DARK ART

DARK ART

01

Terlihat pantulan seorang anak laki-laki di cermin, dia mengenakan dasi dan memakai kacamata bundar. Nama anak laki-laki itu adalah Liam. Dilihat dari penampilannya, jelas terlihat bahwa Liam adalah seorang siswa yang culun. Hari ini dia akan pindah ke sekolah barunya, namun, dia merasa tidak antusias dan sangat malas dengan sekolah barunya.

Seseorang mengetuk pintunya dan berkata, "Tuan muda, apakah anda sudah siap? Ayah anda sedang menunggu untuk sarapan, cepatlah turun." Orang yang mengatakan itu adalah salah satu pelayan di rumah Liam.

Sambil menghela napas, Liam menengok ke atas dari cermin dan menghela napas lagi. Sekolah barunya dimulai hari ini, tapi bukannya kegembiraan atau antisipasi, dia hanya merasa apatis dan tidak tertarik. Pikiran untuk pindah ke sekolah baru tidak membuatnya senang ataupun takut - itu hanyalah tugas membosankan yang harus dilakukannya. Sebelum dia sempat menjawab pelayan itu, terdengar suara teriakan dari bawah.

Ayahnya memanggil, "Liam, apakah kamu sudah siap? Kita akan terlambat! Turunlah ke sini sekarang juga!"

Liam menghela napas lagi dan bergumam dalam hati. "Aku datang, Ayah, aku datang." Dia melirik sekali lagi ke cermin sebelum bergegas keluar kamar dan turun ke bawah. Ketika dia tiba di dapur, dia bertemu dengan ayahnya, yang sudah duduk, menyantap sarapannya.

Ketika Liam duduk, ayahnya memelototi Liam, "Kamu tahu bahwa kamu harus belajar dengan baik, dan kamu harus mendapatkan peringkat pertama. Jika kamu tidak melakukannya dengan benar, aku akan menghukummu. Apakah kamu mengerti?"

"Ya, Ayah. Aku mengerti," kata Liam sambil menundukkan kepalanya. Dia membenci bagian dari rutinitas hariannya ini - sifat sombong ayahnya dan kata-kata yang mengancam. Namun, dia terlalu takut dengan temperamen ayahnya untuk menolak. Sebaliknya, dia hanya menelan harga dirinya, mengertakkan gigi, dan dengan tenang menyantap sarapannya.

Ayah Liam adalah seorang Direktur di perusahaan fashion terbesar, dan dia sangat tegas terhadap Liam. Dia selalu menyuruh Liam untuk melakukan apa yang dia katakan meskipun Liam tidak menyukainya, misalnya belajar. Dia ingin Liam selalu belajar dan terus mendapatkan peringkat pertama, sementara Liam sendiri sudah bosan belajar.

Ayahnya melirik Liam, "Ayah akan menunggumu di luar, cepat selesaikan sarapanmu. Jangan sampai kesabaran ayah habis." Setelah mengatakan itu, ayahnya pergi meninggalkan Liam.

"Ya, ya, aku tahu," gumam Liam dalam hati. Dia tidak suka diperintah oleh ayahnya, dan dia benci diancam dengan hukuman setiap kali dia tidak menurut.

Namun, dia juga tahu bahwa dia tidak punya pilihan selain mematuhinya. Jadi, dengan sedikit memutar matanya, dia mulai menyantap sarapannya dengan cepat. Dalam beberapa menit, dia sudah selesai, dan dia berlari keluar rumah untuk bergabung dengan ayahnya di luar.

Ayahnya sedang menunggu di dalam mobil, dan memandang Liam dengan kesal. "Cepatlah masuk, apa kamu mau terlambat di hari pertama di sekolah barumu?" katanya.

"Tidak, Ayah, aku datang," kata Liam, berusaha menyembunyikan kekesalannya dari ayahnya. Hal terakhir yang ia inginkan adalah ayahnya tidak berteriak padanya lagi. Dia masuk ke dalam mobil dan dengan cepat menutup pintu di belakangnya.

Setelah dia aman di dalam mobil, dia menarik napas dalam-dalam dan menunggu dengan sabar sampai ayahnya menyalakan mesin.

Saat mereka menjauh dari rumah, Liam tidak bisa tidak memikirkan betapa dia tidak menyukai tekanan dan tuntutan ayahnya yang terus-menerus. Dia mengerti bahwa ayahnya ingin dia sukses, tetapi dia juga merasa ada kalanya ayahnya terlalu sombong, terlalu ketat, dan terlalu mengontrol. Pikiran itu membuatnya merasa tidak nyaman dan gugup saat mereka berkendara dalam keheningan menuju sekolah baru.

Begitu mereka tiba di sekolah, ayah Liam berhenti sejenak dan berbalik menghadapnya.

"Ingat apa yang aku katakan - dapatkan nilai yang bagus dan selalu peringkat pertama. Jangan mengecewakan aku. Aku akan menunggumu untuk laporan yang kamu berikan yaitu nilai-nilaimu," kata ayahnya dengan mimik wajah yang tegas.

"Ya, Ayah," kata Liam, tidak menyembunyikan kekesalannya pada kata-kata ayahnya. Dia tidak suka ditekan seperti ini, namun dia tahu bahwa tidak ada yang bisa menghindar dari ekspektasi ayahnya. Jadi dia hanya mengangguk pelan dan menerima instruksinya. Dengan tatapan terakhir, ayahnya memutar balik mobilnya dan pergi, meninggalkan Liam sendirian di depan sekolah barunya.

Sesampainya di kelas barunya, Liam berdiri di depan teman-teman sekelasnya. Wali kelas berbicara, "Baiklah anak-anak, kita kedatangan murid baru. Liam, tolong perkenalkan dirimu."

Liam melirik dengan gelisah ke arah guru dan kemudian ke arah teman-teman sekelasnya. Dia merasa canggung dan tidak pada tempatnya di lingkungan yang baru ini, tetapi dia tahu dia harus mengikuti instruksi guru. Jadi, dengan senyum gugup, dia menarik napas dalam-dalam dan mulai berbicara.

"Halo, semuanya. Aku Liam, dan aku baru di sini. Senang bertemu dengan kalian semua," katanya dengan sopan, tetapi tanpa banyak antusiasme.

Teman-teman sekelasnya saling bertukar pandang, beberapa di antara mereka tersenyum sopan, sementara yang lain menatap Liam dengan penuh rasa ingin tahu dan ketertarikan. Beberapa murid bahkan saling berbisik satu sama lain, mungkin bertanya-tanya siapa anak baru ini. Sang guru berbicara lagi, "Bagus sekali. Semuanya, tolong buat dia merasa diterima. Tidak pernah mudah untuk masuk ke sekolah baru, jadi mari kita buat dia merasa seperti di rumah sendiri."

Ketika Liam berjalan menuju tempat duduknya, dia dapat mendengar orang-orang berbisik-bisik sambil tertawa kecil tentang dia, "Hei, bukankah murid baru itu sangat culun?"

Liam mengabaikannya dan segera duduk, lalu mengeluarkan bukunya untuk belajar.

Begitu dia duduk, bisikan itu semakin keras. Para siswa secara jelas mengolok-olok dia dan penampilannya. Mereka bahkan tertawa kecil, mengatakan hal-hal seperti, "Yah, dia benar-benar terlihat seperti kutu buku," dan, "Semoga saja dia pintar."

Liam berusaha sebaik mungkin untuk mengabaikan mereka dan fokus pada pelajarannya, tetapi sulit untuk mengabaikan bisikan dan tawa mereka. Dia hanya mencoba mengabaikannya dan fokus pada bukunya.

Teman sebangku Liam mengulurkan tangannya kepada Liam, "Nama aku Jay, semoga kita bisa menjadi teman baik."

Liam menoleh untuk melihat Jay, menarik napas dalam-dalam dan mencoba mengabaikan bisikan dan tawa di sekitarnya. Ketika ia melihat tangan Jay terulur, ia perlahan-lahan mengulurkan tangan dan menjabat tangannya.

"Hai, aku Liam. Senang bertemu dengan kamu," katanya dengan lembut, kegelisahannya masih terlihat jelas dalam nadanya.

Seorang siswi yang duduk di depannya menoleh dan juga mengulurkan tangannya, "Hai, aku Aurel."

Liam tersenyum kecil dan menjabat tangannya.

"Senang bertemu denganmu, Aurel," katanya, berusaha terlihat ramah dan mudah didekati. Ia berharap tidak ada teman sekelasnya yang menilainya terlalu aneh karena penampilan dan sifat kutu buku yang dimilikinya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!