Seminggu berlalu.
“Jadi, bagaimana? Papah harap kalian sudah mengambil keputusan, maksudnya memantapkan hati untuk menikah,” ujar Harun di depan anak dan keponakannya itu.
Ryan mengambil napas dalam-dalam dan mengembuskannya secara perlahan, dia menatap Alina yang sudah mengangguk tanda jika dia pun sudah bersiap.
“Pah, Mah, aku dan Alina bersedia untuk menikah karena wasiat itu,” ujar Ryan di hadapan orang tuanya.
Kedua orang tua itu tersenyum bahagia mendengar sesuatu yang diharapkan oleh kedua anak muda di hadapannya.
“Dengan syarat, ini hanya akan berlangsung selama setahun,” ujar Ryan selanjutnya.
“Iya, tidak papa. Mamah setuju, yang penting menikah saja dulu,” ujar bibi Nuri.
Alina pikir ada keanehan di sini. Dalam benaknya timbul curiga, bagaimana bisa sebagai orang tua tidak bertanya ‘mengapa’ jika pernikahan itu hanya akan berlangsung selama setahun?
Walau sebenarnya Alina pun tidak menginginkan pernikahan itu, tetapi sikap paman dan bibinya tampak lain dari orang tua pada umumnya yang mengharapkan pernikahan anak-anaknya berlangsung langgeng, sekali seumur hidup, dan sejahtera. Bukan untuk main-main semata.
Entah mengapa, kini Alina merasa jika mereka hanya menginginkan pernikahan ini harus terlaksana dengan tujuan terselubung, bukan karena tujuan pernikahan yang sebenarnya.
Hari pernikahan itu tiba.
“Saya terima nikah dan kawinnya Alina Pinastika Rusdi binti Almarhum Ahmad Rusdi dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!” Lantang Ryan mengikrarkan kabul dengan satu kali tarikan napas.
“Bagaimana para saksi?” tanya penghulu pada para saksi.
“Sah!” Semua menggemakan kata sah dengan lantang.
Acara akad yang sederhana dan hanya disaksikan oleh anggota keluarga, saudara, dan para pembantu. Tidak ada acara makan malam apalagi pesta resepsi yang meriah. Sungguh, ini benar-benar seperti pernikahan setting-an.
Tentu tidak ada acara malam pengantin, yang ada hanya perkumpulan keluarga untuk membahas hal penting–lagi. Kali ini hanya ada paman bibi dan dirinya saja.
“Ada apa, Paman, Bibi? Kenapa memanggil Alina kemari?” tanya Alina yang bahkan tubuhnya masih berbalut kebaya.
“Tanda tangani ini, Nak,” ujar sang paman menyodorkan setumpuk berkas.
“Dokumen pemindah kuasaan kepemilikan aset dan properti? Apa maksudnya, Paman?” tanya Alina membuka halaman pertama berkas tersebut.
“Sudah tidak perlu bertanya banyak, ini menjadi wasiat ayahmu juga dimana setelah menikah maka aset dan kepemilikanmu akan berubah nama atas nama suami untuk dikelola,” ujar Harun.
“Kenapa begitu, Paman?”
“Ini soal perusahaan, Lin. Biar nanti dapat diteruskan oleh Ryan hingga ke anak-anak kalian. Memangnya kamu bisa mengelola perusahaan? Biar paman dan bibi yang urus, kamu tinggal menikmati hasilnya saja. Selama ini kan juga begitu, bukan?” ujar Bibi Nuri.
“Tapi, masalahnya, mengapa perlu dipindah namakan? Kenapa tidak atas nama Alina saja?” tanya gadis itu yang baru tahu aset peninggalan orang tuanya.
Pamannya manggut-manggut, dia menyalakan cerutu kesayangannya. Mengembuskan asap pekat dari mulutnya. “Oh ... jadi, kamu takut kami menguasai dan membawa pergi harta peninggalan orang tuamu, begitu, Lin?”
“Ck, tega sekali kau menuduh kami serakah! Bahkan selama ini kehidupanmu, makan, segala kebutuhanmu kami yang menanggungnya. Ternyata pengorbanan kita selama ini tidak ada harganya, Mah,” ujar Harun pada istrinya.
“Tidak! Bukan begitu maksud Alina, Paman,” sergah gadis itu.
Sungguh, sampai hati tidak bermaksud seperti itu.
“Terserah jika kamu ingin mengelola perusahaan itu sendiri dan minta paman bibi lepas tangan, silakan. Silakan urus semua bisnis peninggalan ayahmu itu.” Harun mendorong setumpuk berkas itu dan mengangkat tangannya. Dia seakan tersinggung berat dengan perkataan Alina yang tidak mempercayainya.
“Paman, tidak. Jangan seperti itu, baiklah akan aku tanda tangani. Tapi, Alina masih menjadi pemegang sebagian besar saham perusahaan itu, bukan?” tanya Alina untuk memastikan.
Bagaimana pun ia tetap berhak menjaga semua peninggalan kedua orangnya. Sayangnya, dia tak paham akan ilmu perbisnisan itu, masih terlalu awam.
“Tentu, Nak. Jangan kamu meragukan kami. Paman dan Bibimu ini hanya ingin membantu mengelolanya saja. Jika aset atas nama kami, itu akan mudah untuk diinvestasikan kepada para investor supaya mereka tidak mencurigai kepemilikannya. Suatu saat kamu akan menikmati hasil yang sangat besar karena kerja keras kami. Kamu percaya pada kami, kan, Nak?” jelas bibinya dengan lembut seraya membelai kepala Alina.
Gadis itu mengangguk, “Baiklah, Alina percayakan sama Paman dan Bibi,” ujar Alina.
Walau di dalam hati wanita itu dia merasa ada yang mengganjal sebab setelah bertanda tangan, berarti semua aset tersebut telah berpindah tangan. “Ya Allah, semoga apa yang aku percaya tidak akan berkhianat,” ujarnya dalam hati.
“Terima kasih sudah percaya pada kami, Nak, sekarang kami sudah menjadi orang tuamu. Panggil kami papa dan mama seperti yang Ryan lakukan. Dan sebagai hadiah pernikahan, kami sudah belikan apartemen untuk kalian tinggali bersama,” ujar bibi Nur membelai rambut Alina dengan lembut.
Pagi harinya, mereka berencana untuk pindah ke aparteman baru. Namun, sungguh aneh karena tidak ada upacara pelepasan atau apa. Alina merasa seperti dilepas begitu saja.
“Sudah, Lin?”
“Sudah, Kak,” jawab Alina yang kemudian masuk ke dalam mobil Ryan.
Di dalam mobil.
“Di sana ada dua kamar, kita tidur terpisah dan bebas melakukan apapun. Oh, ya. Sebagai pengganti uang bulanan dari mamah dan papah, aku yang akan memberikanmu uang bulanan sekaligus belanja kebutuhan. Mengerti, Lin?”
“Mengerti, Kak.”
“Jangan berharap apa-apa selama kita tinggal bersama, kita tidak boleh mencampuri urusan masing-masing. Paham?”
Alina mengangguk saja, dia pun merasa setuju karena pada dasarnya pernikahan ini hanya untuk memenuhi wasiat, tidak ada cinta apalagi keinginan untuk menikah sebelumnya. Umurnya masih muda, cita-cita masih menantang di depan sana.
Di dalam benak Alina, berharap selama setahun ini akan mudah dia lewati hingga tiba hari perpisahan nanti.
“Mama, Papa, sekarang Alina sudah menjalankan amanat kalian. Semoga papa dan mama tenang ya di sana,” ujar Alina di dalam batinnya.
"Kak, apa kau tahu tentang perusahaan ayahku?" tanya Alina.
Pria itu melirik sekilas, "Ya, percayakan pada papah dan mamah saja. Kamu masih perlu belajar untuk mengelolanya sendiri," jawab Ryan yang diangguki Alina.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
Nur Haya
aiiis paman nya Ama bibi nya ternyata ada mau nya
2024-02-03
1