Alana menundukkan kepalanya sambil mendengarkan ceramah pancang lebar sang daddy yang sejak tadi tidak berhenti mengoceh layaknya perempuan. Gadis itu sesekali menghela napas panjang agar tidak kehilangan oksigen.
Alana baru mendongak ketika tidak mendengar suara daddynya lagi. "Sudah Dad?" tanyanya.
"Sudah, sekarang tugas kamu untuk mengulangi semua yang daddy katakan."
"Alana sudah mengerti, jadi nggak perlu diulangi lagi. Alana ... Baiklah." Pasrahnya kala melihat tatapan sang daddy yang mulai menajam.
"Harusnya jadi anak gadis jangan terlalu bebas di luar sana, apa lagi bergaul dengan banyak lelaki." Alana menirukan cara bicara Daddynya.
"Bukan mengulangi seperti itu Sayang." Dito menyentuh dadanya, lama-lama ia akan jantungan jika terus berbicara dengan putri satu-satunya yang sangat nakal melebihi anak lelaki.
"Iya, Alana nggak bakal keluyuran lagi. Alana nggak akan buat ulah di sekolah. Tapi Daddy harus janji jangan sita motor aku dan nggak larang-larang aku masuk geng-genggang."
"Pulang sebelum jam dua belas malam, nilai berada di atas rata-rata?" Dito mengulurkan tangannya sebagai perjanjian.
Dengan sigap Alana meraih uluran tangan sang daddy dan tersenyum lebar. "Deal, nilai mah gampang, kan ada kak Kara. Alana akan usahakan pulang sebelum jam dua belas malam."
"Jaga harga diri."
"Sudah pasti Daddy ku sayang. Kalau begitu Alana ke kelas dulu ya." Alana mengecup pipi daddynya sebelum meninggalkan parkiran sekolah. Bertepatan dengan itu, Angkara pun keluar dari mobil papanya.
"Kak Angkasa!" sapanya tanpa dosa, padahal baru saja membawa Angkara dalam masalah. "Dicuekin." Ia mengedikkan bahunya acuh melihat Angkara berlalu tanpa balas menyapa.
Ia bersiul sambil berjalan menuju kelasnya. Beberapa siswa yang ia lewati setengah mencibir. Mungkin menduga bahwa ucapan Alana di kantin benar adanya.
"Apa lo liat-liat orang suci?" gertak Alana.
"Dih."
"Dah, dih, dah dih. Nyanyi lo sana!"
....
Saat jam pulang sekolah tiba, Angkara tidak mampir ke mana pun, bahkan untuk meladeni Alana pun tidak. Ia mencium punggung tangan mamanya setelah sampai di rumah.
"Ganti baju dan makan dulu," ujar Salsa.
"Papa sudah pulang?" tanya Angkara.
"Papa ada di ruang kerjanya, temui setelah makan."
Angkara pun mengangguk, segera mengganti bajunya dan makan bersama sang mama yang kebetulan belum makan siang. Sesekali lelaki bermata gelap itu melirik wanita cantik di hadapannya.
"Bicara saja Ma, Kara nggak akan tersinggung," ucapnya menyadari tatapan sang mama.
"Mama dengar kamu ada masalah di sekolah. Tentang kamu yang menghamili Alana dan kamu tidur dengan Alana semalam, apa itu benar Nak?"
"Benar Ma."
"Kalian pacaran? Apa nggak sebaiknya kalian menikah saja untuk .... Kenapa berdiri?"
"Kara kenyang Ma. Mau ke ruangan papa dulu untuk klarifikasi."
Angkara segera meninggalkan mamanya di meja makan. Ia selalu cemas jika membicarakan sebuah hubungan serius dengan seorang perempuan dan tadi mamanya mulai menjurus ke sana.
Lelaki itu membuka pintu ruangan papanya setelah mengetuk beberapa kali. Duduk di samping sang papa kala mendapatkan kode.
"Mau membahas masalah di sekolah, atau ada hal lain?"
"Jangan beritahu mama apapun tentang Philophobia Kara Pa. Kara nggak mau pikiran mama terganggu," pintanya.
"Ada imbalannya?" Azka tersenyum.
"Apa yang papa inginkan?"
"Obati Philophobia kamu. Rasa takut akan semakin menjadi-jadi jika terus menghindarinya. Bagaimana jika kamu berusaha mendekat sembari menghapus rasa takut itu?"
"Kara nggak mampu Pa. Kara sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi rasa cemas itu seakan ingin membunuh Kara secara perlahan." Angkara menundukkan kepalanya.
Mungkin di mata orang lain, ia adalah lelaki yang hampir mendekati sempurna, tetapi pada kenyataannya tidak seperti itu. Ia memiliki banyak kekurangan dan mempunyai kelainan yang menurutnya sangat memalukan.
"Mau terapi ke dokter atau mendekatkan diri?"
"Kara bisa hidup seperti ini Pa. Tugas Kara hanya menghindari orang-orang yang bisa membuat Kara jatuh cinta." Angkara tersenyum, terlebih kala melihat sorot mata papanya meredup.
Dalam keluarga, Angkara adalah anak yang sangat beruntung di sayangi oleh orang tuanya.
"Bagaimana dengan menikah? Papa akan mencarikan gadis yang mau menerima kamu apa adanya."
"Nggak ada yang mau sama Kara saat mengetahui semuanya Pa. Siapa yang ingin menghabiskan waktu seumur hidup dengan pria yang takut untuk jatuh cinta?"
"Angkara Afrizal Wijaya, apa kamu tahu apa yang papa nggak sukai?"
"Insecure."
"Maka putra papa satu-satunya nggak boleh melakukan itu. Kamu memiliki segalanya Nak. Perlu papa tekankan, Philophobia bukan sebuah aib. Hal itu bisa sembuh jika kamu berusaha. Papa pernah lebih parah dari apa yang kamu alami. Papa sendirian waktu itu hingga mama muncul dihidup papa dan memberikan segala bahagia."
"Kali ini Kara beruntung, ada papa yang siap mendukung Kara di setiap langkah yang membuatmu bingung." Azka menepuk pundak putranya pelan.
Tak akan Azka biarkan putranya mengalami hal yang pernah dia alami di masa lalu. Di mana berjuang seorang diri tanpa dukungan orang tua demi bertahan agar tidak gila.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 111 Episodes
Comments
Qaisaa Nazarudin
Apa kah keturunan ya..papanya juga sama..🤔🤔
2024-03-23
2
Arsyad Al Ghifari 🥰
apa penyebab kara mengalami trauma itu
2024-02-06
1
Yunia Afida
semangat terus
2024-02-06
1