Salah seorang penjaga yang masih tampak sangat muda membuka pintu ruangan dan mematikan obor. Pertanda bahwa waktu malam telah tiba. Coentrao dan Stefano yang sudah paling uzur tidur lebih awal daripada rekan tahanan mereka yang lain.
"Aku tahu ini berat untukmu nak. Akan tetapi kau harus terus...," ucap Arroyo sembari memejamkan mata. Dia merasa iba dengan keadaan Dybala.
Heeh ...
Dybala mencoba menahan ringisannya, beberapa tetesan air dari atas merintik ke atas tubuhnya. Membasahi luka akibat pukulan penjaga bengis tadi dan cedera yang diterimanya saat bertarung melawan Lautaro.
Tanpa selimut, bantal dan hanya beralaskan tanah dan butiran kerikil. Dybala dapat tertidur dengan cepat karena tubuhnya yang sudah sangat lemah.
Dybala tiba-tiba saja terbangun di antara ladang tanaman gandum yang menghampar sejauh mata memandang. Dia mendapati ada sebuah kastil besar dengan bendera Baron of Porto, tidak salah lagi ini adalah kampung halamannya.
"Mimpi ini sungguh seperti nyata," Dybala berjalan tanpa rasa sakit. Tubuhnya ringan dan ia merasakan tidak ada yang berbeda dari auranya.
Teknik Halilintar: Langkah Kilat!
Psshht!
Dybala ingin langsung menemui orang tuanya. Saat berada di tengah perjalan, tiba-tiba ia berpapasan dengan gadis manis yang sangat dikenalnya. Dia memiliki perawakan berambut coklat panjang dengan mata berwarna biru, tetapi dari penampilannya dia memakai pakaian mewah.
Emilia yang Dybala kenal hanya anak seorang nelayan. Tidak ada bedanya dengan dirinya. Kenapa dalam mimpi itu gadis ini berpakaian layaknya seorang bangsawan.
"Emilia tunggu!" meski hanya di dalam mimpi, ada banyak hal yang ingin dia tanyakan.
Hihiek!
Kuda yang menarik keretanya meringkik, Emilia keluar dari dalam seperti melayang. Sungguh cepat gerakannya masuk ke dalam ladang yang rimbun, Dybala baru menyadari bahwa ladang-ladang yang ia lewati seperti tiada ujungnya.
"Sebenarnya apa maksud mimpi ini?" gumam Dybala. Emilia bergerak sangat cepat dan keberadaannya semakin jauh. Kecepatan itu benar-benar tak terbayang olehnya, langkah kilat bagaikan gurauan di hadapan gerakan Emilia.
"Hey Emilia mari kita bicara!" teriak Dybala, tiba-tiba dia mengeluarkan tangisan darah.
Emilia tiba-tiba berhenti berjalan, gadis itu melangkah mundur kemudian menatapnya dengan lubang menganga di bagian mata.
—
Haaaaa!
"Emilia!" teriak Dybala, mendapati dirinya kembali ke dalam ruangan yang gelap dan sempit.
"Berisiknya ini masih malam sialan!" bentak Coentrao seraya melempar kerikil ke arahnya.
"Pasti anak ini lagi, keberadaannya hanya membuat ruangan ini bertambah sempit." ketus Joao.
"Aku setuju Joao, belum tahu dia keganasanku dulu. Lebih baik kita injak saja anak kecil ini ramai-ramai sampai mati!" Iaquinta tidak dapat menahan lagi emosinya.
"Ini bukan sepenuhnya salah Dybala, mungkin kau tadi yang berteriak." Stefano baru terbangun dari tidurnya.
"Kau ini sehabis mimpi apa hidung bolong!?" Joao mengatakannya di depan wajah Stefano. Iaquinta dan Coentrao ikut menatapnya dengan tajam. Mereka bertiga tidak akan segan untuk menghabisi kedua rekan kamarnya itu apabila masih membela Dybala.
"Apa kalian tidak ada yang bisa diam," ucap Arroyo berbaring menghadap ke dinding.
Cet!
Pintu kamar terbuka. "Bagus terus saja berbalah, ayo terus?" ucap Penjaga Bengis kemarin yang menghajar Dybala. Dia membawakan sarapan untuk mereka.
"Ah tidak tuan ... ini hanya sekedar salah paham. Kami sedang bergurau, siapa yang menang di arena bawah tanah nanti." Joao mengatakannya sambil berkeringat dingin.
"Hoho kau bisa juga membuat ekspresi seperti itu pencuri artefak ... ah bukan mata-mata Italianica. Berterima kasihlah pada kenalan Putri Sofia ini," ujar penjaga itu sambil memberikan mereka makanan.
Kuah sup habis dalam waktu singkat, tawanan hanya diberi makan satu kali dalam sehari. Tidak ada di antara mereka yang berani mengeluh saat Dybala diberi porsi makan yang lebih banyak. Dia diberikan ointment (sejenis obat salep dari zaitun) sebelum penjaga itu memberi makan tawanan lain.
"Kenyangnya ..." celetuk Dybala sambil meraba-raba perutnya.
"Nikmatilah karena itu makanan terakhirmu hahaha," balas Joao.
"Jangan merusak suasana Joao, kita baru saja sarapan tadi. Makanannya juga sedikit lebih enak dari biasanya," balas Coentrao.
"Cuh! garam lebih sedikit kau bilang enak," sahut Iaquinta sambil meludah beberapa kali ke luar kamar penjara.
"Hey Paez ada yang meludah," ucap seorang penjaga.
"Kamar ini lagi! padahal aku sudah bersikap sedikit lembut pada mereka tadi. Kali akan aku beri pelajaran pada kalian semua," Paez sebagai penjaga yang sudah senior menyuruh penjaga lain untuk menyeret mereka keluar. Dybala adalah pengecualian.
Pemuda itu dipakaikan penutup mata dan dituntun oleh tiga orang penjaga segera menuju ke arena bawah tanah.
"Sialan sama sekali tidak ada celah, mustahil untuk menyuap mereka. Aku pasti dianggap anak kecil yang tidak berdaya," gumam Dybala.
Saat matanya kembali terbuka, belenggu yang berada di tangan dan kakinya telah menghilang. Para penjaga dan tawanan yang merasa kebosanan menonton dengan antusias. Dybala kembali dibuat kecewa, seperti tidak ada harapan untuk dapat kabur dari pulau ini.
Berharap Sofia akan menolongnya adalah hal yang naif dan konyol. Setidaknya kalau ada bangsawan yang diperbolehkan untuk menonton, dia bisa saja memanfaatkan hal itu. Tidak ada pilihan lain kecuali mengikuti kemauan mereka sembari mengamati situasi.
Setelah 60 tahun pendiriannya oleh Raja Joselu yang kala itu masih menjadi bawahan dari Ballena, orang yang berhasil kabur dari Pulau La Muerte del Sur dapat dihitung menggunakan jari. Banyak dari para veteran perang yang sudah berpengalaman pun gagal untuk meloloskan diri.
Pulau ini terletak di ujung selatan Duchy, berbatasan dengan wilayah Lamh Laidir daripada Federasi Gaelik.
Untuk saat ini hanya itu yang diketahui Dybala. "Hanya tercium sedikit amis darah," gumamnya sembari mengambil gada.
Sebelum naik ke atas gelanggang, Dybala mendapati bahwa Arroyo tampak gemetar saat memilih senjata di atas meja.
"Paez!" teriak Dybala.
"Hahaha dasar anak bodoh, kau pikir aku tidak membuang sarapan kalian tadi karena apa!?" Paez merasa terhibur akan drama yang sebentar lagi terjadi di Arena Bawah Tanah.
"Ayo nak hantam kepalanya! jangan naif dan konyol, tunggu apa lagi?" seru prajurit yang lain.
Uuuooohhh!
Mereka semakin tidak sabar untuk melihat pertandingan dimulai. Baik penjaga ataupun tawanan sama buasnya.
"Nak maafkan diriku," ujar Arroyo sembari mengambil pedang. Dia mengaliri pedang itu dengan aura yang besar.
"Tidak perlu meminta maaf, justru aku yang harus berterima kasih pada Paman. Andai pertemuan dengan Paman Arroyo bukan dalam situasi memuakan seperti ini." ucap Dybala sembari memperbesar auranya. Kilatan listrik mulai muncul menyelimuti tubuhnya.
Huek!
Saat Dybala hendak melarikan diri dengan menggunakan langkah kilat, dia memuntahkan darah dikarenakan kuasa auranya yang melemah.
Teknik Halilintar: Sangkar Burung!
Kilatan-kilatan listrik membentuk sangkar kubus besar yang mengurung targetnya. Pandangan Dybala menjadi kabur dengan pendarahan di bagian mata, hidung dan telinga. Tidak ada pilihan lain selain harus bertarung.
—>
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments