Bab 15 Kasih sayang seorang ayah

Tama udah di ibukota. Kata abang di pangkalan udara mau langsung dibawa pihak kepolisian sama PM.

Pesan yang Zea berikan tak ada salam pembukaan ataupun pidato potong pita terlebih dahulu.

Mungkin hanya di kesempatan inilah Clemira bisa menemui Tama, untuk selanjutnya ia tak tau apakah bisa bertemu kembali atau tidak, yang jelas akan sesulit makein daster sama emaknya macan.

Sani sudah melambaikan tangannya untuk menyambut Clemira, namun terpaksa harus ia turunkan kembali seraya tersenyum garing, segaring kerupuk ketika Clemira justru berbalik kembali sambil berlari. Baru sampe udah balik lagi, apakah Cle tidur sambil berjalan dan tak tau jam pulang ngampus?

"Loh, loh...Cle!!! Mau kemana?! Mau madol lo ya?!" teriak Sani yang seketika menutup mulutnya karena ucapannya barusan memancing atensi dari mahasiswa di sekitarnya.

Namun sepertinya Clemira justru tak mendengar jeritan Sani yang persis jeritan siksa kubur itu, saking fokusnya pada hal yang tengah ia pikirkan sekarang.

"Om Biannn!!!" teriak Clemira ingin menyetop kembali Bian, si lulusan taruna akademi militer yang dimintai Rayyan untuk menjadi supir Clemira hari ini dan beberapa hari ke belakang. Untung saja, pria itu masih berada disana.

Caplukk!

Kaca helm longgar itu menutup seketika, saat Bian mengerem sepeda motor kesatuan yang dipakainya. Untung saja telinganya masih tajam mendengar suara Clemira jadi gadis itu ngga mesti ngejar-ngejar Bian sampe liang lahat.

"Kenapa, Cle?" tanya nya, "ada yang tertinggal?"

Clemira menggeleng, "anter Cle ke markas udara," pintanya dengan wajah yang tergesa. Bian sempat tertegun dan mencerna sejenak sebelum akhirnya Clemira memberinya terapi kejut dengan menepuk bahunya, "buruu!! Om Bian belum budeg kan?!"

"Tapi Cle,"

"Ck, abi udah tau."

Bak bola bergulir kesana dan kemari, Tama dan Pras sampai di ibukota. Jika dulu mereka mengawal seorang penjahat pemberontakan negara kini kedua tangan keduanya terborgol besi. Nama yang semula harum harus ternoda oleh tindakan tak bertanggung jawab.

Surat perintah penangkapan diserahkan pada pihak kepolisian. Papa Rangga dan petinggi militer meminta penjagaan diperketat.

Derai air mata ibu jatuh tak terbendung lagi meskipun saat ini ia tak ada membersamai Tama, namun acara berita di televisi selalu ia pantau setiap saat demi mengetahui kondisi Tama.

"Bu, makan dulu." pinta Gio.

Ibu menggeleng, "mas mu sudah makan apa belum, ya Yo?" matanya telah sembab bahkan membengkak.

Gio mengangguk, "ngga usah kuatir sama mas Tama, bu. Ibu tau mas Tama ngga mungkin seperti itu, ibu juga sudah dengar pak letnan kolonel kemarin bilang apa..." jawab Gio, ia menghela nafasnya, ingin marah... pada siapa?! Cercaan pun ia terima di kampus akibat kasus ini, tak sedikit yang menyebutnya adik penghianat negara. Belum lagi keselamatannya yang terancam.

Bapak keluar dari kamarnya dengan swetter rajut dan sarung, tasbih tak lepas ia pegang setiap saat seraya mulut yang komat-kamit membaca kalimat tahfiz, takbir, dan istighfar biar tetep waras.

"Ibu mau nyusul ke ibukota." pintanya.

Bapak kini yang menjawab, "ibu tidak ingat kata pak letkol kemarin? Kita diam saja di rumah, cukup berbahaya jika kita pergi kemanapun. Serahkan masalah ini padanya."

Ibu memejamkan matanya, "astagfirullah, gusti. Lindungi anak hamba," lirihnya. Ia hanya takut jika kejadian kelam yang sering terjadi, terjadi pula pada Tama, dimana ia yang hanya pion kecil dengan mudahnya disingkirkan penguasa demi mengkambing hitamkan kasus yang sebenarnya ialah pelakunya.

Begitu ramai sekali markas komando udara dimana Saga tinggal, bukan ramai karena orang-orang akan menonton sepakbola tim kesayangan melainkan ramai oleh penjagaan ketat.

"Waduh, rame Cle. Penjagaannya juga ketat." ucap Bian celingukan melihat gerbang markas udara saja seperti mall yang lagi ngadain cuci gudang.

Clemira menggeleng lalu menelfon Zea, rupanya bumil satu ini pun tak pergi ke kampusnya dengan alesan macet. Iya...macet di gerbang keluar. Cih, alasan tak masuk akal!

"Gue jemput ke pager deket asrama taruni." Ucap Zea, dimana pagar tembok itu agak landai dan *terfasilitasi*, sebagai akses ilegal markas udara versi Zea-Cle.

"Om Bian jangan khawatir, Zea bentar lagi jemput aku. Om Bian pulang aja..." pinta Clemira mendapatkan tatapan ragu, "yakin?"

Clemira mengangguk, "pulang aja om, atau om mau ikut masuk lewat asrama taruni?"

Bian menggeleng, jelas ia tak mau yang benar saja! Apa kata dunia kalo ia mengendap-endap masuk asrama taruni udara, bisa di tendang sampai mars.

"Ya udah, makasih om. Ntar Cle balik dianter Zea atau bang Saga, atau juga bareng abi..." ucapnya lagi meyakinkan, padahal sejak tukang cendol putar haluan jadi tukang cilor pun ia belum menghubungi ayahnya lagi.

"Beneran?!" tanya Bian memastikan, pasalnya anak atasannya itu pandai sekali menghipnotis orang dengan wajah meyakinkannya persis tukang tipu.

"Bener, mau telfon abi? Tapi abi lagi sibuk, ya silahkan aja...kalo om Bian ngga mau kena bentakan abi..."

Bian menghela nafasnya, diturutin salah ngga diturutin lebih nyeremin ancamannya, huffttt! Yo wes, diputarnya kunci motor lalu Bian berlalu setelah sebelumnya mengawasi Clemira berjalan mengitari gerbang markas udara layaknya baaa biiii nge pett yang lagi cari mangsa.

Zea bergerak malas, padahal ia sudah beralasan ijin ngampus karena tak enak badan, tapi kok ya ngga enak badan beneran jadinya, benar kata orang! Ucapan adalah do'a, cih! Ditambah sekarang Clemira yang minta dijemput di pintu masuk ilegal, perut segede balon udara malah disuruh buat nyempil-nyempil.

Ia menepuk-nepuk celana kulot yang dipakainya, rumput liar di belakang gedung asrama cukup menusuk-nusuk dan bikin gatal, padahal ia sudah lupa caranya nakal!

"Ze, dimana?!"

"Di balik tembok derita..." jawab Zea menaikan susunan batu dan barang berangkal. Dari batas atas muncul sesosok kepala sambil terkikik, namun Zea tak takut karena wajah itu kini malah cemberut minta ditinggiin pijakannya, "ngga kurang bawah lagi tuh, tambahin kali Milah...itu mah sama aja boong," ia merangkak naik dan bersiap turun, sejurus kemudian kaki Clemira sudah bersiap berpijak di dalam markas, sementara Zea masih mencari barang kuat lainnya yang mampu menopang berat dosa Clemira.

"Ini aja," angguk Zea ke arah kotak kayu seperti bekas peti buah.

"Nih, tuh! Turun cepetan. Gatel-gatel gue, banyak nyamuk..."

Clemira menginjak itu namun sayangnya Zea tak melihat jika kayu itu telah sering diguyur hujan dan sedikit membuatnya rapuh nan lunak, hingga....

**Brakkk**!

"Astagfirullah!" Zea menutup mulutnya dengan kedua tangan.

"Njirrrrrrr!" Clemira justru mendarat dengan pan tatnya di tanah. Dengan refleks Zea mengulurkan tangannya demi menolong Clemira, "sistahhh, lo ngga apa-apa? Bwahahahahaha!"

"Lo gimana sih!" aduh Clemira menepuk-nepuk pan tatnya, cukup linu. Sementara kini bumil itu justru tergelak puas, "dahsyatnya! Kiloan lo sekarang berapa, Liya?"

"Si alan...bukan berat badan gue, tapi kayu yang lo pilih udah lunak peak!" omel Clemira.

Zea masih tertawa disana, "gue yakin sih lo marah bukan karena sakitnya, tapi lebih ke malu..." ucap Zea yang langsung dicebiki Clemira.

Keduanya kini berjalan menuju landasan pacu yang jaraknya tak begitu jauh, "abang udah balik?" tanya Clemira dengan degupan jantung yang semakin kencang.

"Udah semalem. Bareng papa, tapi abang udah balik ke kantor lagi."

"Lo tau ngga!" serunya mendadak memantik rasa penasaran Clemira.

"Abang balik babak belur..." ucap Zea kini pelan sendu.

Clemira menatap Zea penuh sorot khawatir, "tapi abang baik, kan?" tanya Cle meski sebenarnya hatinya jauh lebih mengkhawatirkan Tama.

"Baik."

Clemira mengangguk lega, keduanya telah sampai di landasan pacu, alis Clemira mengernyit melihat sosok sang ayah ada disana, tanpa ia duga Rayyan setia menemani jalannya proses penyerahan Tama.

"Abi?" gumamnya lirih melihat sang ayah yang berjabat tangan dengan pihak penyidik.

"Lo ngga akan percaya, om Ray tuh satu-satunya orang yang belum balik-balik..." Zea menyunggingkan senyumannya.

"Abi!" Clemira berlari ke arah Rayyan, menumpahkan seluruh keluh kesah, beban yang menggantung di hatinya belakangan ini pada sang ayah. Apapun yang terjadi antara mereka belakangan ini, ayah akan tetap menjadi tempatnya menumpahkan seluruh beban.

"Kak?"

Rayyan menerima pelukan yang langsung mengerat dari Clemira.

"Kamu ngga ngampus? Mana Bian?" tanya Rayyan, tak ada jawaban hanya lengu han berat dari Clemira dan badan yang bergetar seraya isakan tanpa suara.

Rayyan membalas pelukan Clemira, gadis kecilnya yang sudah beranjak besar, gadis kecil yang selalu ia sayangi dan lindungi.

Ia tak pandai merangkai kata bijak untuk Clemira, kebanyakan hari-harinya diisi dengan bercanda dan bertengkar dengan kedua anak-anaknya itu, namun sikap ini ia harap cukup mewakili untaian kalimat, betapa ia menyayangi Clemira.

"Waktu si anak singkong ngga banyak, kalo kaka mau ketemu...abi kasih waktu 10 menit." Ujar Rayyan.

.

.

.

.

.

Terpopuler

Comments

Aisyah

Aisyah

biar anak singkong juga gurih kalo d tangan yg tepat bi, keju mah kalah pokoknya 🤣

2024-05-28

0

ummah intan

ummah intan

biar anak singkong tp cle cinta

2024-05-01

3

Mytha🕊

Mytha🕊

best lah ayah rayyan 🤗🥰

2024-04-06

2

lihat semua
Episodes
Episodes

Updated 44 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!