Bab 2

Saat petang, salah seorang tetangga mendatangi rumah Bu Emy untuk mengantarkan makanan karena di rumahnya baru saja ada acara lamaran anaknya.

“Wah, terima kasih ya, Bu, semoga lancar sampai hari H,” tutur Bu Emy pada tetangganya itu.

Setelah tetangganya pulang, Bu Emy memanggil Yasmin untuk berbicara padanya. “Ini ada kiriman makanan dari tetangga depan warungnya Pak Subur, nanti biar dimakan sama Hangga, Uki, dan Lisa saja, soalnya juga cuma sedikit, jadi biar buat mereka saja, kasihan baru pulang kerja pasti lapar. Kamu sama Ibu makan masakan yang tadi saja.”

Yasmin mengangguk pasrah. Hal seperti ini bukan lah kali pertamanya terjadi dengan dirinya, bahkan sudah sering terjadi. Ia selalu menjadi prioritas terakhir, setelah suami dan iparnya.

Hingga tak lama, suami dan kedua ipar Yasmin sampai rumah, dan mereka pun bergegas membersihkan diri, sebelum berkumpul makan malam.

Yasmin sengaja tak ingin membahas tentang perempuan yang menjemput suaminya tadi, dan menunggu perut suaminya terisi dahulu sebelum membicarakan masalah.

Lisa yang selesai mandi, menemui ibu mertuanya, untuk memberikan jatah bulanan. Seketika wajah Bu Emy itu pun sumringah kala melihat amplop putih di tangannya. Dengan haru ia mengucap terima kasihnya pada menantu kesayangannya itu.

Bukan hanya Lisa, Uki juga memberikan jatah bulanan pada ibunya, karena kebetulan hari ini adalah awal bulan, jadwal mereka menerima gaji.

“Terima kasih ya, semoga rezeki kalian selalu lancar,” ucap Bu Emy, lalu mempersilakan anak-anak dan menantunya itu makan malam.

Sementara Yasmin hanya berdiam di kamar, tak ikut makan malam bersama, entah mengapa ia tak nafsu makan sama sekali.

Bukannya memanggil untuk ikut makan malam, Uki justru meminta istrinya untuk menjaga Kinan yang sedang menonton tv, sembari menungu orang tuanya selesai makan.

“Ibu juga makan yang ini dong,” pinta Lisa mengambilkan sepotong ayam balado kiriman tetangga tadi, untuk mertuanya.

Uki dan Hangga kemudian memuji rasa masakan yang diberikan oleh tetangga mereka.

Selesai mereka semua makan, Hangga berterima kasih pada Yasmin telah menemani putrinya, ia lalu meminta adik iparnya itu untuk bergantian makan. Masih tak nafsu makan, Yasmin langsung mencuci piring kotor, dan membereskan meja makan, sebelum disuruh sang mertua. Setelah itu, ia menemui sang suami di kamar, dan mengajaknya bicara. “Mas, tadi siapa yang jemput kamu?”

“Oh, teman kantor,” jawab Uki singkat.

Seakan tak percaya begitu saja dengan jawaban suaminya, Yasmin meragukan kejujuran Uki. “Apa dia si Winda itu? Apa kamu punya hubungan khusus sama dia, kalau teman kenapa sampai berpelukan naik motornya?”

“Memang harusnya bagaimana, ha? Namanya naik motor ya berpegangan lah! Apa-apa kok dimasalahkan. Begitu saja dimasalahkan. Aku sudah bilang teman ya teman! Dari pada aku naik KRL terus, jadi dia jemput aku. Bagus ‘kan, aku jadi lebih cepat sampai kantor!” tegas Uki lalu mentransfer sejumlah uang pada istrinya, dari gaji yang telah dibagi 3 untuk dirinya sendiri, untuk jatah bulanan sang ibu, dan untuk istrinya.

“Mas, bukannya uangmu sudah kamu bagi 3, tapi kenapa Ibu masih sering minta uangku, untuk ini lah untuk itu lah, padahal dia juga sudah menerima uang dari Mas Hangga lewat Mbak Lisa. Kadang juga kalau Kinan minta jajan, aku juga yang bayar,” adu Yasmin.

Uki yang merasa tak terima dengan aduan sang istri, seketika membentaknya. Ia meminta untuk tak perhitungan dengan mertuanya sendiri. Bagaimana pun, ibunya adalah ibu Yasmin juga, tak seharusnya istrinya itu bersikap demikian. Yasmin juga dianggap tak pantas bila perhitungan terhadap keponakannya sendiri.

Hanya diam, Yasmin tak ingin melanjutkan perbincangannya, meski ia masih ingin membahas tentang hubungannya dengan Winda.

Mendengar suara ribut di dalam kamar, Bu Emy menegur mereka. “Ada apa sih malam-malam kok ramai sekali suaranya?”

Seolah sedang mengadu, Uki mengutarakan kekesalannya pada Yasmin yang sering mengajaknya bertengkar, karena sifat pencemburunya.

“Oalah, Yas, Yas, bukannya bersyukur suami bertanggung jawab mencarikan nafkah, kok begitu saja dimasalahkan. Dunia kerja ‘kan memang begitu. Sudah biasa itu,” tegas ibu mertuanya.

“Ya masak kalau sudah panggil sayang dan berduaan naik motor sambil pelukan itu sudah biasa sih, Bu?” Yasmin seakan kembali ingin berdebat.

“Di tempatku yang begitu sudah biasa, Yas. Namanya juga lelaki pasti begitu, semakin dikekang semakin menjadi. Aku saja yang perempuan bisa memahami. Tenang saja, ‘kan kamu sudah dinikahi begini,” sahut Lisa.

Suami Lisa, si Hangga, seolah juga ikut mendukung adiknya untuk tak dicurigai, lantaran hal itu sudah biasa terjadi dengan teman kerja, apalagi dirinya yang bekerja di pabrik, pergaulan dengan teman kantornya justru lebih luwes dari pada yang dilakukan sang adik.

“Aku juga tidak apa-apa kalau Mas Hangga antar pulang temannya dulu sebelum menjemput aku di kantor. Karena memang searah dan saling tolong saja,” imbuh Lisa.

Bu Emy lalu meminta Yasmin untuk mencoba kerja di Jakarta, agar paham maksud mereka. Ia juga tak segan meminta Yasmin mencontoh sikap dewasa Lisa. Baginya, itu semua disebabkan karena Yasmin yang menganggur, hingga pikirannya kemana-mana yang akhirnya sering membuang-buang waktu untuk mempermasalahkan hal-hal kecil.

Merasa dikeroyok, Yasmin hanya bisa mengelus dada.

###

Keesokan paginya, Yasmin kembali melihat Winda menjemput suaminya. Hatinya benar-benar teriris kala melihat kemesraan mereka bak pasangan yang sedang kasmaran. Winda terlihat begitu erat memeluk perut Uki.

Jika melihat sosok Winda, wanita itu memang jauh lebih cantik darinya. Pantas saja jika sang suami merasa segar kala bersama teman kantornya itu. Berbeda dengan dirinya yang kucel dan selalu memakai daster, karena sehari-hari harus membantu mertuanya mengerjakan pekerjaan rumah.

Bukan hanya itu, Yasmin tak bebas membeli baju dan alat make up. Selain karena uangnya tak cukup, mertuanya juga pernah menegurnya untuk tak boros dengan membeli itu semua. Berbeda dengan perlakuannya terhadap Lisa, yang seolah sah-sah saja melakukannya, karena dianggap memiliki penghasilan sendiri, jadi bebas saja ia mau membeli apa pun.

“Hargai sedikit jerih payah suamimu, Yas! Jangan beli barang-barang tak penting! Lagian mau dipakai kemana dandan seperti itu?” Begitu lah ucapan mertuanya yang masih terngiang di telinganya, kala ia ketahuan membeli baju secara online.

Seakan sudah tak sanggup menghadapi situasi ini yang sudah 1 tahun lamanya ia tahan, Yasmin kembali mengecek progress lamaran kerjanya. Ia benar-benar bertekad untuk memiliki penghasilan sendiri agar tak diremehkan. Meski hingga saat ini, belum ada satu pun lamarannya yang berhasil.

Menangis pun seakan air matanya sudah mengering. Meminta suaminya agar mereka pindah rumah pun juga adalah hal yang mustahil. Mertuanya itu tak akan mengizinkan mereka berpisah rumah.

Katanya, biar tipe rumah lawas, tapi rumah peninggalan ayah Uki itu masih cukup luas untuk menampung keluarga anak-anaknya, padahal, bukan masalah sempit luasnya, tapi karena merasa tak adanya privasi.

Hingga 10 menit Yasmin merenung dan mencoba terus merefresh emailnya, ada sebuah pesan yang baru saja masuk.

PT Ethanos Development mengundang Anda untuk mengikuti interview.

...****************...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!