Aku pergi !

Aku menuju sebuah minimarket setelah, aku berdiam diri dirumah beberapa jam menunggu kabar Mas Raihan yang tak kunjung datang. Aku berencana mengalihkan pikiranku saat ini.

Aku ingat sekali jaman kuliah dulu. Ketika aku sedang sedih, malas makan dirumah, malas bertemu keluargaku. Aku kemari hanya karena satu alasan. Aku tidak ingin keluargaku melihatku bersedih. Aku memilih mie ber cup besar dengan level pedas nampol. Aku pasti memakannya sambil menangis, aku akan mencurahkan kekesalanku pada makanan itu. Orang-orang tidak akan curiga dengan kekonyolanku itu. Hanya mas Adam dan Dimas yang tahu kebiasaanku yang satu ini.

Aku mulai menyeduh mie instan cup pedas itu. Ku diamkan beberapa saat. Ku raih satu botol air mineral. Setelah membayarnya ke kasir. Aku keluar duduk di kursi yang memang tersedia di depan supermarket.

Aku mulai melahap mie pedas itu, tak lama kemudian aku menangis. Selain karena pedas, aku memang sedang bersedih. Sedih sekali. Aku mulai menangis tersedu-sedu. Langitpun mulai mendung, seolah dia tahu yang ku rasakan. Tak lama kemudian, hujan mulai menjalankan perannya. Aku berniat menghabiskan mie ku. Lalu berjalan dibawah hujan mengingat masa dulu. Saat aku sedang rapuh-rapunya.

Setengah perjalanan kembali kerumah, aku berjongkok menelungkupkan kepalaku dibawah tangan. Aku berteriak sekencang mungkin, aku yakin tidak ada yang akan mendengar karena suara cemprengku akan kalah dengan hujan.

"Huuuuaaaaaaaaa..... Hiks.. hikss... Huuuuuuu hiks..."

Aku merasa ada sesuatu yang melindungiku, aku tidak lagi terkena guyuran hujan. Kemudian Takkkk!!!! Dia menjitak kepalaku. Siapa lagi kalau bukan Dimas? Dia memayungiku. Dia mematikan Rokok yang sudah hampir habis kemudian membuangnya sembarangan.

"Dasar bodoh ! Cepat bangun" Dimas menarik telingaku kuat-kuat. Seperti seorang ibu yang hendak memarahi anaknya. Aku tidak melawan, aku sedang tidak dalam mood yang baik untuk berdebat dengannya. Dia membawaku masuk ke mobil dan mengajaku ke sebuah rumah lumayan besar. Masih di komplek yang sama hanya beda blok saja.

"Turun terus masuk, cepet ! Gue parkir dulu" aku mengangguk kemudian masuk ke dalam rumah itu. Setelah parkir dia menyusulku ke dalam. Aku masih berdiri di ruang tamu, Dimas menarikku dan membawaku ke kamar mandi. "Mandi dulu, abis itu baru gue interogasi !" ucapnya lalu membanting pintu keras-keras. Dimas pasti akan menghukumku habis-habisan. Dia paling benci melihatku melakukan hal-hal bodoh.

Aku menurut saja untuk membersihkan tubuhku, aku mandi dibawah gemercik air tanpa menghentikan tangisku. Setelah selesai aku menggunakan bathrobe sembarangan karena ada beberapa warna disana.

Aku keluar mengendap-endap, Dimas sudah menungguku di sofa depan tv. Dia meletakan kedua kakinya di meja sambil menikmati kepulan asap dari sebatang rokok.

Tanpa diminta , aku langsung duduk di hadapannya. Aku tidak perduli lagi dengan kata-kata pedas Dimas nanti. Yang penting aku lega sudah meluapkan emosiku.

"Mau makan?" tanyanya, dan aku menggeleng cepat.

"Besok kerja?" aku mengangguk dua kali.

"Kalo gitu jangan berangkat !" aku membulatkan mataku. Apa maksudnya melarangku bekerja?

"Ikut gue ke Yogyakarta. Kita main kerumah uti lo ! Sekalian ngurus kerjaan gue" dia menghisap kemudian menghempas asap rokok itu dengan wajah datar.

"Lo gila ya ? Lo mau bawa kabur bini orang ?" aku sedikit emosi pada Dimas.

"Gue udah bilang sama mas Adam. Dia setuju sama rencana gue"

"Mas Adam? Rencana? Rencana apa?"

"Handphone lo mana?"

"Di rumah, kenapa?"

"Hmmm beg*o ya, pergi gak bawa handphone?"

"To the point aja deh Dim ada apa sebenernya"

Dimas mengotak atik ponselnya sendiri kemudian menunjukan foto yang baru saja dikirimkan oleh wanita itu. Felicia , kekasih suamiku.

Dalam foto itu terlihat jelas bahwa mas Raihan lah yang menggenggam tangannya bukan Felicia.

Dimas menunjukan chat Felicia padaku. Aku membacanya perlahan.

"Berkat doa lo, Raihan akhirnya luluh juga sama gue. Dia bahkan rela jauh-jauh dateng buat jengukin gue di rumah sakit. Makasih ya Dim , lo udah dengerin curhatan gue selama ini. Gue udah ambil keputusan terbesar dalam hidup gue. Gue rela pindah keyakinan buat bisa bareng sama Raihan. Orang tua gue udah ijinin. Mungkin saat ini status gue paling-paling jadi istri siri. Tapi gue yakin, Jingga nggak akan kuat dan akhirnya tinggalin Raihan buat gue. Sekali lagi makasih"

Tanpa sadar air mata ini mengalir begitu deras, hatiku sakit, hancur, aku ingin saat ini juga Tuhan cabut nyawaku. Aku tidak kuat lagi. Tapi aku masih ingat Kinanti putriku. Buah cintaku dengan mas Ridho. Rasa sakit ini bahkan lebih sakit daripada saat aku melepas kepergian mas Ridho. Mas Ridho pulang kembali ke sisi sang pencipta. Hal itu sudah digariskan. Dan aku Ikhlas karena mas Ridho meninggal dengan hormat. Aku bangga pernah memilikinya. Mas Ridho tidak pernah menyakitiku, dia selalu mencintaiku, menyayangiku. Dia bahkan rela melakukan apapun untukku. Tiba-tiba otakku memutar kembali saat dimana aku masih menjadi istri mas Ridho. Aku membandingkan mas Raihan dengan mas Ridho. Tangisku semakin pecah. Dimas tidak tega melihatku seperti ini. Tanpa diminta dia langsung memelukku erat-erat. Bahkan dia menangis untuku. Menangisi nasibku.

"Jingga stop, please. Maafin gue, gue nggak tau kalo reaksi lo bakal begini. Maafin gue" aku tetap menangis sejadi-jadinya. Aku tidak sanggup menghadapi kenyataan pahit bahwa aku harus dimadu. Aku lebih baik berpisah. Aku tidak memerlukan suami yang tidak tegas seperti mas Raihan. Dia tidak mencintaiku, dia tidak menyayangiku. Aku harus meninggalkannya. Aku tidak ingin bertemu dengannya. Aku tidak ingin mendengar kata maaf darinya. Aku juga tidak ingin mendengar mas Raihan meminta izin untuk menikah lagi. Aku akan pergi, menghilang dari hidupnya untuk sementara waktu. Ketika aku sudah siap, aku akan menemuinya sendiri. Aku mulai mengatur nafasku kembali, setelah Dimas mendengar isak tangisku tak lagi terdengar. Dia mengurai pelukannya.

"Dimas? Kalo gue ikut lo. Gimana dengan Ibu? Abah? dan Kinanti?"

"Kalo lo setuju ikut gue ke Yogya. Kita ijin sama mereka sekarang. Sisanya urusan mas Adam. Gue mau lo hukum dia. Gue pengen tau apa yang bakal dia lakuin setelah lo pergi" aku mengangguk setuju. Dimas dengan sigap mengambil satu setel pakaian wanita untuk ku kenakan.

"Nih pake" katanya sambil memberikan pakaian tersebut.

"Ini punya siapa?"

"Regita, ini rumah dia. Gue yang beliin.. katanya pengen deket nenek. Bulan depan dia mulai tinggal di sini sama suaminya. Barang-barangnya udah mulai dikirimin kesini. Termasuk baju-bajunya" kata Dimas datar.

"Lo kapan nikahnya? Regita aja udah punya suami. Bahkan gue udah dua kali" sindirku sambil melangkah ke kamar yang ditunjuk Dimas.

"Ntar-ntaran aja gue mah. Tinggal nunggu" aku yang sudah masuk kemudian mengeluarkan setengah badanku untuk menjawab.

"Nunggu apaan?"

"Nunggu dua hal. Kalo lo udah bahagia atau kalo lo jadi janda lagi biar gue nikahin lo" bukan Dimas namanya kalau tidak memiliki hobi menggodaku.

"Dasar edan !" aku kembali masuk dan mengganti pakaianku di kamar.

Setelah selesai, Dimas mengajaku kembali ke rumah Ibu. Hari sudah sore saat itu. Kami masuk ke dalam rumah dan duduk di ruang tamu.

Mas Adam yang sudah mengetahui hal ini langsung menarik tangan ibu dan duduk. Kinanti sedang bermain bersama Abi di depan tv.

"Oh ada Dimas" kata ibu sambil tersenyum kemudian duduk.

"Iya bu, Ibu sehat?" tanya Dimas

"Alhamdulillah sehat wal afiat. Ada apa nih? kok mukanya tegang banget kalian" ibu melirik ke arahku , Dimas dan Mas Adam.

Mas Adam memutuskan untuk menceritakannya pelan-pelan. Ibu terlihat mengerti, ibu tidak marah malah mendengarkan cerita mas Adam dengan seksama.

"Jadi gitu bu" ucap mas Adam

"Ini memang salah kami, salah kami para orang tua yang memaksakan kehendak anak-anaknya. Ibu dan Abah berpikir bahwa Raihan akan menerimamu dan mencintaimu karena sedikit banyak Ibu dan Abah mengenal keluarga mereka dengan baik. Kalau sudah begini, kita bisa apa? Biarkan Allah yang menunjukan jalan untuk kalian. Kalau alasannya karena Jingga ingin menenangkan pikiran, silahkan menginap di utimu untuk beberapa hari. Tapi ibu titip pesen. Jaga diri dan hati-hati. Untuk Dimas? Ibu titip Jingga ya. Bagaimanapun juga dia adalah istrinya Raihan" ucap ibu bijaksana, dia mengusap-usap punggungku. Aku menitihkan air mata haru. Ku kira ibu akan memarahiku. Ternyata dugaanku salah.

Aku memanggil Kinanti dan memangkunya, aku memberi pengertian padanya supaya tidak kecewa perihal jalan-jalannya yang harus ditunda lagi.

"Bunda ada kerjaan di luar kota. Harus berangkat sama om Dimas sekarang juga. Nggak papa ya? Bunda janji kalau pulang nanti pasti belikan Kinan Boneka yang besaaaaaaaaar sekali" Kinanti yang sedari tadi murung akhirnya menunjukan senyuman manisnya. Dia mengangguk senang dan memelukku.

Aku membereskan koperku dan meninggalkan rumah setelah berpamitan. Mas Adam mengantar kami sampai bandara xx. Raihan sudah memesankan penerbangan yang berangkat paling awal.

"Berapa Dim?"

"Kepo lo. Tinggal naik aja, gue nggak minta lo bayar tiket pesawat sendiri tenang aja hahahaha" Dimas Merangkul pundakku seperti biasanya.

Sekarang kami sudah berada di pesawat, business class dengan penerbangan paling awal.

Dimas memang berasal dari keluarga berada. Usaha keluarganya di LN sangatlah maju dan sukses. Aku pernah mendengar bahwa mereka mulai membuka anak cabang perusahaannya di kota-kota besar di Indonesia. Mungkin Yogyakarta adalah salah satunya.

Terpopuler

Comments

Ongkodut JL

Ongkodut JL

hemm kenapa nda sama dimas saja

2020-08-21

2

Elmo

Elmo

murahan sekali langit jingga.

2020-08-17

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!