THE TALE OF ZELVA
"Pagi, Kak." Seorang gadis cantik dengan senyuman manis yang terukir di bibir ranumnya, turun dari tangga menuju meja makan. Gadis yang bernama Zelva itu mengenakan seragam putih abu-abu.
Kedua kakaknya yang telah berada di meja makan menoleh ke arah Zelva. "Pagi." Mereka bersamaan menjawab sapaan Zelva.
"Sini, Dek, duduk di samping kakak." Zaka, kakak keduanya memanggil Zelva sembari mengayunkan satu tangannya.
Zelva tersenyum ke arah Zaka. Di saat dia melangkah, tiba-tiba pergelangan tangannya ditarik oleh sebuah tangan kekar hingga dirinya duduk dipangkuan orang itu. "Kak!" pekiknya menatap pada kakak pertamanya, Zigaz.
"Duduk dipangkuan Kakak." Zigaz mengeluarkan suara baritonnya yang terdengar memerintah, dengan tatapan intens yang mengarah pada Zelva.
Zelva menggeleng. "Gak mau."
"Duduk dipangkuan kakak, Va!" Suara Zigaz pelan, namun terkesan dingin.
Zelva menurunkan tatapannya. "Tapi aku maunya duduk sendiri," cicitnya.
Zigaz mengepalkan tangannya. "Turun!" titahnya dingin.
Kening Zelva berkerut. Tatapan bingungnya mengarah pada Zigaz. "Turun dari pangkuan Kakak!" Zigaz menggeram dengan nada pelan.
Zaka yang melihat Zigaz sedang menahan emosi lantas memanggil adik perempuannya. "Va, duduk disamping kakak, sini."
Langsung saja Zelva turun dari pangkuan Zigaz. Baru ingin melangkah ke kursi kosong yang berada di samping Zaka, pergelangan tangannya kembali ditarik oleh Zigaz.
Zelva tersentak kaget. Ia kembali terduduk di pangkuan Zigaz.
Zigaz mencium kening dan kedua pipi adik perempuannya. "Pergi," ucap Zigaz setelah mencium adiknya.
"Kak!" Zaka khawatir melihat raut ketakutan dari wajah adik kesayangannya.
Zigaz hanya memandang datar Zaka. "Sana." Pria itu menyuruh Zelva duduk di samping Zaka. Pandangan matanya mengarah pada kursi kosong di samping adik laki-lakinya.
Tak berkata-kata. Gadis itu turun dari pangkuan Zigaz, melangkah ke kursi kosong samping Zaka, lalu mendudukkan dirinya.
Zaka tersenyum manis. "Sarapan yang banyak, cantik." Dia mengusap lembut rambut Zelva, lalu mengambil piring dan berikutnya mengisinya dengan nasi goreng untuk diberikan pada adik perempuannya itu.
Zelva hanya tersenyum menanggapi ucapan Zaka. Sementara Zigaz terus memandanginya dengan intens.
"Eumm, kak. Papa sama Mama kapan pulang?" tanya Zelva menatap ke arah Zaka.
"Kakak juga gak tau Papa sama Mama kapan pulangnya, tapi mereka pasti secepatnya pulang kok, karena gak betah lama-lama ninggalin kamu yang gemesin ini," jawab Zaka lembut sembari membelai pipi adiknya. "Jangan cemberut gitu dong, nanti cantiknya hilang," lanjutnya tak tega melihat wajah cantik itu tertekuk.
Zelva menggeleng. "Aku gak cemberut, nih senyum." Ia langsung menampilkan senyuman manisnya.
"Nah gitu dong. Kan kakak jadi gemes." Zaka mencubit kedua pipi Zelva.
"Ekhem."
Deheman itu mengalihkan perhatian Zelva dan Zaka. "Makan!" titah Zigaz dingin.
Mereka pun sarapan tanpa bersuara. Hanya terdengar suara dentingan sendok dan piring.
Zain Alberto Bahran, 47 tahun. Papa dari Zigaz, Zaka dan Zelva. Merupakan direktur utama sekaligus pemegang saham tertinggi di perusahaan Bahran's Company. Zain berada di turki untuk mengurus cabang perusahaannya yang terkendala disana. Pria paruh baya itu ditemani dengan istrinya yang bernama Zahra Magdalena Bahran berusia 45 tahun.
Setelah selesai sarapan, Zigaz mengantar adik perempuannya menuju sekolah. Walaupun sempat tersulut emosi saat sarapan tadi, namun mengenai adiknya, ia tetap turun tangan. Padahal Zaka ingin mengantar Zelva, tetapi Zigaz dengan keras kepalanya menolak keinginan Zaka.
Mobil Zigaz telah tiba didepan gerbang SMA Nusa Bangsa.
"Kak, aku masuk, ya." Zelva tersenyum manis pada Zigaz.
Zigaz tidak merespon. Dia malah memandangi wajah cantik adiknya.
Kening Zelva mengernyit saat Zigaz hanya diam sembari memandanginya. "Kak," panggil Zelva.
"Kita pulang saja," kata Zigaz setelah beberapa saat terdiam memandangi adiknya.
"Eh?" Zelva kebingungan dengan ucapan Zigaz.
"Kamu terlalu cantik, sayang. Kakak tidak ingin membagi kecantikanmu dengan orang lain." Zigaz mengusap pipi adiknya sembari menatap setiap inci wajah cantik itu.
Zigaz ingin sekali membawa adiknya pulang kembali dan mengurungnya di kamar bersamanya seharian.
Zelva tertawa mendengar ucapan Zigaz. Apakah kakaknya itu sedang bergurau?
"Jangan tertawa." Zigaz terpesona dengan tawaan Zelva yang memperlihatkan mata sipit dan lesung pipinya.
Itu terlihat menggemaskan di mata Zigaz.
Tawa Zelva mereda. "Emangnya kenapa, kak, kalo aku ketawa?" tanya gadis itu sembari menatap kakaknya.
"Kakak tidak bisa tahan."
Zelva menautkan kedua alisnya. "Eh? Maksud kakak?"
Zigaz tidak menjawab pertanyaan Zelva. Dia malah mencium kening dan kedua pipi chubby itu. Lalu arah matanya tertuju pada bibir ranum adiknya, mengusapnya dengan gerakan sensual. "Masuk," perintah Zigaz.
"I-iya kak." Zelva gugup saat Zigaz mengusap bibirnya. Sebenarnya dia bingung, tapi terlalu takut untuk bertanya lebih jauh.
Zelva turun dari mobil, melangkah menuju gerbang memasuki sekolahnya. Zigaz yang tidak lagi melihat keberadaan adiknya, melajukan mobil meninggalkan pekarangan sekolah.
Zelva berjalan di koridor menuju kelasnya. Ini hari pertama dia mengenakan seragam putih abu-abu sekaligus pertama kalinya menginjakkan kaki di SMA Nusa Bangsa.
Dia mengetahui kelasnya dari para sahabatnya melalu chatting grup WhatsApp. Gadis itu berada di kelas 10 IPS 2 dan beruntung mereka semua sekelas.
Zelva tidak mengikuti kegiatan MOS yang diadakan selama 3 hari, karena Zigaz melarangnya. Zigaz mengatakan kalau MOS hanya kegiatan buang-buang waktu saja. Di mana para senior hanya mencari muka dan tebar pesona. Sementara para junior harus berlagak bodoh mengikuti setiap ucapan senior. Saat memasuki SMP juga, gadis itu tak mengikuti MOS, dengan alasan yang sama.
Tetapi Zigaz telah izin pada pihak sekolah mengenai ketidak hadiran Zelva mengikuti MOS. Ia mengatakan jika adiknya itu sedang dirawat di rumah sakit karena menderita demam.
Kurang ajar memang!
Zigaz melakukan itu karena tidak ingin Zelva diganggu para senior.
Zelva juga sudah memberitahukan alasannya tidak mengikuti MOS pada kelima sahabatnya.
Sepanjang perjalanan menuju kelas, Zelva dipandangi murid-murid yang berlalu lalang di koridor. Bahkan ada yang secara terang-terangan memuji kecantikannya. Ia hanya membalas dengan senyuman simpul namun mampu membuat kaum adam meleleh.
"Zelva."
Si pemilik nama menoleh ke arah suara yang memanggil dirinya.
"Raymond." Zelva memekik. Dia tersenyum manis pada Raymond.
Mereka berdua berjalan beriringan menuju kelas. "Udah sarapan?" tanya Raymond seraya merangkul bahu Zelva.
"Udah."
Mereka berdua menjadi sorotan di sepanjang koridor.
_____________
Setelah memperkenalkan nama masing-masing, memilih pengurus kelas bersama wali kelas dan juga telah dibagikan jadwal pelajaran yang berlaku hari esok. Para murid 10 IPS 2 berhamburan menuju kantin karena bel istirahat telah berbunyi 3 menit yang lalu.
"Ayok sayangku kita ke kantin." Senna bergelayut manja di tangan Zelva.
Zelva bergidik geli menatap Senna. "Ihh mau jadi lesbi lo?!" Dia mencibir seraya melepaskan tangan Senna dari tangannya.
Senna menyentil mulut Zelva, membuat sang empunya meringis. "Sakit setan!" Zelva memegangi bibirnya. Matanya menatap sinis pada Senna.
Raymond terbahak mendengar cibiran Zelva. Sementara Javier dan Dilma hanya terkekeh.
"Yang, masa aku dibilangin lesbi." Senna mengadu manja pada Steven. Dia mengerucutkan bibirnya, kesal.
"Makanya sini. Tangan aku aja yang digituin, udah tau mulutnya Zelva kayak kerisnya Limbad, tajem." Steven menarik lembut pergelangan tangan Senna lalu menggandengnya.
Senna mencubit kedua pipi Steven. "Emang deh pacar aku paling pengertian." Mulut Senna maju beberapa senti agar terlihat imut di mata Steven.
Steven terkekeh sembari turut mencubit pipi pacarnya juga. "Pacar aku gemes banget." Steven tersenyum lebar seraya menyipitkan matanya agar terlihat imut juga dimata Senna.
"Tuih." Javier berpura-pura meludah karena jijik melihat tingkah alay dua sejoli itu.
Dilma yang sedang bersedekap dada mencibir kedua sejoli itu, "Lo berdua pasangan teralay, terlebay dan terjablay yang pernah gue temuin."
Seketika Steven dan Senna yang saling cubit mencubit pipi, menatap sinis ke arah Dilma. "Iri bilang." Senna meledek. Dia menjulurkan lidahnya, mengejek Dilma.
"Iri biling." Dilma ikut mencibir. Dia mengacungkan jari tengahnya, lalu emalingkan wajahnya dari pasangan lovely itu.
Senna menggeram kesal. Dia menendang pantat montok Dilma, membuat gadis itu sedikit terhuyung. Saat Dilma ingin membalas, tangannya langsung ditarik Zelva, membawanya keluar kelas. "Mending isi perut, daripada jadi kanguru," kata Zelva. Mereka berdua berjalan terlebih dahulu menuju kantin
Steven menggandeng Senna yang sedang memaki-maki Dilma dari belakang, sementara Raymond dan Javier terkekeh dibelakang pasangan lovely itu.
Selama perjalanan menuju kantin, perhatian para murid pasti mengarah pada mereka berenam. Dapat dikatakan, mereka bagai para keturunan bangsawan yang terdampar di SMA Nusa Bangsa.
"Pesen apa?" tanya Javier.
Mereka telah duduk di bangku kantin.
"Gue bakso, minumnya es jeruk," kata Dilma menyebutkan pesanannya.
"Samain ajalah semuanya," sahut Zelva diangguki yang lain. Ia memandangi sekitarnya. Dengan satu tangan menumpu dagunya di atas meja.
Javier menyeret Steven untuk membantunya membawa pesanan nantinya. Mereka berdua melangkah pergi untuk mengantri.
Setelah kepergian Javier dan Steven, terdengar pekikan heboh dari para siswi. Zelva, Raymond, Dilma dan Senna mengikuti arah pandang siswi-siswi yang mengarah ke pintu kantin.
Ternyata itu adalah Regan dan ketiga temannya.
Alder Gionino Basil, 16 tahun.
Tampan, cuek, cool, anti perempuan dan terbilang punya pola pikir dewasa. Anggota ekskul basket.
Leanmelo Wiratmaja, 16 tahun.
Tampan, petakilan, ramah, partner gesreknya Arya. Anggota ekskul basket
Arya Pramudya, 16 tahun.
Tampan, sifatnya sebelas dua belas dengan Lean, kang gombal cap tokek, kata Alder. Anggota ekskul basket.
Seorang prince dan ketiga Most Wanted SMA Nusa Bangsa memasuki kantin kelas 10. Entah ingin menebar pesona pada adik kelas atau mencari suasana baru.
SMA Nusa Bangsa memiliki kantin terpisah setiap angkatan kelas.
Keempat lelaki itu duduk berdekatan dengan meja Zelva.
Zelva dan Dilma memutuskan pandangan dari Regan dan ketiga temannya. Mereka berdua memilih mengotak-atik layar ponsel masing-masing.
"Keknya itu deh salah satu Prince yang diceritain anak-anak pas MOS." Senna memandangi keempat lelaki itu. Ia terkagum dengan ketampanan yang mereka miliki, namun seketika sadar, bahwa ia sudah mempunyai pacar.
"Salah satu Prince? Emang disini prince nya ada berapa?" tanya Raymond yang juga memandangi keempat lelaki itu.
Raymond sempat mendengar cerita mengenai prince-prince Nusa Bangsa yang ramai dibincangkan siswi-siswi baru, waktu kegiatan MOS.
"Empat katanya."
Sedangkan Zelva dan Dilma hanya diam. Tak tertarik dengan topik prince-prince Nusa Bangsa.
Memang lagi main kerajaan-kerajaan sehingga ada para prince?
Senna menatap Zelva dan Dilma secara bergantian. "Lo berdua gak kepo sama prince-prince di sekolah ini?" tanyanya.
"Enggak." Zelva dan Dilma menjawab kompak dengan raut wajah masa bodoh.
"Dih markonah dan marjiem sok-sokan jual mahal."
"Bodo." Kedua cewek itu kembali berkata kompak membuat Senna berdecak kesal. Sementara Raymond terbahak.
Javier dan Steven tiba membawa pesanan. Mereka pun makan dengan lahap.
Beruntung, karena hari ini aktivitas belajar mengajar belum dilaksanakan. Jadi seluruh kelas memiliki jam kosong atau free class. Sehingga keenam sahabat itu memilih untuk nongkrong di kantin ketimbang masuk kelas.
......•......
...•...
...•...
...^^^TBC^^^...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments