Mami? yang benar saja aku harus memanggilnya mami.
"Bhumi juga panggil mami kok, ya kan Bhum?" Kata wanita itu seolah mengerti apa yang aku pikirkan.
"Iya mi" Bhumi beranjak ke meja kerjanya melanjutkan pekerjaannya lagi.
"Baiklah nyonya, ah.. Mami, saya permisi" Aku merendahkan tubuhku sedikit sebagai tanda penghormatan. Aku segera keluar meraih ponsel dan dompetku kemudian mengecek whatsapp . Rupanya para Pejuang Receh sudah menunggu dan memesankan makanan untukku. Aku berlari kecil menuju lift karyawan. Ting , lift terbuka menampilkan sosok tampan seseorang yang mirip bosku. Siapa lagi kalau bukan adik kembarnya Zayn.
"Jingga mau kemana?"
"Ke kantin dokter" Kataku ramah
"Tadinya saya mau jemput Mami, tapi makan dulu nggak apa-apa kali ya. Apa saya boleh ikut?" Kata Zayn mengedip-ngedipkan matanya seperti anak kecil.
"Ya bolehlah dok, ini kan bukan kantin saya. Kenapa minta ijin? hehehe. Ayo dok udah sampe"
"Jingga jangan panggil dok dok dok kalo nggak lagi di rumah sakit" Gerutunya sambil melirikku sinis.
"Oh iya bang Zayn, ayo bang"
Aku berjalan beriringan dengan Zayn, aku memperhatikan bahwa mata itu memperhatikanku lagi. Jangan-jangan mereka akan membuat gosip baru tentangku.
Aku tidak menghiraukannya, kubiarkan mereka seolah aku tidak melihatnya. Aku segera duduk bersama Dina dan Fia. Zayn memesan makanannya lalu menyusulku duduk di kursi kosong sebelahku.
"Zayn" Zayn menyalami kedua temanku . Fia dan Dina menyambutnya dan memperkenalkan dirinya.
"Padahal nggak usah ngenalin juga kita udah tahu kok, dokter Zayn adiknya pak dirut kan?" Tanya Fia ramah. Zayn hanya mengangguk. Aku menyantap dan menikmati makananku, jujur saja aku sangat lapar. Karena pagi tadi aku tidak sarapan.
"Laper banget Ngga?"
"Iya bang, nggak sempet sarapan"
"Jangan suka nglewatin jam makan gitu, nanti sakit gimana" Katanya sambil menatap ke arahku.
"Cieee perhatian banget sih dokter" Dina menggoda Zayn, tapi sikap Zayn biasa saja.
"Soalnya kalo dia sakit saya yang repot" Zayn terkekeh masih menatpku.
"Kok abang yang repot?" aku memicingkan mataku, menyelidiki kata-kata Zayn barusan.
"Kamu nggak ingat yang kemarin ?" Tanya Zayn dengan mimik mengejek.
"Oh itu, pak Raihan ya?" Aku melanjutkan makanku sambil mengangguk berkali-kali.
"Kamu tau nggak waktu itu saya lagi ngapain?" Tanya Zayn
"Ya nggak lah bang, kan saya nggak liat."
"Saya sedang potong rambut Jingga, untung aja baru selesai. Kamu bisa bayangkan yang terjadi seandainya acara potong rambutku belum selesai?"
"Hahahaha" Aku hanya tertawa melihat ekspresi Zayn yang lucu itu.
"Bang Raihan orangnya pemaksa, dia tidak peduli sedang apa dan dimana. Pokoknya sekalinya bang Raihan membutuhkan seseorang, saat itu juga dia harus tiba dengan cepat di hadapannya"
"Kalau dokter menolak gimana?" Timpal Fia sambil menyeruput teh hangatnya.
Pelayan tiba mengantarkan makanan milik Zayn dan meletakannya di meja. "Terimakasih" Ucap Zayn pada pelayan itu.
"Kalau karyawannya, mungkin bisa saja dipecat. Tapi karena aku adiknya jadi paling dia mendiamkan ku beberapa hari." Ucapnya sambil mengaduk mie di hadapannya.
"Serem banget ya Fi" Dina bergidik melirik ke arah Fia, Padahal aku juga ngeri mendengar kata pecat itu.
******
Hari Jumat aku bangun pagi sekali, aku segera bangun, mandi kemudian melaksanakan kewajibanku.
Aku berencana untuk memasak pagi ini, sebelumnya aku membuka pintu menuju balkon supaya udara segar masuk kedalam apartemen.
Aku memulai kegiatan memasakku, aku sangat senang karena akhirnya kebutuhan dapurku terpenuhi.
Aku berencana memasak cumi saus tiram, capcay, tempe goreng. Setelah selesai memasak ponselku berdering, aku segera mengangkatnya. Ada apa pak Bhumi pagi-pagi menelfonku.
"Jingga?"
"Ya saya pak, ada apa?"
"Kamu masak apa? Baunya sampai kesini?"
"Hah ?"
"Kamu sengaja membuka lebar-lebar pintu balkon? untuk menggoda cacing-cacingku yang sedang demo?"
Aku segera lari menuju balkon, dan benar saja pak bhumi sedang berdiri memegang ponselnya menghadap ke arahku. Dia masih menggunakan piyama tidurnya. Bangun tidur saja tampan sekali.
"Jingga?"
"Ya pak?"
"Boleh saya ikut makan ? sepertinya masakanmu enak sekali"
"Darimana bapak tahu?"
"Dari baunya"
"Yasudah kemari pak"
Tut dia mematikan telfonnya, lalu masuk kedalam apartemennya sendiri. Aku heran kenapa akhir-akhir ini aku sering bertemu pria tampan. Apa pak Raihan memiliki kriteria untuk para pekerjanya?
Ting Tong
Aku segera membuka pintu setelah mendengar bunyi bel. "Masuk pak, silahkan."
Aku mempersilahkannya duduk, kemudian ku ambil secentong nasi untuknya dan meletakannya di hadapannya.
Grrrrrd Grrrrrrd
"Si bos telfon nih" Katanya sambil menunjukan ponselnya ke hadapanku, kemudian langsung mengangkatnya.
"Ya?" Bhumi sengaja mengaktivkan mode speakernya. Dan meletakannya di meja, sambil menyantap makanannya dia menjawabi telfon pak Raihan.
"Lo makan apa? Gue baru mau nyuruh lo bawa makan ke kemar gue !" Lo gue? kenapa percakapan mereka terdengar akrab sekali. Bukan seperti karyawan dan bos.
"Gue lagi makan makanan gratis dan enak pastinya"
Pak Bhumi bicara dengan mulut penuhnya, Lucu sekali ! Apa pria tampan harus selucu itu?
"Dimana?"
"Di apartemen"
"Bohong, gue masuk apartemen lo kosong"
"Apartemen Jingga"
"APAAAAA!!!!!??????"
Tut
Ting tong
Bhumi membukakan pintu untuk Pak Raihan, aku membiarkannya saja. Lebih baik aku makan masakan lezatku ini. Pak Raihan berjalan cepat menuju meja makan merentangkan kedua telapak tangan menekannya ke meja.
"Bagaimana mungkin kamu mengundangnya sarapan tanpaku?" Pak Raihan menatapku dengan tatapan membunuh.
"Gue kesini sendiri tanpa diundang, habis baunya enak banget kecium dari apartemen gue." Bhumi menjelaskan sebelum aku menjawab pertanyaannya
"Kok bisa?"
"Dia masak tapi pintu balkon dibuka, kebeneran gue juga baru duduk di balkon tuh. Ada bau sedep apaan kata gue. Eh ternyata calon istri idaman lagi masak enak" Kemudian Bhumi duduk melanjutkan makan paginya yang tertunda.
"Yaudah saya juga mau makan" Kata Pak Raihan kepadaku
Aku segera mengambilkan dua centong nasi untuknya "Kamu pikir saya kuli bangunan yang makannya banyak?" Kenapa mesti menggerutu, kan dia tinggal bilang kalau ini kebanyakan. Tanpa menjawab aku menyingkirkan satu centong nasi di piring, ku pindahkan ke piringku.
"Rakus juga kamu ternyata" Katanya dengan senyum sinis.
Pagi ini aku sarapan bertiga. Aku sangat bahagia meskipun hanya sesaat. Setidaknya aku tidak merasa kesepian saat sarapan pagi ini.
"Airin masakan kamu enak, enak banget" Ucapnya memuji masakanku. Aku sudah terbiasa dengan panggilannya untukku. Meskipun terkadang membuatku mengingat Alm mas Ridho.
"Terimakasih pak"
"Besok-besok boleh sarapan disini lagi nggak ?" Tanya Bhumi melirik ke arahku "Ya boleh lah pak, tapi bapak yang belanja ya. Bisa-bisa saya bangkrut dong masakin buat dua orang setiap hari." Jawabku asal
"Siapa bilang dua orang? Kalau Bhumi kesini berarti saya juga harus kesini Airin !" Ucap Pak Raihan menatapku tajam
"Bapak kasih saya uang belanja dong, saya bisa masak buat bapak setiap hari" Aku selesai dengan sarapanku begitu juga Bhumi. Aku meraih piring yang Bhumi gunakan tadi. "Nggak usah, saya cuci sendiri aja." Kata Bhumi kemudian meraih piringku juga.
"Airin bersiaplah, kita berangkat bertiga ke kantor" Kata pak Raihan sambil berlalu meninggalkan apartemen.
******
"Airin ikut saya" Pak Raihan masuk ke ruangannya, tentu saja saya mengikutinya. Dia membuka dompetnya kemudian mengeluarkan sebuah kartu berwarna silver.
"Pakai ini untuk belanja bahan makanan, di supermarket. Saya suka masakan kamu. Mulai sekarang saya akan makan pagi dan malam di apartemenmu"
"Hah? Bapak bercanda?"
"Apa ? Kamu keberatan dengan keinginan saya?" Tanya pak Raihan sambil membuka laptopnya.
"Tidak pak"
"Harusnya kamu senang, seorang Raihan bisa-bisanya memuji masakan kamu"
"Iya pak saya senang sekali, terimakasih"
"Pakai uang itu untuk belanja kebutuhan dapur, apa saja"
"Baik pak, saya permisi"
******
Sepulang kerja aku langsung menuju halte, aku berencana untuk pulang kerumah Ibu karena ini hari Sabtu. Aku kangen Kinanti, aku ingin segera mencubit dan menggigit pipi gembilnya.
"Kinanti bunda pulang sayang"
Belum nampak kendaraan umum yang bisa ku naiki pulang. Tak lama kemudian sebuah mobil yang sangat ku kenal berhenti di hadapanku.
"Jingga mau pulang?" Tanya pria tampan berkacamata, itu adalah Zayn.
"Iya bang"
"Yuk bareng aja" Dia membukakan pintu untukku tanpa keluar dari mobilnya.
"Bang saya mau pulang kerumah Ibu saya, jauh loh apalagi macet. Bisa 3jam lebih sampainya. Makasih ya atas tawarannya bang" Kataku sambil menutup kembali pintu mobilnya.
"Hmm baiklah, hati-hati ya Jingga"
"Iya bang" Zayn pergi setelahnya.
Aku menaiki taksi kemudian memberitahu alamat rumah pada pak supir. Setelah perjalanan yang melelahkan ini akhinya aku tiba di rumah yang sangat kurindukan.
"Abaaah" Aku memeluk abah dari belakang. Abah sedang duduk bersantai di halaman depan.
"Kenapa mau pulang nggak bilang mas mu ? Kan bisa minta jemput" Aku menggelengkan kepalaku "Nggak papa bah. Jingga masuk dulu ya" Abah mengangguk. Aku masuk , kulihat keluargaku sedang menonton televisi. Aku menyalaminya mencium punggung tangan mereka. Ibu, Mas Adam dan Mba Ayu. Tak lupa untuk mencubit pelan pipi Kinanti dan mengecupinya berkali-kali sampai Kinanti menunjukan wajah kesalnya.
"Aaaaa Bunda udah dong" Katanya sambil mengusap-usap pipi gembilnya.
"Kirain nggak jadi pulang kamu dek"
"Jadi lah mas, kan Jingga udah ngomong waktu itu"
"Kalo kamu hubungin mas dari pagi pasti mas jemput sorenya"
"Takutnya pulang telat mas, atau ada kerjaan mendadak gitu"
"Nduk sana mandi dulu , setelah itu sholat" Ujar Ibu sambil mengganti chanel TV .
Aku naik ke lantai dua dan masuk ke kamarku, aku merasa ada yang berbeda dari kamarku. Ku amati setiap benda di setiap sudut. Ternyata aku menemukan beberapa boneka asing, itu pasti milik Kinanti. Siapa yang membelikannya? Apa oleh-oleh dari abah? atau mas Adam yang membelikannya?
Sudahlah, sebaiknya aku mandi sekarang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments