkan diri.

"Ayah ada apa?" Tiago tiba-tiba menangis.

"Tiago jangan merajuk sekarang! Ikut ayah ke tabib," tegasnya.

Satu bulan telah berlalu sejak kepergian tiga bersaudara itu ke Grande Porto. Dybala hanya mampu menghabiskan sebagian besar harinya duduk di dalam kamar. Dia masih belum dapat menggerakkan tubuh bagian bawahnya.

"Dybala mau pipis?" Benedetta mengetuk pintu kamarnya.

"Sungguh memalukan, aku ini sudah besar ibu." jawabnya. Dia menutup wajahnya dengan bantal.

"Hehe ayah tahu kau pasti menutup wajahmu dengan bantal kan? sekarang anak ayah sudah mewarisi kekuatan ibunya." Javier merasa lebih bersemangat setelah mendengarkan suara putra pertamanya.

"Baik Ayah nanti kalau aku sudah sembuh ajari ya."

"Huh ... lebih sesuai belajar sama Ibu. Ayahmu ini kan pengguna elemen tanah." Benedetta merasa sedikit kesal karena Dybala lebih ingin berlatih kepada ayahnya.

"Untuk masalah aura dasar semua elemen sama saja Istriku. Dengar Dybala, bukan anak ayah kalau tidak pemberani. Jangan lupa orang tua Torres dan Mateo bilang anaknya mau ke sini. Tunjukan pada mereka siapa yang lebih kuat!" tegas Javier.

"Yah jari kakiku masih dapat bergerak ...," gumamnya. Percaya kalau mungkin suatu hari dia akan bisa berjalan kembali.

Setelah kedua orang tuanya pergi mencari ikan, Dybala melakukan pemusatan aura pada kedua tangannya. Tanpa sepengatahuan Benedetta dan Javier, Dybala telah berlatih menguatkan auranya secara otodidak.

"Darah lagi!" gumam Dybala segera mengusap hidungnya. Torres dan Mateo sangat terkejut saat melihat bekas darah di selimut ranjang teman mereka.

"Maaf kita tidak tahu keadaanmu sudah separah ini!" sahut Torres.

"Justru karena itu keadaanku sudah lebih baik. Aku semakin mendekati kesembuhan kata tabib," jawab Dybala menunjukan pergerakan jari di kakinya.

"Sudah hampir 2 minggu kita tidak main ke sini hehe. Ini ibu titip kue coklatnya, kesukaanmu." Mateo mengeluarkan kue tersebut dari wadahnya.

"Bagaimana?" lanjutnya.

"Iya Mateo ak--," Dybala dipaksa untuk memakan kuenya dari tangan Mateo.

"Apa maksudnya ...."

"Maksudnya makan ya makan apa susahnya hahaha." Torres ikut memasukan makanan ke mulut.

"Onyonyom tersedak nyomnyom ...."

Dybala tiba-tiba menitikkan air mata, bukan karena rasa sedih tapi dia bahagia. Hampir semua penduduk kampung datang untuk menjenguknya. Torres dan Mateo berpikir kalau Dybala menangis karena merasa kesakitan.

"Hey ayah bilang minum potion ini, hanya setengah saja kalau untuk anak seumuran kita." Torres memberikan racikan obat itu dari ayahnya.

"Kau boleh ajari aku cara membuatnya tidak," tanya Dybala.

"Mana aku tahu, aku saja baru membangkitkan kekuatan elemenku. Ayahku bilang dia mengalirkan sebagian auranya ketika bahan-bahan yang diperlukan telah terkumpul. Aura itu kalau dibiarkan beberapa hari akan meluruh dan menyatu, menghasilkan manfaat."

"Eh jadi selama ini kita meminum keringat orang ...," balas Mateo. Dia merasa sangat kaget.

Dybala, Mateo dan Torres menunduk lesu sejenak. Terutama Mateo, dia sering mencuri potion ketika orang tuanya pergi mencari ikan. Dia selalu menambahkan gula ketika hendak meminumnya.

"Torres ke mana Emilia?" Dybala merasa heran. Kenapa gadis itu belum pergi berkunjung.

"Teman perempuannya bilang iya, tetapi dia belum datang."

"Malah temannya Emilia yang sudah datang ke sini. Minggu kemarin ada tiga orang."

Pada malam harinya, Dybala tidak dapat tidur dan lebih fokus melatih kekuatan auranya. Dia terus memikirkan apa sebabnya Emilia tidak mau berteman dengannya lagi. Apakah karena dia sekarang sudah menjadi lumpuh.

Ketika sedang melamun, kadang dia sering mengkhayal membelikannya kelereng atau boneka baru. Tanpa sadar darah mengucur deras dari hidungnya, tetapi sesaat dia berhasil menirukan aura yang melapisi tubuh Benedetta saat melawan monster kepiting lacerar.

"Dybala mau pipis?" Benedetta langsung saja membuka pintu kamar anaknya.

Sang ibu sangat terkejut saat selimutnya berlumuran darah. Dybala mengalami kesulitan bernafas. Sejak itu ia sudah tidak diperbolehkan lagi untuk mengetahui lebih banyak tentang teknik penggunaan aura oleh ayahnya.

Dybala dapat kembali berjalan dua tahun kemudian. Selama sedang sakit, dia terus berusaha untuk menyempurnakan tekniknya secara sembunyi-sembunyi tanpa diketahui orang lain.

–>

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!