Aku menyelesaikan pekerjaanku. Aku merapikan laporan keuangan yang baru saja ku terima dari manager. Merangkumnya dari bulan ke bulan menjadi satu bagian. Supaya suamiku lebih mudah membacanya.
Suamiku tidak ada di ruangannya, aku meninggalkan beberapa berkas yang dimintanya di meja kerja mas Raihan.
"Bhum , kemana??" aku menunjuk kursi kosong tempat suamiku duduk.
"Saya tidak tahu nona Jingga, perginya sih buru-buru"
Benar-benar peranku hanya di ranjang selama ini. Lalu apa gunanya pernikahan kalau dalam hal kayak gini aja kamu nggak terbuka mas.
"Yaudah Bhum , titip berkas ini. Saya pulang duluan"
"Sama supir kan non?"
Aku harus berbohong, kalau tidak bisa-bisa Bhumi mengantarku sampai rumah ibu.
"Iya dong, kan udah ada supir. Ngapain naik taksi. hehehe udah ya Bhum" Bhumi mengangguk kemudian kembali berkutat dengan laptopnya.
Aku pergi meninggalkan kantor menggunakan taksi online, tujuanku adalah rumah Ibu. Dalam perjalanan di sebuah cafe aku melihat mobil mas Raihan. Aku yakin itu mobilnya, karena aku sudah menghafal platnya. Mungkin saja dia bertemu klien disitu.
Berjam-jam aku berada di dalam mobil, akhirnya aku tiba juga di komplek perumahanku. Supir taksi tidak mengantarku sampai depan rumah. Karena kebetulan sedang ada perbaikan jalan yang mengharuskanku berjalan kaki atau minimal mengganti kakiku dengan ojek yang ada di pangkalan. Aku memilih berjalan kaki karena jaraknya tidak terlalu jauh.
Drrrt Drrrrrtt , ponselku bergetar. Tanda pesan masuk.
Aku membuka aplikasi whats*pp kemudian nomor tak di kenal mengirimiku sebuah foto. Ini bukan dari orang lain, ini adalah foto yang disengaja. Felicia terlihat memeluk seseorang, dia memfoto dirinya sendiri. Aku hanya melihat punggung pria itu namun aku tahu dengan jelas siapa dia. Karena aku sudah biasa melihat punggungnya sedari awal aku bekerja. Dan pagi tadi aku yang menyiapkan pakaiannya. Maka dari itu aku mengenalinya. Dia adalah suamiku, suami yang belum bisa mencintaiku. Mas Raihan, teganya kamu. Tanpa sadar bulir kristal jatuh dari pelupuk mataku. Aku ingin teriak, ingin menangis tersedu-sedu. Aku tidak mungkin pulang ke rumah Ibu dalam keadaan begini. Aku memutuskan untuk mampir ke rumah sahabat kecilku di belokan depan sebelum rumahku. Aku mengetuk pintunya, air mataku sudah berjatuhan. Badanku terasa ringan, aku sudah tidak memiliki tenaga untuk berdiri. Tak lama kemudian seseorang membuka pintunya untukku.
"Jingga? Kenapa nak? Ayo masuk ayo" seseorang yang aku panggil kakek memelukku erat-erat. Aku memandanginya sepertinya dia tahu maksud tatapanku. "Oh, Dimasnya lagi belanja ke supermarket sama nenek" akupun mengangguk.
Dimas adalah teman sekaligus sahabat kecilku, kami berpisah saat Dimas melanjutkan pendidikannya di Singapura. Ku dengar Dimas kembali belum lama ini, makanya aku memberanikan diri untuk datang.
Aku belum menceritakan perihal pernihkanku, tapi aku yakin kakek dan nenek sudah memberi tahunya. Lagian mana bisa di rahasiakan? Majalah dan surat kabar banyak memberitakan pernikahan kita. Bahkan wajah kami bermunculan di tv tv. Orang-orang mudah mengenali mas Raihan tapi tidak denganku. Seringkali aku berpapasan dengan kolega bisnisnya di jalan namun mereka tidak menegurku. Aku memang jadi orang yang berbeda saat di rias kemarin.
Kakek menyuruhku untuk berbaring di kamar tamu, dia menemaniku. Mengusap-usap rambut panjangku. Hal ini dilakukannya untuk menenangkanku. Dari dulu, saat aku bersedih. Ini adalah rumah kedua tempatku mengadu. Bahkan alm mas Ridho juga dekat dengan kakek dan nenek. Tapi mas Ridho belum pernah bertemu dengan Dimas secara langsung. Ketika Dimas kembali mas Ridho sedang sibuk-sibuknya. Selalu saja begitu.
"Kek ?" Suara yang amat ku kenal. Dia adalah Dimas, aku langsung membalik tubuhku dan duduk. Dimas menghampiriku dan tersenyum mengejek.
"Sudah beranak masih saja cengeng" Takkkkkk . Ya itu adalah kebiasaan Dimas yang paling tidak ku sukai. Menjitak kepala !
Takkkkkk ! "Sudah nikah lagi masih saja cengeng !" Dia menjitak kepalaku dua kali dan yang terakhir wajahnya berubah menjadi sangat serius.
"Huaaaaaaa hiks.. hiksss.... Kakek hhuaaaaaa Dimas jahat hiks" aku meluapkan kekesalanku sekalian, aku masih menangisi foto tadi tapi aku sengaja melampiaskannya pada Dimas. Aku tidak ingin Dimas membenci suamiku, aku memutuskan untuk tidak memberitahunya.
"Dimas , sudah to. Ini Jingga lagi sedih kok kamu godain. Dah Kakek mau bikin teh dulu" kakek meninggalkan kami berdua dengan pintu terbuka.
Dimas diam mematung, duduk di sebelahku.
"Mau peluk hiks.. hiks.." kataku sambil merentangkan tanganku lebar-lebar. Dimas mendorong kepalaku dengan telunjuknya.
"Lo udah jadi istri orang Jingga, bahaya kalo gue peluk" aku memasang wajah memelas supaya Dimas memelukku.
"Yaudah sini, dasar bandel. Udah gue bilangin kalo cari suami yang sayang sama lo !" Dimas memelukku
Kenapa dia bicara seperti itu? apa dia tahu aku sedih karena apa?
"Maksud lo? hiks.. hiks.."
"Lap dulu tuh ingus lo, berhenti nangis baru kita ngobrol" itu perintahnya namun aku hanya diam. Dimas langsung meraih tissue di meja. Kemudian mengusap air mata dan ing*sku. Dia sudah biasa melakukannya dari kecil ketika menenangkanku kala menangis.
"Felicia temen deket gue, lebih tepatnya senior gue dulu di kampus" Aku membelalakan mataku tak percaya. Tangisku sudah berhenti beberapa saat yang lalu.
"Serius lo?"
"Ya iyalah masa gue bohong sama lo. Apa untungnya?"
Aku memejamkan mataku lalu menyandarkan bahuku di kepala ranjang.
"Apa aja yang lo tau?"
"Ya banyak lah, dari ngatain lo pelakor. Bahkan dia curhat sama gue kalo pacaranya janji mau ninggalin lo. Tunggu waktu yang tepat katanya"
Aku manggut-manggut, dadaku terasa sesak sekali. Rupanya ini hanyalah cinta sepihak. Aku sudah mencintainya tapi tidak dengan mas Raihan.
"Kayaknya gue udah ngrasain tanda-tanda bakal jadi janda lagi Dim. Mungkin predikat janda itu emang udah kutukan dan bakalan melekat di diri gue selama-lamanya. Gue emang nggak selevel sama Felicia Dim. Gue sadar itu"
"Lo jangan ngomong gitu dong, gue jadi sedih. Kalo aja gue pulang lo belum nikah. Gue mau jadi papanya Kinanti. Bukan karena gue cinta sama lo. Gue emang sayang sama lo. Gue pengen lindungin lo. Mungkin dengan cara itu tadi. Tapi sayangnya gue terlambat."
"Awwww"
Aku menendang perutnya dengan kakiku. Aku merasa geli mendengar ucapannya barusan.
"Gue serius Jingga. Kalo lo jadi Janda lagi, gak perlu nyari jodoh lagi kesana kemari. Lo nikah aja sama gue. Beres ! Orang tua gue udah kenal baik sama lo lagian" ucapnya santai, aku pura-pura tidak mau membahasnya lagi dengan mengalihkan pembicaraan.
"Gue boleh nginep?"
"Nggak lah kalo lo minta sekamar sama gue kaya waktu kecil gue ga bolehin, tapi kalo lo mau disini ya silahkan" Dimas memang sangat suka menggodaku , bahkan aku sering menangis karenanya. Tapi Dimas paling tidak suka apabila orang lain yang membuatku menangis.
"Gue disini aja"
"Mandi dulu , oh iya air panasnya harus masak. Hahaha kemaren pemanasnya rusak belum gue servis."
"Nggak usah Dim, Air dingin cukup kok buat ademin hati gue yang lagi kebakaran ini. Ambilin anduk lo, kolor lo, kaos lo, ****** lo bila perlu"
"Jorok lo, gue beliin aja ya bentaran" Dimas menyipitkan matanya dan mengangkat bahunya merasa jijik.
"Gue bercanda, ini bawa kok. Tapi beneran gue kangen pake kolor lo. Yang basket itu boleh ya?"
"Ya ya gue ambilin" Dimas beranjak meninggalkanku. Aku langsung masuk ke kamar mandi dan membersihkan tubuhku dari aura aura negatif. Kayaknya aku mesti mandi kembang nih !
Aku melilitkan handuk di pinggangku sampai menutupi bawah lutut. Dan aku menggunakan sweater. Celana basket milik Dimas tentu saja jadi bawahannya.
"Lo nggak pernah pake ginian ya dirumah?" tanya Dimas sambil menoyor kepalaku. Aku menggeleng.
"Ntar gue diomelin mas Adam. Nggak ada cantik-cantiknya katanya. Kalo dirumah suami gue juga lebih nggak berani. Takutnya dia kabur tau gue begini"
"Lo gak usah gitu aja dia kabur hahahaha" Dimas terbahak membuatku mencebikan bibir.
"Jingga makan dulu ayo" ucap nenek memanggilku.
"Makan dulu yuk, laper gue" Dimas mengangguk dan menarikku ke meja makan.
Setelah selesai makan aku dan dimas naik ke atap. menikmati angin malam seperti kebiasaan kami dulu.
"Eh lo diem ya, gue mau angkat telfon nih. Felicia" kata Dimas, dan aku mengangguk. Dimas mengaktivkan speaker supaya aku juga bisa mendengarnya.
"Dim !!!!!!"
"Apaan, nggak usah teriak ! gue denger"
"Tadi gue abis ketemu Raihan"
"Terus?"
"Dia bilang sama gue kalo hubungannya sama pelakor itu tuh nggak harmonis. Gue kan seneng jadinya. Nggak lama lagi dia pasti balik sama gue. Ya nggak ?"
"Oh , selamat ya. Tapi inget loh Karma is real. Lo bisa aja ngalamin hal serupa setelah lo jadi istrinya"
"Bangs*t lo ! Malah nyumpahin gue. Lagian gue yang di tikung . Karma dari hongkong ! Udah ah gue males ngomong sama lo."
Tut
"Lo denger kan? Itu Feli sendiri yang cerita sama gue. Gue nggak ngada-ngada. Lo siap-siap aja jadi bini gue" Dimas menepuk-nepuk pundakku. Aku kembali menangis. Aku memeluknya erat. Aku ingin mengadu pada Ibu dan Abah. Tapi mereka pasti sedih. Aku tidak ingin membebani mereka dengan masalah rumah tanggaku.
Aku mengecek ponselku berkali-kali. Tidak ada tanda-tanda mas Raihan menghubungiku. Sepertinya memang benar yang dikatakan Felicia. Sebentar lagi dia akan kembali padanya.
"Lo liat apaan? Lo berharap suami tampan lo itu nyariin lo?" aku mengangguk sedih. Dimas lagi-lagi hanya menepuki pundaku.
Tak lama kemudian ponselku bergetar, aku mengecek pesan yang baru saja masuk.
"Seorang istri yang pergi meninggalkan rumah tanpa izin itu sudah termasuk golongan istri durhaka belum ya?" pesan dari Mas Raihan membuatku menarik ujung bibir dan menampakan senyum sinis.
Aku mengirim foto yang ku terima dari Felicia. kemudian menulis pesan
"Kalo udah masuk kategori istri durhaka terus mau jadiin alasan buat cerai ya mas ? Silahkan mas. Aku udah tau semuanya. Kita emang air dan minyak , nggak akan pernah bisa bersatu"
Pesan terkirim , tiga menit kemudian mas Raihan membalas pesanku.
"Kamu dapet darimana foto itu?"
"Airin bales !"
"Kamu dimana ? Mas jemput sekarang"
"Airin ! Jangan bikin saya marah !"
Aku hanyan me-read pesan mas Raihan. Aku benar-benar kecewa. Aku tidak berniat untuk membalasnya. Aku tidak perduli seandainya besok bangun tidur aku menjadi janda untuk yang kedua kalinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments