"Maaf, bu . Biarkan saya memeriksa anak ibu sebentar." ucap dokter Ariel kepada ibu pasien tersebut.
"Iya, dok." jawab ibu itu pelan.
Ia langsung menjauh dari anaknya itu. Namun dia masih tetap di situ dan sesekali pandangannya tertuju ke arah dokter Ariel.
Dokter Ariel meletakkan stetoskop di dada dan perut anak tersebut. Anak itu bernama Dhori. Dhori sudah dua hari berada di rumah sakit, usianya masih dua tahun. Dia mengalami dehidrasi akut akibat diare yang berkepanjangan.
Dokter memberi resep obat kepada perawat untuk diberikan nanti kepada pasien agar muntahnya segera berhenti.
"Bagaimana anak saya, dok?" tanya ibu tersebut.
"Nggak apa-apa bu. Anak ibu baik-baik saja. Asupan gizinya kurang dan kurangnya mengkonsumsi air mineral. Tolong beri dia makan, kalau nggak mau makan nasi roti pun boleh bu. Tapi jangan terlalu manis ya, bu. Kalau bisa beli susu yang khusus diare. Jangan susu biasa. Nanti akan saya beritau suster untuk merekomendasikan susu yang cocok." ucap dokter Ariel menjelaskan.
Siibu manggut-manggut tanda mengerti.
Dokter Ariel berlalu meninggalkan Dhori dan beralih ke pasien lainnya tapi masih dalam ruangan yang sama.
Setelah selesai mengecek semua pasiennya, dokter Ariel kembali ke ruangannya diikuti dua orang perawat. Ia duduk di kursinya lalu menuliskan beberapa resep untuk diberikan kepada setiap pasiennya.
Setelah itu, dia memberikan lembaran kertas resep itu ke perawat tersebut.
Kedua perawat itupun berlalu dari ruangannya.
Dokter Ariel merenggangkan otot-otot tangannya.
Masih pagi-pagi tapi dia sudah kerepotan memeriksa setiap pasiennya. Sangat sibuk sehingga tak punya waktu untuk memegang ponselnya. Begitulah kesehariannya dokter Ariel, dokter spesialis anak, dr. Ariel Mananta, S.pA.
"Permisi, mbak. Saya bisa bertemu dokter Ariel?" tanya Dena kepada salah seorang resepsionis di rumah sakit tempat dokter Ariel bertugas.
"Dengan mbak siapa? Dan ada urusan apa?" tanya resepsionis itu.
Resepsionis lainnya melihat ke arah Dena karena mendengar ada seorang wanita cantik yang menyebut nama dokter favorit mereka dan ingin berjumpa dengan dokter tersebut.
Mereka tak mengenal Dena. Padahal Dena sudah pernah ke rumah sakit tersebut. Dulu saat Dena di sini menjaga Aletha, tak pernah bertemu pandang dengan mereka karena selalu ganti sift.
Entah mengapa memang waktu itu tak ada ruang untuk mereka bisa beejumpa. Beberapa pasang mata melihatnya dengan penuh tanda tanya. Begitu juga Dena sama herannya dengan mereka.
Apa yang salah denganku? Kok mereka melihatku begitu? Bajuku biasa aja kok tak ada yang vulgar. Make up ku juga biasa aja. Tak ada yang menor. Ihhh, dasar para wanita. Tak pernahkah melihat seorang wanita cantik sepertiku? Bisakah mata itu agak dikondisikan sedikit? Aneh mereka. Aku kan sudah pernah ke sini, kok pandangam mereka kayak mau menelanku hidup-hidup? Gerutu Dena dalam hatinya.
"Sebentar ya, mbak. Saya akan menanyakan kepada dokter Ariel terlebih dahulu." ucap salah seorang resepsionis itu dan meraih gagang telepon.
"Hallo, dok. Di sini ada seorang perempuan ingin bertemu dengan dokter."
"Siapa namanya?" tanya dokter Ariel.
"Namanya," resepsionis itu melirik Dena.
"Dena." ucap Dena singkat menjawab lirikan resepsionis itu.
"Namanya mbak Dena, dok." jawab resepsionis itu ke dokter Ariel.
"De-Dena?" tanya dokter Ariel meyakinkan.
Ia berdiri secara spontan karena mendengar Dena ada di rumah sakit ini.
"Iya, dokter. Mbak Dena. Dokter kenal?" tanya resepsionis itu.
Ada rasa kecewa di dalam hatinya.
"Suruh saja ke ruangan saya sekarang." ucao dokter Ariel.
"Baik, dok." ucapnya singkat.
"Mbak disuruh ke ruangan dokter Ariel sekarang, beliau sedang menunggumu." kata resepsionis itu lagi.
Dena berlalu meninggalkan mereka yang masih mematung yang tak menyangka ada seorang wanita cantik yang mencari dokter Ariel Mananta. Dokter tampan kesayangan mereka. Rasanya nggak rela jika sampai dokter Ariel mempunyai kekasih. Mereka sangat maniak teehadap dokter Ariel.
Tok, tok, tok.
Aletha mengetuk pintu ruangan dokter Ariel.
"Silakan masuk!" ucap dokter Ariel singkat.
Ia berpura-pura sibuk dengan kertas yang ada di depannya. Pura-pura menulis. Agar tak melihat siapa yang datang, padahal dia sudah tau itu Dena.
"Dokter, bisa saya bicara dengan dokter?" tanya Dena.
Spontan dokter Ariel melihat ke arah suara itu. Tak bisa memang dia berpura-pura. Dipandanginya wajah Dena lekat-lekat.
Cantiknya. Oh may God dia sangat mempesona. Bagai bidadari. Batin dokter Ariel.
"Dok!" panggil Dena lagi.
Tak ada sahutan. Tapi mata dokter Ariel masih belum berkedip melihat Dena.
Hari ini ada apa sih? Kok dari tadi orang-orang pada aneh melihatku. Kayaknya nggak ada yang salah dengan diriku. Batin Dena.
Berulang-ulang ia memperhatikan dirinya sendiri. Lalu ia mengambil cermin dari handbag nya. Ia melihat wajahnya di cermin dengan seksama.
Nggak ada yang aneh. batinnya.
Ia memasukkan kembali ceemin itu ke dalam tasnya.
"Dokter!" panggilnya lagi.
Dokter Ariel masih tidak menyahut.
Dena mengibaskan telapak tangannya ke dekat wajah dokter Ariel, mencoba membangunkannya dari lamunannya.
"Eh, eh. Ma-maaf." ucap dokter Ariel gelagapan.
Akhirnya si dokter terbangun dari lamunannya.
"Dokter kenapa?" tanya Dena.
Ia menundukkan sedikit tubuhnya untuk meihat lebih dekat memastikan keadaan dokter Ariel.
Deg, deg, deg.
Jantung dokter Ariel berdegup kencang. Tak kuasa ia membalas tatapan mata Dena yang tertuju pada dirinya.
Ia menghindari tatapan Dena, dengan perlahan ia menoleh ke arah lain.
Ada apa denganku, kenapa aku menjadi seperti ini. Sudah lama aku tidak merasakan hal seperti ini. Oh may God, help me! Matanya sungguh indah. Lirih Ariel dalam hati.
"E- e, ada apa kamu ke sini?" tanya dokter Ariel mencoba mengalihkan kegugupannya.
"Saya ke sini mau meminta tolong kepada dokter." jawab Dena.
"Nggak usah kamu panggil saya dengan sebutan dokter. Panggil Ariel saja." ucap dokter Ariel santai.
Kini jantungnya sudah kembali berdenyut normal. Ia bisa menguasai keadaan dengan cepat.
"Apa yang bisa saya bantu?" tanya dokter Ariel ke Dena.
Ariel berpura-pura mencari sesuatu di dalam laci mejanya. Salah tingkah.
"Sahabat saya, dok. Yang beberapa bulan lalu melahirkan di sini. Tolong dokter datang ke rumahnya. Saya pasti bayar dokter kok." ucap Dena.
"Baiklah, nanti saya akan ke sana. Maaf saya nggak bisa cepat karena saya masih ada pasien." ucap dokter Ariel merasa menyesal.
"Nggak masalah, dok. Eh, Ariel. Kami akan menunggu di rumah Aletha. Ini alamatnya." ucap Dena sambil menyodorkan selembar name card ke dokter Ariel.
"Baiklah, nanti saya akan hubungi anda lagi." ucap dokter Ariel.
"Trimakasih Ariel. Kalau begitu saya mohon izin." ucap Dena pamit.
Dena melangkahkan kakinya meninggalkan dokter Ariel yang masih terpaku.
"Saya antar..." baru ia sadar kalau Dena sudah pergi.
"Hufft, dasar jantung nggak bisa diajak kerja sama." gerutu dokter Ariel.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 74 Episodes
Comments
S_P astuti
yuh... AKU sampai sini bacanya dan like nya smagat thor...
2020-11-11
0
Desrayanii
Like kakak 💕💕💕
2020-11-09
0
🍫Bad Mood 🍰
wkwkwk.. awas lho dokter ariel, anda bisa jantungan karena terlalu syok melihat kecantikan bidadari Dena. 😆
2020-11-01
0