| 6 Kenyataan masam

Surya mengangkat telepon dengan suara serak, mencoba terdengar santai. "Halo, ada apa?" tanyanya, memunggungi Kemy yang diam-diam memasang telinga.

"Bro, lu lagi di studio?" Suara Dipta terdengar riang, namun ada sedikit nada ragu di baliknya.

"Iya, baru sampai. Kenapa?" Surya mencoba netral.

"Gue mau mampir sebentar. Ada yang mau gue omongin," jawab Dipta.

Surya terdiam, melirik Kemy yang berdiri di sudut studio dengan ekspresi penuh rasa ingin tahu. Pikirannya berputar cepat. Jika Dipta datang dan melihat Kemy di sini, situasi bisa menjadi canggung, atau bahkan lebih buruk.

"Agak sorean, ya. Lagi nanggung," elak Surya, menutup telepon sebelum Dipta sempat menjawab. Ia menatap Kemy dalam-dalam. Pikiran tentang Mariana dan keterkaitannya dengan Dipta, muncul lagi. Ada sesuatu yang tidak beres, dan dia tahu itu.

"Kenapa?" tanya Kemy, suaranya menyiratkan rasa penasaran.

"Bukan apa-apa. Ayo, kita bahas proyek ini lagi," jawab Surya, mengalihkan topik. Namun, sebelum melangkah, ia berbalik. "Btw, Dipta tahu, kan, kalau kamu ke sini hari ini?" pancingnya, memperhatikan ekspresi wanita itu.

Kemy tersentak, gugup. "Y-ya tahu lah. Ini kan proyek dari dia. Masa aku nggak bilang?"

Surya tahu dia berbohong. Dari nada bicara Dipta tadi, jelas lelaki itu tidak tahu. Tapi Surya memutuskan untuk membiarkannya. Ia menyodorkan sebuah bungkusan pada Kemy.

"Apa ini?" tanya Kemy curiga.

"Lihat aja sendiri," jawab Surya malas. Melihat Kemy hanya menatapnya tanpa menyentuh, dia gemas. "Ambil nggak?"

Akhirnya, Kemy meraihnya dengan enggan. Isinya es selendang mayang, minuman favoritnya dulu. Rasa nostalgia menghampiri, meski ia tak mengucapkan apa-apa.

Tak lama, beberapa teman studio Surya datang satu per satu. Suasana langsung berubah riuh. Kemy terkejut, mereka semua ramah dan menyenangkan. Bahkan, dalam waktu singkat, ia merasa seperti mengenal mereka sudah lama. Namun, saat semua kembali fokus pada pekerjaan, ruangan itu berubah senyap.

Kemy memandang layar komputer Surya yang menampilkan panel komik mereka. "Wah, keren banget! Ini melebihi ekspektasi aku. Gambarannya pas banget sama yang aku bayangkan!" serunya antusias.

"Ini belum selesai, loh," ujar Surya sambil tersenyum tipis.

Kemy menatapnya tak percaya. "Belum selesai? Ini aja udah kelihatan sempurna!"

Surya berdecak. "Ah, jangan terlalu memuji gitu dong. Kan jadinya ketauan kalo kamu sebegitu sukanya sama aku," sindir Surya dengan jenaka.

Kemy menoleh dengan wajah tak terima. "Dih! Siapa yang muji secara personal. Ucapan aku ini ditujukan untuk karya kamu. Eh, tapi... gambar kamu kok mirip sama komik karya Samez, ya?"

"Kamu tahu tentang Samez?" tanya Surya tak bisa menutupi rasa terkejutnya saat Kemy menyebutkan nama panggung Surya di kancah jagat Ilustrator.

"Oh, tahu dong. Ara, sahabatku, fans berat Samez. Karena dia sering baca, aku jadi ikut kagum. Aku pikir, komikus itu pasti punya tangan yang cantik," jawab Kemy, tersenyum kecil.

Surya, tanpa sadar, melirik jemarinya sendiri. "Cantik, ya?" gumamnya dalam hati.

Pujiannya membuat Surya bangga. Rasa itu mirip dengan euforia pertama kali ia berhasil memikat platform besar dengan karyanya.

...----------------...

Surya memasuki kafe dengan langkah hati-hati. Pikirannya masih dipenuhi bayangan Mariana yang ia lihat beberapa waktu lalu, berdiri di depan restoran tempatnya biasa makan siang. Ia mencoba menepis rasa penasaran itu, tapi panggilan mendadak Dipta membuat semua kembali mengapung.

Dipta sudah duduk di sudut ruangan dengan secangkir kopi yang nyaris tak disentuh. Ia terlihat gelisah, kedua tangannya terus bermain di pinggir meja. Ketika Surya mendekat, Dipta menoleh dengan ekspresi ragu.

"Sur, makasih udah nyempetin," katanya pelan.

Surya duduk tanpa banyak bicara. Ia tahu temannya ini hanya akan buka suara jika diberi ruang. "Apa yang mau lo omongin, Dip?"

Dipta menghela napas panjang. Ia menunduk sejenak sebelum akhirnya mengangkat wajah dan menatap Surya dengan tatapan penuh beban. "Gue... gue lagi ada masalah, Sur."

Surya menyandarkan punggung ke kursi, menunggu. "Masalah apa?"

Dipta meremas jemarinya, lalu berkata, "Lo masih inget sama Mariana?"

Mariana. Jelas Surya masih mengingat wanita itu. Mariana adalah kekasih Dipta saat mereka masih berkuliah. Akan tetapi mereka sudah lama putus tepat sebelum wanita itu memutuskan pergi ke luar negeri. Setidaknya itulah yang Surya tau.

Tapi, kenapa Dipta mengangkat nama Mariana kepermukaan setelah sekian lama.

"Gue ketemu dia tadi pagi," ungkap Dipta dengan wajah cemas.

Ah, Surya mengerti sekarang, ternyata sosok Mariana yang dia lihat di restoran saat itu ternyata habis bertemu dengan Dipta. Tapi untuk apa? Jangan bilang...

"Gue sebenarnya masih punya hubungan sama Mariana," aku Dipta.

Surya memicingkan mata, mencoba menebak mencerna informasi ini. "Hubungan?Jangan bilang ... Lo bilang ke gue dulu kalian udah selesai, kan?"

Dipta menunduk lebih dalam, seperti merasa malu. "Gue nggak pernah benar-benar selesai sama dia, Sur."

Kalimat itu menghantam Surya seperti gelombang besar. Ia merasa dadanya sesak. "Lo ... masih pacaran sama dia?" tanyanya, hampir tak percaya.

Dipta mengangguk pelan. "Iya, gue masih sama dia. Gue nggak pernah putus, Sur."

Surya terdiam, mencoba menenangkan pikirannya yang berputar. Dipta yang terlihat begitu menyanyangi Kemy ternyata sebejat ini. Dan kehadiran Mariana yang tak lain masih memiliki hubungan serius dengan Dipta seolah tanpa sadar membuat Kemy terjebak di antara mereka.

"Dan lo berani-beraninya ngajak Kemy pacaran? Lo waras?" ujar Surya dengan nada dingin.

Dipta tak bisa menyangkal. "Gue nggak berniat begitu. Awalnya gue cuma mau kerja bareng dia, Sur. Tapi... dia baik banget. Gue ngerasa nyaman."

Surya mengepalkan tangannya. "Parah lo. Lo sadar nggak apa yang lo lakuin ini?"

Dipta hanya menunduk, tak mampu menjawab.

Surya mendadak berdiri, menatap Dipta dengan tatapan penuh kekecewaan. "Lo nggak cuma nyakitin Kemy, Dip, tapi juga Mariana. Lo sadar nggak kalau lo ini egois?"

Dipta mencoba membuka mulut, tapi Surya tak memberinya kesempatan. "Lo pikir lo bisa punya dua cewek sekaligus dan nggak ada yang terluka? Lo nggak tahu gimana hancurnya Kemy kalau dia tahu. Gue nggak peduli gimana hubungan lo sama Mariana, tapi lo nggak bisa terus kayak gini."

Dipta memejamkan matanya, jelas merasa bersalah. "Gue tau, Sur. Tapi gue beneran bingung. Gue nggak mau nyakitin mereka."

"Kalau lo nggak mau nyakitin mereka, lo harus mutusin salah satu," tegas Surya. "Lo nggak bisa terus main di dua sisi."

Dipta terlihat semakin tenggelam dalam rasa bersalahnya. Ia mencoba berkata sesuatu, tapi suaranya tertahan.

"Bukan karena gue nggak peduli sama lo, Dip," kata Surya dengan suara yang berat. "Justru karena gue peduli. Tapi gue nggak bisa diam lihat lo nyakitin orang-orang yang nggak pantas disakitin. Terlebih Kemilau, gue kenal dia lebih lama dari pada kalian."

Dipta terdiam, merasakan beratnya kata-kata Surya. Ia tahu sahabatnya benar, tapi kenyataan yang harus dihadapinya terlalu rumit untuk dipecahkan dalam satu waktu.

Surya menatap Dipta dengan tatapan tajam. "Lo harus beresin ini. Dan lo harus segera mutusin siapa yang bener-bener lo mau. Jangan sampai lo nyakitin Kemy lebih dari ini."

Tanpa menunggu jawaban, Surya mengambil jaketnya dan pergi meninggalkan kafe.

Saat melangkah keluar, Surya merasa hatinya masih bergemuruh. Ia teringat masa lalu dengan Kemy, saat mereka masih bersama di masa sekolah. Ia juga teringat bagaimana ia sendiri pernah menyakiti Kemy, meski dalam skala kecil.

Gue nggak akan biarin lo ngalamin itu lagi, Kem. Gue nggak akan biarin orang lain nyakitin lo seperti gue dulu.

Dengan tekad itu, Surya tahu ia harus melindungi Kemy. Dan ia berharap Dipta dapat segera menyelesaikan kekacauan ini sebelum Kemy ataupun Mariana menyadari penghianatan Dipta, kekasih dengan topeng sempurnanya.

...----------------...

Kemy yang sedang merevisi naskahnya tiba-tiba merasa kupingnya berdengung hebat.

"Duh! Siapa nih yang lagi ngomongin gue!" gumamnya.

Tak lama setelah itu terdengar bunyi suara dari ponselnya, ternyata ada sebuah pesan masuk. Kemy pun langsung membukanya saat tau siapa yang mengirimkan pesan itu.

Bang Cakra: [Lusa gue ke Jakarta.]

Kemy mendesah panjang. Lelaki itu, Bang Cakra, tidak kalah menyebalkan dari Surya. Dia merasa beberapa hari ini orang-orang yang suka mengganggu hidupnya. Muncul secara tiba-tiba.

Bersambung.

Terpopuler

Comments

Itha Mustika

Itha Mustika

uuhh bakalan potek ni hati kimmy,, klo emng mas dipta jalin hub. lgi ma mantan.....
lanjut kak.....
pnasaran ni klanjtannya

2024-02-11

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!