Setelah kejadian tempo hari, aku sudah tidak bekerja lagi di KJ Group. Aku sudah melamar pekerjaan kesana kemari namun yang ku dapatkan nihil. Mas Adam memintaku untuk melamar di tempat kerjanya namun aku menolak karena mas Adam pernah bercerita bahwa bosnya tertarik padaku. Meskipun mas Adam bilang bahwa bosnya masih single. Namun aku tidak peduli, aku hanya ingin bekerja dengan nyaman. Aku tidak ingin bekerja karena ada pengaruh orang dalam. Apalagi orang tersebut katanya menyukaiku.
Sudah sekitar seminggu aku tidak menginjakan kakiku di KJ Group. Aku mengirim balik seluruh gajiku dan mengirimkan credit card milik pak Raihan.
Bhumi menghubungiku beberapa kali, namun panggilannya terus ku tolak. Sebenarnya aku jadi memikirkan pak Raihan akhir-akhir ini. Semakin jauh malah semakin membuatku ingin melihat wajahnya. Karena perasaan aneh ini pula membuatku menyimpan foto-fotonya yang ku dapat dari internet.
Malam ini aku sudah janji dengan Kinanti akan mengajaknya membeli pakaian di mall C. Hanya bermodalkan sisa uangku , semoga saja Kinanti pengertian dengan tidak membeli barang yang mahal.
Aku pergi bersama Mas Adam dan Ibu, Kinanti si bocah menggemaskan duduk di pangkuanku. Aku terus menciumi pipinya, terkadang aku menggigitnya gemas tanpa meninggalkan rasa sakit untuknya.
"Bunda jorok !" kata itulah yang selalu dia keluarkan apabila aku menggigit pipi gempalnya.
"Nduk jadinya mau berapa lama menjabat sebagai pengangguran?" sindir Ibu
"Sudahlah bu, Biarkan saja. Semoga cepat-cepat ada yang melamar Jingga supaya kita tidak perlu lagi berbagi nasi dengan pengangguran" Brukkk . Aku menendang belakang jok mas Adam
"Jahat !" kemudian aku memalingkan wajahku. Mas Adam dan Ibu tertawa bersamaan membuat aku semakin sebal.
Sesampainya di mall C, Aku segera turun dan masuk ke mall. Aku menuju sebuah toko yang menyediakan pakaian bayi dan anak. Aku menggendong Kinanti yang sudah semakin berat. "Bunda turunin Kinan, Kinan mau coba yang itu"
"Siap tuan putri!" aku meraih dress berwarna pink dengan sedikit motiv bunga pilihan Kinanti.
Seleranya sudah aneh sejak kecil, biasanya anak-anak menyukai pakaian yang memiliki banyak motiv. Namun tidak dengan Kinanti, dia lebih suka sesuatu yang simple dan tidak mencolok.
Kinanti sudah memilih beberapa potong pakaian untuknya sendiri, aku berjalan menuju kasir dengan sebelah tanganku menggandeng tangan gendut Kinanti. Ku lihat sosok wanita paruh baya yang tidak asing, aku hanya melihat punggungnya. Dan aku mendengar suaranya, di sampingnya ada pria berpostur atletis. Aku sangat mengenali punggung itu karena hampir sebulan aku bekerja dengannya.
Aku segera menuju kasir dan menggendong Kinanti, aku berharap semoga kedua orang itu tidak mengenaliku, dan semoga mereka tidak melihatku.
"Totalnya enam ratus dua puluh dua ribu rupiah ibu"
"Bunda Kinan aja yang ambil uangnya" aku ingin sekali menolak permintaan Kinanti, tapi aku paling tidak suka menenangkannya ketika Kinanti merajuk.
"Baiklah" aku menghela nafas dan memberikan dompetku padanya. Kinanti mulai menghitung uangnya.
"Satu , dua , tiga, empat, lima, enam, terus berapa bunda?" tanya Kinanti dengan wajah serius seperti orang dewasa. Membuatku tertawa kecil.
"Ambil lima puluh ribuan , yang warna biru sayangku"
"Jingga ! Jingga ya benar?" sapa seorang wanita muda yang tidak lain adalah teman kampusku dulu.
Aku segera menarik tangannya , aku berharap kedua orang yang ku hindari tidak melihat bahkan mendengar ucapan Dian barusan.
Aku menoleh ke belakang, namun ternyata mereka melihat ke arahku. Pak Raihan memasang wajah dinginnya sedangkan Mami Maryam tersenyum dengan senyum menghangatkan. Mereka berdua berjalan ke arahku, aku pura-pura mengabaikannya.
"Kinanti udah besar ya, Kamu kapan cari ayah buat Kinan? Udah 5 tahun loh Ngga. Kamu belum mengikhlaskan kepergian mas Ridho ?" aku segera menggeleng dengan mengernyitkan dahiku berharap Dian segera menghentikan ucapannya.
"Jingga, jadi suami kamu sudah almarhum?" mami Maryam meraih lenganku dan menghadapkanku ke arahnya. Aku seperti kehabisan kata-kata sekarang.
Aku segera berbalik dan menyelesaikan pembayaran.
"Jingga hutang penjelasan sama mami ya" ucap wanita itu ramah. Aku menggendong Kinanti kemudian meninggalkan Dian disana. Mami dan Pak Raihan berjalan mengekoriku. Aku ingin mengusirnya namun aku tidak tega bersikap seperti itu pada Maminya.
"Namanya Kinan ya?" tanya Mami menghadap ke arah Kinanti. Kinanti mengangguk
"Panggil oma sayang" kata Mami sambil mengelus puncak kepala Kinanti.
"Duduk dulu" ucap Mami menarik lenganku pelan , Aku duduk di sebuah food court di mall tersebut. Tanpa aba-aba aku memesan sebuah ice cream berukuran besar untukku dan Kinanti. Mami dan Rayhan hanya memesan minum. Sejujurnya aku merasa seperti sedang di sidang. Aku ingin kabur !
"Kenapa kamu menghilang Jingga?" tanya Mami memegangi tanganku.
"Bunda, mereka siapa? Apa Kinan mengenalnya?"
"Ini bos Bunda di tempat bunda kerja yang dulu, namanya Pak Raihan. Dan ini Ibunya pak Raihan . Kinan boleh panggil Oma" Kinanti manggut-manggut. Aku tidak tahu mengapa aku menurut saja pada wanita paruh baya ini. Diriku menginginkan untuk mengacuhkan mereka, namun sisi hatiku yang lain menginginkan hal sebaliknya.
"Mami saya sudah resign" ucapku menarik ujung bibir sedikit menampakan senyum.
"Saya belum menyetujuinya Airin, saya anggap kamu sedang cuti" sahut pak Raihan dingin dengan wajah datar
"Tapi pak?"
"Saya tidak menerima penolakan, kamu sendiri yang menandatangani kontrak. Disitu jelas tertulis tidak dapat memutus kontrak kerja secara sepihak tanpa persetujuan dari saya !"
"Raihan, jangan kasar-kasar ada anak kecil" ucap mami. Kinanti menatap pak Raihan dengan wajah ketakutan sambil memelukku.
"Nggak papa Kinan, om itu lagi ngambek gara-gara bunda nggak masuk kerja. Ya kan om?" ucapku sambil tersenyum. Pak Raihan langsung tersenyum kecut.
"Bunda kalo om ngambek, bunda cium dong kaya Kinan kalo ngambek bunda cium cium terus tos hidung. Habis itu bunda beliin permen" ucap Kinan polos membuatku membelalakan mata dan tersenyum getir ke arah Mami. Pak Raihan melotot ke arahku. Aku tidak bisa mengerem mulut anaku sendiri. Kalian tahu kan ? dia hanya mengatakan apa yang ada di pikirannya saja.
"Hahaha, Kinan betul tapi nggak boleh. Karena om itu bukan ayah Kinan" Ucapku asal
"Terus ayah Kinan yang mana bunda, bunda bilang mau cari ayah buat Kinan tapi kok nggak dapet-dapet?" Astaghfirullah Kinanti, kalau kamu bukan anak bunda sudah bunda gigit saking gemasnya ! Lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum getir.
"Kinan mau nggak , om ini jadi ayahnya Kinan?" Tanya Mami menatap Kinanti penuh harap. Kinantu memandangi pak Raihan dari ujung kepala hingga kakinya. Aku harus segera menghentikan pembicaraan ini.
"Kinan , itu eskrimnya udah dateng. Di makan dulu yuk" Kinan mengangguk , aku dan kinan mulai melahap es krim tiga rasa itu. Mami memandang kami berdua dan pak Raihan melempar pandangannya entah kemana.
"Kinan belum jawan pertanyaan oma, Kinan mau om ini jadi ayah Kinan nggak?" rupanya mami bersikeras mendengar jawaban Kinanti. Kinanti mengangguk beberapa kali. "Mau oma, tapi om harus baik sama Kinan dan Bunda" jawabnya polos.
"Mi, jangan bahas itu terus" Pak Raihan mulai kesal.
"Jingga mau ya jadi mantu mami?" kenapa mami memaksaku untuk jadi menantunya, aku benar-benar heran pada mami.
"Mami? Bisa kita bicara bertiga. Jingga Mami dan pak Raihan. Tidak disini" ucapku menatap mami penuh harap
"Baiklah Jingga, nanti mami telfon ya" aku mengangguk. Tak lama kemudian mas Adam dan Ibu datang menghampiri meja kami.
"Nduk ? sama siapa?" Tanya Ibu sambil melangkah ke arah kami. Tangan mas Adam sudah penuh dengan paper bag yang entah apa isinya.
Dan ketika Ibu sampai di mejaku. Ibu dan mami saling pandang, Ibu terlihat sangat terkejut tapi tidak dengan mami. Mami tersenyum senang lalu bangun dari duduknya. Mami segera memeluk Ibuku.
"Ajeng, apa kabar?" tanya mami pada ibu. Ibu menitihkan air matanya.
"Mbak Maryam yang apa kabar? kami selalu baik mbak" mereka mengurai pelukannya. Mami meminta Ibu dan mas Adam untuk duduk. Mas Adam menggerakan alisnya ke arahku, aku paham apa yang ingin di tanyakannya. Aku hanya menggeleng pelan pada mas adam. Ibu menghapus air matanya.
"Mbak ini si kembar?" Tanya Ibu menatap pak Raihan dengan senyum. Pak Raihan hanya memasang wajah datar sepertinya dia tak terkejut sama sekali.
"Iya jeng, Zayn sudah jadi dokter hebat sekarang" ucap Mami
"Alhamdulillah kalo gitu mbak, oh iya ini Adam yang sering saya bawa ke tempat mbak" ibu menepuk pundak mas Adam dengan maksud memperkenalkan.
"Adam tampan sekali, sudah menikah?" tanya Mami
"Sudah bu, anak saya mau 2 sebentar lagi" jawab mas Adam senyum.
"Panggil mami aja, dulu kamu kecil juga panggilnya mami" mami tersenyum ke arah mas Adam.
"Baik mami" jawab mas Adam
"Ajeng sebenarnya saya sudah merencanakan pertemuan kita kembali dengan bang Sulaiman, tapi tidak seperti ini. Saya ingin melamar Jingga untuk Raihan anak saya" ucap mami dengan senyum kecil tersungging di bibirnya. Ibu dan mas Adam tampak terkejut. Apalagi aku? dilamar di mall sama orang yang nggak cinta sama aku !
"Tapi mbak, keluarga kita bukan keluarga terpandang seperti mbak Maryam. Juga Jingga bukan wanita yang pantas untuk Raihan. Karena Jingga sudah pernah menikah bahkan memiliki seorang putri" ucap ibu sendu.
"Saya tahu Ajeng, kami menerima Jingga apa adanya. Juga karena kami sudah melihat bahwa Jingga adalah perempuan yang baik. Semoga kalian tidak menolak niat baik kami ya Jeng." ibu menatap ke arahku. Aku bingung harus bersikap seperti apa sekarang. Apakah aku harus mengangguk? Atau menggeleng?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments