"Lo nggak apa-apa!" ujar Mutiara seraya membalikkan badan menghadap meja Dio.
"Aku baik" jawab Dio singkat.
"Hmmm... oke," lirih Mutiara merasa kecewa.
"Ke kantin yok. Aku yang traktir hari ini," ajak Mutiara tersenyum manis.
"Tidak.... terima kasih," lagi-lagi jawab Dio membuat Mutiara mengernyitkan dahi.
"Kok lo cuek banget sih! Gue ada salah ya? Lagian kan gue cuma niat baik, lo merasa ke ganggu ya?" Kata Mutiara to the point seraya memasang wajah bak anak kecil yang ingin menangis karena tidak di turuti permintaanya.
"Argh... yaudah ayo aku temani ke kantin. Tapi, aku bayar sendiri!" ujar Dio langsung menyimpan buku ke dalam tasnya.
Mutiara langsung senyum sumringah saat mendengar jawanan Dio. Dia langsung menyimpan semua buku dan peralatan tulisnya ke dalam tasnya yang berwarna cokelat tua. Sementara Dio, antara senang dan terpaksa, dia mengiyakan ajakan Mutiara. Namun, ternyata Mutiara membawa Dio ke supermarket di luar sekolah, bukan ke kantin.
"Bukannya kantin itu di dalam sekolah ya?" tanya Dio menyergitkan dahi.
"Iya, ayo buruan masuk!" ajak Mutiara langsung meraih lengan Dio.
"Nih cewek kenapa sih?" batin Dio sembari mengikuti langkah Mutiara.
"Gue malas aja jajan di kantin, sumpek, gerah, desak-desakan lagi. Kalau di sini kan enak, adem ada AC tuh!" jelas Mutiara menunjuk AC dalam supermarket.
"Oke," balas Dio tersenyum tipis, setipis tisu di belah dua.
Hampir lima menit, Mutiara mengajak Dio berkeliling mengitari setiap rak dalam supermarket. Hal itu membuat Dio semakin bingung dengan sikap dan tingkah aneh Mutiara.
"Sebenarnya kita mau beli apa? Ini, tujuh menit lagi bell masuk kelas akan bunyi dan gerbang sekolah akan di tutup," turu Dio mulai khawatir.
"Yaelah... santai aja kali! Lagian lo nggak bosan belajar mulu di ruangan kelas. Sesekali tuh, kita butuh waktu untuk healing. Jangan terlalu ambis banget deh, kita harus menikmati masa remaja yang nggak bakal terulang lagi," papar Mutiara sembari fokus pada rak jepitan dan ikat rambut yang lucu-lucu.
"Ini bukan waktunya untuk membahas ambis, masa remaja atau apalah itu. Kita ke sekolah buat belajar, bukan untuk bolos Mutiara!" seru Dio dengan nada serius.
"Yaelah... pasti di sekolah lama dulu lo itu anak ambis yang punya banyak prestasi, kutu buku dan nggak punya kawan. Oh... iya satu lagi, pasti lo paling doyan nongkrong di perpus atau nggak ya di toko buku, iya kan?" tanya Mutiara mengalihkan pembicaraan.
Padahal dalam hati, Mutiara salah tingkah saat Dio menyebut namanya.
"Kamu masih mau di sini, atau aku tinggal!" tegas Dio dengan tatapan serius.
"Aaaaa... gue jangan ditinggalin dong! Yaudah.... iya, iya, gue ikut balik sama lo deh! Tapi tunggu gue beli coklat sama minuman dingin dulu ya," rengek Mutiara seraya memanyunkan bibir.
"Lo nggak beli apa-apa? Mumpung masih di sini... gue bayarin deh," tawar Mutiara sengaja mengulur-ulur waktu.
"Nggak! Ayo buruan bayar, nanti gerbang sekolah di tutup," buru Dio sembari melirik arloji hitam di lengan kirinya.
Setelah membayar semua pesanannya, Dio langsung meraih tangan Mutiara dan mengajaknya berlari.
"Ayo buruan... waktu kita tinggal dua menit lagi!" teriak Dio.
"Kok buru-buru sih! Emang nggak bisa santai ya," jerit Mutiara kesal karena harus berlari tiba-tiba.
Sebenarnya Mutiara ingin mengajak Dio bolos untuk mata pelajaran hari ini. Mutiara tidak mengerjakan tugas matematika yang diperintahkan Pak Hadi minggu lalu. Antara tidak mengerti, malas, lupa, semuanya berkecamuk dalam pikirannya. Ditambah dengan Lili yang tidak masuk, padahal selama ini Mutiara selalu mengandalkan Lili dalam setiap hal mengenai urusan tugas sekolah
Lili merupakan sumber jawaban dan tugas-tugas bagi Mutiara.
"Awwwwww...." jerit Mutiara saat kakinya tidak sengaja menyenggol batu besar di depannya.
"Kamu kenapa?" tanya Dio langsung khawatir.
"Kaki gue terantuk batu besar ini. Sialan!" geram Mutiara meringis kesakitan.
"Masih bisa jalan kan?" sela Dio mulai khawatir.
Mutiara memasang raut wajah sendu sembari menggelengkan kepala. Sepertinya kakinya terkilir dan tidak bisa digerakkan.
"Naik!" suruh Dio dengan serius seraya menepuk-nepuk pundaknya.
"Hah...maksud lo... lo mau gendong gue? Lo yakin?" kata Kiara sangat terkejut.
"Iya... ayo buruan!" suruh Dio.
Tanpa menunggu lama, Mutiara langsung naik ke pundak Dio. Dia menahan rasa malu karena orang-orang yang lewat lalu lalang dari jalan memperhatikan kami berdua. Bahkan ada yang meneriaki kami berdua.
"Masih sekolah kok pacar-pacaran! Noh sekolah dulu yang benar... baru pacaran! Aduh... Dek, Dek!" seru bapak-bapak yang duduk di angkutan umum.
"Sialan... malu banget deh gue!" ucap Mutiara dalam hati.
Sementara Dio tetap fokus mengendong Mutiara sembari mempercepat langkahnya. Dalam benaknya hanya ada satu, segera tiba ke ruangan kelas. Jarak antara sekolah dengan supermarket tidak terlalu jauh, hanya butuh waktu lima menit. Namun, karena segala drama dan insiden yang terjadi, rasanya mereka harus menempuh perjalanan dengan waktu satu jam.
"Seandainya aku tidak mengiyakan ajakan perempuan aneh ini. Mungkin aku tidak akan merasakan hal konyol seperti ini. Argh... sialan! Tahan emosi Dio, itu gerbang sekolah udah di depan mata kok. Mulai saat ini sampai seterusnya aku tidak ingin berhubungan atau terlibat apapun dengan dia!" tegas Dio dalam hati.
"Maaf ya, Dio! Gara-gara keisengan gue, lo jadi capek kayak gini. Gue minta maaf banget ya, gue janji lain kali gue nggak bakal ngajak lo bolos lagi," lirih Mutiara merasa menyesal.
"Iya," jawab Dio singkat.
"Lo marah sama gue? Jangan gitu dong, gue nggak bakalan tau, kalo insidennya bakalan begini. Gue nggak tahu, kalo kaki gue bakalan kepentok sama batu besar. Gue juga nggak bakalan tau, kita dicemooh sama bapak-bapak tadi, gue minta maaf," isak Mutiara mulai meneteskan air mata.
"Menangis tidak akan menyelesaikan masalah. Toh, udah kejadian, lagian kita udah sampai di..." ucapan Dio putus saat melihat gerbang sekolah sudah tertutup dengan rapat.
Lingkungan sekolah tampaknya hening dan kondusif, sepertinya kelas sudah di mulai. Dio langsung menurunkan Mutiara dengan perlahan, lalu melirik arloji hitam di lengan kirinya.
"Sialan... sial! Argh..." teriak Dio dalam hati sembari menggaruk kepala dan menjambak rambutnya dengan frustasi.
"Aku minta maaf, Dio!" lirih Mutiara semakin terisak-isak.
"Kamu diam dulu... tenang dulu ya! Aku bakalan cari cara supaya kita bisa masuk ke dalam ruangan kelas," ucap Dio dengan pelan seraya menenangkan Mutiara.
Dio mulai kehilangan akal dan ide agar bisa masuk ke dalam ruangan kelas. Tidak ada orang yang bisa dimintai tolong untuk membuka gerbang. Seraya mengigit-gigit bibir bawah Dio mulai mondar-mandir memutar otaknya agar mendapat ide. Sementara Mutiara hanya diam, menundukkan kepala seraya mengutuki dirinya sendiri.
"Oke... hari ini kita bolos. Tapi untuk hari ini saja, ayo buruan naik!" ucap Dio dengan serius seraya duduk jongkok, agar Mutiara bisa naik ke punggungnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments