Kamar yang dulu Seulbi tempati sebelum menikah ada di lantai dua, Rain ada di sana sekarang. Mengedar langkah dan pandangan meneliti semua bagian di ruangan semi monokrom itu. Ranjang rapi dengan sprei dan selimut senada hitam bercorak tetesan hujan.
Rain ingat, dari dulu semua barang milik Seulbi rata-rata berwarna hitam. Dia tak habis pikir, ternyata sekarang pun masih. Dan corak di selimut itu ... Seulbi juga sangat menyukai ... hujan. Ya, hujan. Dan hujan adalah arti dari namanya.
Seketika Rain tercenung mengingat itu.
Si gendut mata kodok tidak akan peduli apa pun termasuk buku pelajarannya akan basah. Bila hujan turun, anak itu akan langsung terjun. Tertawa-tawa dan berteriak seperti orang gila seraya melompat-lompat.
Lalu kesenangan itu, apakah ada hubungan kuat dengan namanya?
Dalam sekian saat Rain memikirkannya, namun tak menemukan jawaban apa pun. Dia jadi merasa bodoh sendiri dan terlalu percaya diri.
Seulbi mungkin menyukai hujan sedari kecil, dan dia--Rain, memiliki nama yang kebetulan bermakna sama.
Rain menggeleng, berhenti mengutuk diri. Kemudian beralih edar ke dinding di sebelah kiri.
Banyak koleksi foto-foto Seulbi saat bernyanyi sebagai Mocca di berbagai kafe, Rain menanggapi itu dengan senyuman kecut. Dia sungguh jatuh cinta pada wanita itu saat awal dipertemukan, namun langsung luntur rasa sukanya tersebut sekaligus saat mengetahui bahwa Mocca ternyata adalah si kodok.
Entah harus menyesali dengan cara apa, wanita itu kini bahkan telah dinikahinya.
Sudahlah, mari lupakan yang satu itu.
Pandangan Rain beralih ke rak putih berisi ragam jenis buku dan pernak-pernik. Mula dari kumpulan novel, komik, majalah musik, hingga boneka-boneka kecil tiruan tokoh animasi, ada doraemon hingga olaf si boneka salju, dia menatap tanpa menyentuh.
"Kau masih kekanakkan saja," komentarnya nyinyir, mengingat usia Seulbi kini menanjak angka 27.
Sampai kemudian pasang matanya menemukan sesuatu yang mencurigakan. Sebuah bingkai foto yang ditelungkupkan di susunan rak paling bawah ditutupi sebuah buku, seperti sengaja disembunyikan.
Mengikuti rasa penasaran, Rain mengambil vas foto itu lalu membaliknya.
Terpampang gambaran pose yang secara langsung membulatkan bola matanya. Walaupun nampak usang dan sedikit berdebu, dia sangat mengenali siapa dua sosok bertabrakan ekspresi yang ada di dalam bingkai berkaca itu.
"Ini ... dia masih menyimpan ini." Rain menelan ludah dengan mata melotot.
Itu adalah foto dirinya dan Seulbi yang diambil saat kelulusan SMA oleh Yujin bertahun silam.
Terlihat di potret itu wajahnya cemberut karena terpaksa mengikuti keinginan sang ibu, sedangkan Seulbi nampak bahagia dengan senyuman lebar tanpa dibuat-buat.
"Dulu aku bahkan tak ingin melihatnya," gumam Rain, tersenyum pahit, mengingat kenangan yang baginya tidak patut untuk dikenang. Tapi sekarang dia jadi tak yakin dengan statement yang dibuatnya sendiri itu.
Saat itu Yujin bersikap adil, foto dibuat menjadi dua dengan gaya berbeda tipis. Satu untuk Rain, satunya lagi untuk Lee Seulbi.
Berbeda dengan Seulbi yang menyimpan baik, Rain merobek foto itu hingga menjadi remahan kecil dan berhambur, lalu membuangnya ke tempat sampah tanpa sepengetahuan siapa pun. Dia tidak ingin ada kenangan buruk di masa depan nanti.
Melihat foto itu sekarang, perasaan Rain ternyata tak sama lagi. Dia merasakan lain. Seperti kerinduan akan satu hal yang bahkan dia sendiri sulit mendeskripsikan.
"Rain!"
"Damn!!" Suara itu sontak mengejutkannya. Foto di tangan segera dengan cepat ditaruhnya kembali ke tempat asal, lalu membalik badan. "Seulbi, kau sudah selesai?" Gugup Rain bertanya.
Seulbi mengangguk. Dia baru saja kembali dari lantai satu untuk mandi. Kamar mandinya di kamar ini tidak berfungsi, tak mau keluar air. Dari matanya, ada sirat yang sepertinya lumayan merubah suasana hati yang tadi berbunga kini berubah muram.
"Kau terkejut aku masih menyimpan foto konyol itu?" celetuk tanya Seulbi, ternyata dia melihat semua yang Rain lakukan.
"Oh, foto itu ...." Rain sedikit gelagapan. "I-iya. Aku cukup terkejut. Kau ... kenapa kau masih mau menyimpannya?"
Seulbi tersenyum kecut, lalu melangkah melewati Rain untuk menghampiri meja rias di samping ranjang. "Hanya ingin saja," jawabnya sesederhana itu. Dia menyalakan pengering rambut dan mulai menggunakannya sesaat kemudian.
"Alasannya?" tanya Rain, entah basa-basi atau ingin menggali yang sebenarnya. Dia bergerak ke arah tempat tidur lalu duduk di bagian ujung. Gerak-gerik Seulbi yang sibuk mengeringkan rambut basahnya dia pandangi.
"Apa semua orang perlu alasan khusus untuk menyimpan sebuah foto?" Seulbi menjawab dengan pertanyaan.
Rain terdiam sambil berpikir, apa kiranya jawaban yang tepat untuk pertanyaan itu. Namun sebelum mendapatkan, Seulbi sudah lebih dulu menyambung, "Itu hanya foto SMA. Aku menyimpannya karena tak punya kenangan lain, kenangan bahwa diriku pernah seburuk itu."
Pandangan Rain melengak ke bayangan wajah Seulbi di dalam cermin, tertegun mendengar ungkapan yang baru saja dilontarkan wanita itu.
"Iya 'kan, Rain? Aku memang seburuk itu di matamu, bahkan sampai sekarang?"
Tertampar kedua kali, Rain merasakan obrolan ini mulai menyeretnya ke dalam ruang yang membuatnya seperti orang tolol di hadapan Seulbi. Baru tadi dia mengatakan ingin berubah menjadi suami yang pantas untuk Seulbi bahkan di hadapan Areum, ibu mertuanya, tapi sekarang ....
"Aku ..." Dia benar-benar terjebak di bidang permainannya sendiri.
Bayangan kenangan yang berlalu, mengitari pikir dan pandangannya hingga serasa 'tak ada cara membela diri. Dia banyak salah, tapi ... Seulbi juga demikian.
Kembali dia menelan ludah, pikirannya mendorong pada sesuatu yang membuatnya begitu membenci Lee Seulbi dulu.
"Lupakan saja!" Seulbi memotong tiba-tiba. Menarik Rain dari putaran masa lalunya.
"Ya, kau benar," kata Rain menyetujui. "Tidak baik mengenang masa lalu, lebih baik sekarang aku membantumu mengeringkan rambut." Akhirnya menemukan cara menghindar dari perasaan yang mulai kacau. Dengan cepat merebut hair dryer di tangan Seulbi, mengambil alih apa yang dilakukan wanita itu.
Seulbi lekas paham situasinya, Rain tak ingin membuka luka lama karena dirinya.
Benar, lebih baik tidak memperpanjang walaupun begitu banyak kata yang ingin Seulbi sampaikan tentang masa lalu yang mengganjal. Akan tak baik, ketenangan yang baru terancang ini pasti porak poranda. Yang terjadi hari ini baginya sudah cukup mengerikan.
Mengingat itu, pikiran Seulbi langsung tertuju pada satu hal tentang kejadian di lapangan basket beberapa jam yang lalu itu.
"Rain, aku ingin bertanya," katanya, menatap Rain melalui cermin besar di hadapannya.
"Ya. Tanya saja," tanggap Rain, suaranya terdengar santai. Dalam sekejap dia sudah bisa menguasai diri, lepas dari flash back yang hampir merenggut jiwa tenang yang baru terbentuk.
Rambut panjang tebal dan wangi milik Seulbi yang saat ini dibelai-belainya lumayan menyihir hingga fokusnya dipertanyakan.
"Bagaimana kau bisa datang tepat waktu untuk menyelamatku di gudang tadi?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments