Eps 04 : Tidak Ada Hak

Hari berganti hari, hubungan antara sahabatnya dengan kakak sepupu yang merangkap menjadi suami semu kian menjadi.

Dalam kasus ini, entah siapa yang pantas dikatakan penyandang status hubungan gelap.

Siapa yang salah di sini?

Apakah dirinya yang berstatus menjadi istri melalui pernikahan sembunyi-sembunyi? Ataukah pria itu, suaminya yang menjalin kasih dengan sahabatnya sendiri padahal dia sudah beristri?

Bahkan sampai tiba masanya saat kuliah dimulai kembali, Ryan turut pindah ke Jogjakarta. Alibinya dipindahtugaskan sementara, tetapi yang sebenarnya terjadi adalah tidak ingin jauh dari kekasih hatinya. Kekasihnya di sini tentu bukan tentang istrinya, tetapi pacarnya.

Memang benar, Alina bersama suaminya pergi bersama menuju kota pelajar itu, tetapi selalu ada Anindya di antara mereka berdua.

Sosok temannya itu seakan terus menghantui kemana langkahnya pergi, selalu ada Anindya di saat dirinya sedang bersama suaminya walau hanya suaranya.

Tiba di kosan Alina. "Kak mau mampir dulu, enggak?" tanya Alina di depan gerbang, sedangkan pria itu sedang sibuk sendiri melakukan panggilan video dengan kekasihnya

"Tidak, tidak. Sudah sana masuk!" usirnya tanpa menatap Alina barang sejenak. Menyakitkan.

Di saat yang bersamaan, Alina pun melihat temannya sedang duduk di gazebo indekosnya yang sedang melakukan video call itu. Pria itu tidak tahu jika kekasihnya berada di satu kawasan indekos dengan Alina.

Gadis itu melirik ke dalam dan luar gerbang menjadi saksi bisu kisah cinta dua insan yang sedang kasmaran itu. Dia dapat melihat dengan jelas bagaimana keduanya saling mesra di depan mata, tanpa disadari ada rasa sakit yang terus berdenyut dalam rongga dada.

Semakin lama, rasa sakit makin terasa. Namun sayangnya, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya bisa menutup mata dan berpura-pura seolah tidak tahu dan tidak mengenal keduanya.

Sampai sini aku paham jika aku tidak ada hak dalam hidupnya, melarangnya, mengomelinya, merasa tidak nyaman dengan caranya, dan hak untuk cemburu itu tidak berlaku untukku.

"Teleponan terus!" Alina mencibir dengan nada menggoda. Sadar atau tidak, dia serupa dengan aktris yang berbakat. Dia bisa bermain peran menjadi Alina yang ceria walau di satu sisi ia terluka.

"Ih, udah selesai dari tadi kali. Baru sampai, sama siapa?" tanya Anindya. Dia yang selalu berseri-seri setiap waktunya, tidak lain karena sedang jatuh cinta.

"Sama taksi online tadi, capek banget, Nin. Tolong pijat aku, mau?" Alina bertanya.

"Aku gak bisa pijat, tapi karena aku lagi happy. Ayok lah, gas!" ujar temannya.

Sepanjang memijat pun, teman wanitanya itu terus bersenandung lagi-lagu cinta, kadang tertawa sendiri, kadang mengacak rambutnya sendiri seolah menjadi gila karena cinta.

Anin, andai saja yang sedang membuatmu kasmaran bukan dia, pasti aku akan turut merasakan bahagiamu. Tapi, kali ini aku tidak bisa merasakan kebahagiaanmu itu yang ada aku sakit hati mulu.

"Kamu happy banget, ya, Nin? Pacar kamu sebaik itu?"

"Oh, ya? As always, I am being happy. Bukan karena pacarku saja kok. Tapi, memang saat bersamanya aku merasa dicintai, dikasih perhatian lebih, disayang yang belum pernah aku dapatkan dari sosok pria mana pun, termasuk ayahku sendiri."

"Maksudmu, kamu suka dia karena dia tipikal bapak-bapak? Tapi, kamu bukan jadi sugar baby, kan?" duga Alina bercanda.

Alina malah mendapat tepukan keras di pantatnya. "Hush, enggak ya Lin! Aku gini-gini pacaranya sehat, gak mau aku disentuh sebelum halal apalagi demi uang. Kan kamu tahu aku alergi sentuhan, hehehe."

"Ya, si paling putri malu!"

Alina cukup mengenal siapa sabahatnya itu. Walau dia ganjen dengan pria tampan dan berkharisma kebapakan, tetapi temannya itu tidak mau disentuh sembarangan atau dia bisa murka.

Untung sama kamu, Nin. Semoga kamu bisa terus menjaga kesucianmu karena dia pun sebenarnya milikku. Ya Tuhan, bolehkah aku mengakui dia sebagai milikku? Jika bukan sebagai suami, tapi dia kakakku selama ini.

Alina berkata lirih di dalam hatinya. Hatinya yang berbisik, hatinya juga yang terusik.

Dalam posisi tengkurap, Alina menekan dadanya. Lalu, dia membenamkan wajahnya pada bantal.

Aku yakin, ini bukan karena cinta, tetapi kenapa hati ini sakit sekali saat melihat dia tersenyum karena gadis lain?

"Lin, kenapa? Pijatanku terlalu keras, ya? Sorry."

Alin menggeleng. "Enak! Aku lagi menikmati pijatanmu," jawabnya dengan mulut terbekap sehingga suaranya hanyut di dalam bantal busa.

Padahal pijatan itu tidak terasa sama sekali, lebih sakit luka dalam yang tidak dapat tersentuh oleh tangan.

Hingga pada suatu hari, di tengah malam. Alina mendengar suara langkah kaki yang terseok-seok dan suara gerbang indekosnya dibuka.

Kebetulan dia belum tertidur. Karena penasaran, dia pun mengintip dari balik jendela. Ternyata seorang pria yang sangat dia kenal. Dia yang berjalan sempoyongan sambil menggendong seorang gadis dan masuk ke dalam kamar sebelah, milik Anindya.

Sepertinya mereka mabuk.

"Akh! Jangan, jangan! Akh, sakit! Tol ... hemp!" Terdengar suara rintihan yang mampu didengar oleh telinga Alina sebab antara kamar dirinya dan Anindya hanya dibatasi oleh dinding selapis.

Apa yang sedang kalian lakukan?

Hati Alina menjerit di sudut kamar itu sambil mencoba menutup telinga rapat-rapat tak ingin mendengar suara-suara aneh yang dia yakini mereka tengah bercinta.

Walau kenyataannya, dia sangat kasihan pada sahabatnya yang sepertinya tersiksa karena terdengar jerit lirih berkali-kali dan suara berisik seperti sesuatu yang dihempasankan ke ranjang berulang kali.

Suara-suara itu mampu dicerna oleh otak Alina dan memvisualkan kejadian walau tidak disaksikan secara langsung olehnya.

Hatiku rasanya sakit sekali, Ya Tuhan.

Esok paginya, terjadi keributan sebab sepasang kekasih itu ditangkap warga dan diseret habis-habisan keluar kamar kos.

"Maafkan aku, Nin. Aku tidak bisa membantumu kali ini," ujarnya saat temannya itu meminta tolong dan memanggil nama 'Alina' berulang kali supaya bisa membantunya, setidaknya memberikan pakaian yang lebih pantas sebelum diarak dan dihakimi di depan umum.

Maafkan aku, Nin. Maafkan aku. Aku tidak mau dibawa-bawa. Kalian pantas mendapatkan ganjarannya.

Alina menangis dan berangsur duduk di balik pintu kamar itu, meratapi nasib temannya yang malang itu. Dia tidak kebingungan dan tidak tahu harus berbuat apa.

Semenjak hari itu, Alina kehilangan satu sosok sahabatnya selama beberapa waktu.

Setelah beberapa bulan lamanya, kedua orang itu benar-benar lost contact dengannya. Hanya Anindya yang memberikan kabar terakhir jika dia mengajukkan cuti kuliah selama satu semester.

Mungkinkah dia hamil?

Aku telah kehilangan keduanya. Aku merasa bersalah dan telah kejam padamu, Anin. Andai waktu dapat diputar ulang, haruskah malam itu aku mengetuk kamarnya dan menggagalkan percintaan mereka sehingga mereka tidak dipermalukan seperti itu?

Tapi, bagaimana jika mereka melakukannya atas dasar saling suka?

Namun, lagi-lagi dia teringat jika dirinya tidak ada hak untuk menghentikan atau melarang mereka berhubungan.

"Cukup diam dan tahu batasanmu, Lin. Ingat, jangan ikut campur."

Terpopuler

Comments

Hj. Raihanah

Hj. Raihanah

seru juga cerita nya
lanjut thorr yang semangat biki karya nya💪💪💪

2024-02-03

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!