MY BELOVED MAFIA

MY BELOVED MAFIA

Malam yang Rapuh

Luna Noire berdiri membersihkan meja terakhir di "Cafe moon" tempat ia bekerja, kafe ini cocok bagi jiwa yang lelah untuk sekedar menikmati coffe espresso atau memakan kue kue yang lezat.

"Luna, waktunya tutup," panggil Mia temannya sembari membawa tumpukan cangkir. Mendengar suara itu menyadarkan Luna untuk kembali ke realita.

Luna melirik gadis itu, memberikan senyum lelah pada Mia. "Aku hampir selesai," jawabnya, suaranya terdengar kelelahan.

Mia mengangguk, mata mereka mencerminkan kelelahan selama bekerja. Dentingan piring, desis mesin espresso, suara musik yang mengayun menyatu menambah latar belakang mereka. Saat Luna menyapu lantai, pikirannya kembali melayang ke kehidupan yang ia dambakan di luar batas kafe kecil ini. Impian tentang negeri jauh dan mimpi yang indah berbisik padanya. Dia membayangkan dirinya menjelajahi dunia, mengejar apapun yang tak tercapai akan kebebasan.

Tapi ternyata realitas telah menahannya.Beban tanggung jawab menekan bahunya, ia mau tak mau harus bertahan hidup di dunia yang tidak menawarkan jalan pintas.Luna mendesah menyelesaikan pekerjaannya lalu bergabung dengan Mia di balik meja kasir. Kedua teman itu saling bertukar senyum lelah dan tertawa bersama. Rasanya jika ada seseorang semelelahkan apapun terasa tak berat.

"Luna, Tunggu.."

Ketika Luna bersiap pulang dari kafe setelah hari yang melelahkan ini, sebuah suara yang akrab memanggilnya Orang itu adalah Arthur.

Gadis itu berbalik."Ada apa Arthur?"Tanyanya. Cowok berperawakan yang cukup tinggi dan berkacamata itu selalu perhatian padanya. Ia adalah rekan kerja yang baik bagi Luna.

"Luna, biarkan aku mengantarmu pulang. Sudah larut, jalanan bisa sangat berbahaya, aku tidak bisa membiarkanmu pulang sendirian." desak Arthur, kekhawatirannya terpancar diwajahnya.

Diam sejenak Luna ragu, pandangannya melayang pada tawaran Arthur. Namun, rasa mandirinya meluap dan ia tidak ingin terlalu bergantung pada siapapun.Dia tidak bisa membiarkan dirinya untuk menerima kebaikan cowok itu.

"Terima kasih, Arthur, tapi aku akan baik-baik saja sendiri, jangan khawatir."jawab Luna, suaranya lembut namun penuh keteguhan. Dia tidak tega membayangkan untuk merepotkan Arthur.

Arthur mengangguk, namun dapat dilihat ekspresinya menampilkan kekecewaan dan kekhawatiran. Dia cukup mengenal Luna yang mempunyai tekad yang membara di dalam dirinya dan tidak bisa di ganggu gugat.

"Baiklah. Hati-hati ya." ucap Arthur dengan penuh dengan kekhawatiran yang tak terucap.

"Aku pulang dulu, Bye."

Dengan anggukan rasa syukur, Luna berpamitan pada Arthur dan melangkah keluar dari Café Moon, langkah Luna membawanya melintasi jalan-jalan yang sepi menuju toko makanan cepat saji favorit adiknya. Dibalik kegelapan malam yang semakin mendalam, sinar lampu jalan itu menciptakan bayangan-bayangan misterius di setiap sudutnya.Sejujurnya Pikirannya masih dipenuhi oleh pertemuan dengan Arthur dan dirinya yang menolak tawaran pria itu untuk mengantarnya pulang. Ia tahu mungkin Arthur mempunyai perasaan terhadapnya, dan melihat kehidupan dirinya yang rumit Luna merasa tidak pantas untuk siapapun.

"Hmm, aku harus melupakannya."Gumamnya meyakinkan diri sendiri.

Luna merenung tentang adiknya, keceriaan yang selalu terpancar dari wajah mungil gadis itu, dan sebagai kakak ia akan memastikan kebutuhan adiknya terpenuhi termasuk bahwa dia memiliki makanan yang cukup. Fried chicken adalah makanan favorit adiknya.

Tak lama, Luna sudah sampai di toko makanan cepat saji. Aroma rempah-rempah yang menggugah selera segera menyambutnya. Dia berjalan kedalam toko kecil itu,Luna berdiri di depan kasir, menghabiskan waktu sejenak untuk memastikan dia mendapat porsi ayam goreng terbaik yang bisa ia beli. Dia ingin adiknya senang,itu sudah cukup.

"Terima kasih banyak."

Sesudah membayar, Luna melangkah keluar dari toko dengan kantong berisi fried chicken yang tergantung di tangannya. Sebuah senyum tipis melintas di wajahnya saat dirinya membayangkan reaksi bahagia adiknya ketika dia memberikan makanan kesukaannya.

Udara malam ini terasa sangat segar, Luna akhirnya melanjutkan perjalanannya pulang dengan hati yang Riang gembira. Rumah kecil mereka terletak di sudut jalan yang sepi, tersembunyi di antara beberapa pepohonan yang menjulang tinggi.

"Aku pulang..."Sahutnya.

ketika Luna membuka pintu rumah dengan penuh antusias, dia disambut oleh keheningan yang tak terduga.tidak ada suara tawa ceria adiknya, tidak ada langkah-langkah kecil yang menyambut kedatangannya. Suasana hening yang menyelimuti rumah itu memenuhi hati Luna dengan kegelisahan dan tumbuh lebih besar detik demi detik.

"Freya? Di mana kamu?" Luna memanggil dengan suara lembut, Namun, hanya keheningan yang menjawab panggilannya.

"Freyaaa.."

Setiap detik yang berlalu, kegelisahan Luna semakin mendalam. Ia mulai merasakan rasa panik yang merayap ke dalam dirinya, memenuhi pikirannya dengan kemungkinan-kemungkinan yang tak terucapkan. Apakah adiknya pergi ke mana-mana tanpa memberitahunya? Apakah ada sesuatu yang terjadi padanya?

"Freya jangan main-main, keluarlah.."Ucapnya lagi dengan suara bergetar.

Ia melangkah tergesa-gesa melintasi setiap ruangan rumah, ia mencari jejak-jejak kehadiran adiknya. Namun, di mana pun ia mencari, tidak ada tanda-tanda keberadaannya.

Hatinya mulai berdegup lebih kencang, dikepung oleh ketidakpastian yang terus tumbuh. Bagaimana mungkin rumah yang biasanya dipenuhi dengan keceriaan dan canda tawa bisa menjadi begitu sunyi dan kosong?

BRAKKK

Luna mendengar suara bantingan pintu, dan bergegas kesana, namun ia melihat pamannya yang terkulai di sofa.

Hatinya dipenuhi kecemasan dan kegelisahan . Di depannya, pamannya yang datang dengan kondisi mabuk terbaring dengan tidak teratur di sofa, memancarkan bau alkohol yang menusuk hidung.

Luna, dengan rasa cemas yang membebani, menghampiri pamannya dengan langkah hati-hati ia sangat mengenali pamannya. "Paman, apa paman melihat Freya? Di mana dia? Aku tidak dapat menemukannya" tanyanya dengan suara gemetar, mata coklatnya mencari kebenaran di mata pamannya yang berkabut.

Pamannya mengangkat kepalanya dengan lambat, mata merahnya menatap Luna dengan tak peduli. "Oh, Freya? Aku sudah menjualnya," ucapnya dengan suara serak, senyum nakal melintas di bibirnya yang kering.

"APA?!!"

Luna terdiam, terpaku oleh kejutan yang tak terduga. Pikirannya terputus sejenak, mencoba memahami makna dari kata-kata yang baru saja didengarnya. "Apa paman? Aku tidak mengerti, apa maksudmu?" desak Luna dengan suara gemetar, tatapan tajamnya menusuk.

Paman Luna hanya tertawa kasar, "Luna Luna,kamu terlalu naif. Freya adalah cara paling mudah bagiku untuk mendapatkan uang. Dan kamu, seharusnya bersyukur padaku karena sudah memberimu kesempatan untuk tidak terbebani olehnya," jawabnya dengan nada sinis, tatapannya yang penuh keangkuhan menyiratkan kegembiraan atas keputusannya.

Kemarahan membara di dalam dada Luna, bahkan memuncak menjadi api yang meluap-luap. Dengan langkah pasti, dia mendekati pamannya, tatapannya menyala dengan keberanian yang tak tergoyahkan. "Kamu tidak memiliki hak untuk melakukan ini! Freya bukanlah barang daganganmu! Dia adalah adikku, keluargamu juga!" ucapnya dengan suara gemetar, untuk kebenaran yang terlontar dari bibirnya dengan keras.

Namun, sebelum Luna bisa melanjutkan kata-katanya, pamannya dengan cepat mengayunkan tangannya dalam gerakan yang tiba-tiba. Sebelum Luna menyadarinya, telapak tangan kasar itu menampar pipinya dengan kekuatan yang membuatnya terhuyung ke belakang. Ia menggigit bibirnya, pipinya terasa panas.Rasa sakit fisik itu memang tak sebanding dengan kepedihan yang terpancar dari hatinya. Luna merasa seperti dihantam oleh kehancuran terus menerus, kepercayaannya pada dunia hancur seketika.

berdiri dengan mata berkaca-kaca, Luna merasa terluka."Kenapa kau tega melakukan itu?"tanyanya terbata bata."Dimana Freya? Katakan padaku paman James, aku mohon dimana Freya?,"

Paman James melirik Luna dengan tatapan yang penuh kemarahan, wajahnya menjadi kemerahan karena terbakar oleh api kemarahan. "Kamu itu tidak tahu betapa sulitnya hidup! Selama ini aku yang mengurusmu dan Freya setelah kematian ibumu yang bunuh diri itu! Melunasi hutang hutang ibumu! Kau sama sekali tidak memiliki hak untuk menentangku!" bentaknya dengan suara yang gemuruh, setiap kata yang terucap dari bibirnya dipenuhi oleh amarah yang membara.

Luna mencoba menarik napas dalam-dalam, menahan dirinya untuk tidak membiarkan emosinya meluap. Dia memang ingat hari-hari sulit yang telah mereka lalui, bagaimana terombang-ambing di lautan kesulitan setelah kematian tragis ibunya, dan ia bahkan tidak mengetahui identitas ayahnya.

"Kamu hanya anak dari pelacur! Dan kenapa aku yang harus menanggungnya? Cari ayahmu sana. Aku yakin 100% kau tidak akan menemukannya."Raung paman james dengan suara berat, serak oleh efek alkohol yang merajalela di dalam dirinya.

Semua kata kata pahit yang keluar dari mulut pamannya seperti pisau menusuk hatinya. Keadaan dirinya yang seperti inilah yang membuat ia merasa tidak berharga. Luna merasakan luka-luka lama terbuka kembali, dan ia harus menghadapi kenyataan pahit dari masa lalunya yang menyakitkan.

"Paman, dengarkan aku, Freya adalah saudara kita. Kita harus melindunginya," ujar Luna dengan suara yang gemetar oleh emosi yang bergejolak di dalam dirinya.

Paman James tertawa pahit, tatapannya penuh dengan kebencian yang tak terbendung. "Melindunginya? Haha Bagaimana kau bisa berbicara tentang melindungi saat kau sendiri tidak bisa mengurus dirimu sendiri?" serunya dengan nada merendahkan.

Pastinya paman james menganggap Luna tidak tahu diri, dan tidak menghargai segala pengorbanan dan bantuan yang dia berikan padanya dan adiknya selama ini. Baginya, mereka adalah beban yang harus ditanggung, dan sama sekali tidak layak mendapat kebaikan yang telah dia berikan.

"Keluar dari rumah ini,! Aku tidak ingin melihatmu lagi di sini!" Paman James melontarkan kata-kata dengan suara yang gemetar oleh kemarahan, wajahnya terbakar oleh api kemarahan yang meluap-luap.

Luna sangat terguncang, hatinya hancur dan terluka karena pengusiran tak terduga ini. Dia diusir dari rumah yang pernah menjadi tempat perlindungannya dan sekarang menjadi benteng menolaknya.

Dengan langkah yang mantap, Luna mengerahkan keberanian yang tersisa dan melangkah keluar rumah. Dia merasa seolah-olah dunia di sekitarnya hancur seketika di bawah langit yang gelap.

.

.

.

.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!