Where do I begin
To tell story of how great a love can be
....
Lirik dari sebuah lagu yang berjudul love story, mengalun indah memenuhi ruangan, mengusik pendengaran Amara. Ia menengok kesana-kemari, mencari sumber suara.
Oh...
Rupanya suara itu berasal dari sebuah benda pipih di box yang ada di depannya. Lagu yang terlalu romantis untuk sebuah nada dering. Bisa-bisa membawa angan ini melintas ke masa lalu. Tentu bagi orang yang telah mengalami bagaimana syahdunya sebuah asmara. Hehehe...
Apakah dia sedang kasmaran, ya...
Amara tersenyum. Jika tak ingat dosa, mungkin ia akan tertawa lepas. Tapi ia tak tega. Ia pun masih punya rasa kasihan. Ia pun mengambil napas berlahan agar dapat berdamai dengan keadaan untuk tidak tertawa. Apalagi saat ini dia sedang menikmati peran sebagai gadis yang jutek dan ketus.
Mau tak mau, ia pun menikmati lagu itu hingga syair itu hampir berakhir. Ternyata bagus juga. Bahkan tanpa ia sadari, tangan ini mengikuti iramanya. Dan bibir ini mengalunkan syairnya.
Amara menengok lelaki yang ada di sampingnya. Dia tampak fokus mengemudikan mobil yang kini melaju dengan kecepatan penuh. Hingga beberapa lagu berulang, tak bisa mengalihkan perhatiannya.
Kasihan sekali orang yang di ujung telepon, pasti dia menunggu jawaban.
“Kak, ada telepon.” kata Amara.
“Kamu angkat dan tolong loud spikernya dinyalakan.”
Satu jempol untuk kakak yang sedang serius mengemudi. Memang begitu aturannya. Jika sedang mengemudi tak boleh bertelepon ria, agar tidak mengganggu konsentrasi. Ini jalan umum.
Dia tahu, jika tidak konsentrasi, bisa berakibat fatal, bisa jadi kecelakaan. Tidak saja merugikan diri sendiri, tapi juga orang lain.
Oke, sekarang angkat benda pipih itu dan nyalakan loud speaker diaktifkan.
“Crianca desobediente! Avo ligou nao atendeu...bla...bla...bla...” Suara seorang wanita terdengar, mengalun indah. Seindah suara barang-barang dapur yang sengaja dijatuhkan, berserakan di atas lantai.
Astaghfirullah al adzim...Amara dibuatnya terperanjat. Dia mengelus dada. Untung saja itu bukan untuk dirinya, melainkan untuk kakak yang ada di sampingnya.
Dia segera menjauhkan benda itu dari dirinya, dan menyerahkannya ke Yordan, namun dia tak menanggapi. Dia mengangkat kedua bahu. Rupanya Dia tak ingin diganggu.
Tatapannya lurus ke depan. Dengan isyarat kepala, dia meminta Amara untuk meletakkan benda itu di tempatnya semula.
Amara pun menurutinya. Meletakkan benda pipih itu ke tempat semula.
Ucapan atau sumpah serapah, ya?
Kepala ini menjadi pusing, kalau lama-lama mendengarnya. Dirinya sudah tak mengerti bahasanya, memakai nada tinggi pula. Membuat kepala pusing.
Astaghfirullah al adzim ...Tak ada yang bisa dilakukan Amara untuk menghilangkan pusingnya selain memijit-mijit dahinya.
Yordan tersenyum kecut. Dia cukup malu dengan kejadian yang tidak ia duga sebelumnya. "£Nenek...harga diriku benar-benar jatuh," gumamnya dalam hati.
“Avo espere 5 minutos. Se voce nao vier,Avo vai te despedir quando crianca!”
“Sim Avo.” Jawab Yordan dengan tenang. Terlihat pembicaraan mereka telah selesai. Tak ada lagi terdengar suara keluar dari benda pipih itu.
Amara segera mengeceknya. Dia pun bisa bernafas lega. Senyum manis tersungging di wajahnya.
“Itu tadi telepon dari nenek. Dia sekarang sudah mendarat di bandara,” ucap Yordan.
“Lalu?’ Amara penasaran dengan isi pembicaraan. Kelihatannya penting.
“Kamu tak keberatan, kan. Kalau kita mampir dulu ke bandara, menjemput nenek?”
“Eee...” Amara tak segera menjawab.
Ia tampak berfikir keras. Sesekali melirik pada Yordan, membuat Yordan tertawa.
Dia tersentak, ketika tiba-tiba mobil itu telah berbalik arah, dan melaju dengan amat kencang.
“Lho, kok!” ucap Amara dengan cemberut.
“Kelamaan, Nona.”
“Tak boleh gitu dong. Ini namanya pemaksaan.”
Rupanya Amara masih terpengaruh dengan hawa panas yang baru saja berhembus dari hp Yordan. Wajahnya yang cantik itu kini berubah menakutkan di mata Yordan.
“Lalu, maumu apa?” Yordan mencoba mengalah.
“Kalau gitu kamu harus memenuhi 3 permintaanku!” ucapnya dengan menjentikkan jari-jari. Wajahnya yang sesaat suram dan menakutkan, kini menjadi cerah, secerah senyumnya yang indah.
“Ok,” jawab Yordan dengan santainya.
“Janji?”
“Ya. Aku janji.” Untuk apa berprasangka buruk. Tak akan mungkin wanita di samping ini punya niat buruk, pikir Yordan.
“Apa permintaanmu?” tanya Yordan kemudian.
“Tidak akan aku sampaikan sekarang. Hanya pada saat aku membutuhkan saja, permintaan itu aku katakan. Pada saat itu, kamu harus memenuhinya. Bagaimana?”
Lho, kok...bola matanya membulat sempurna. Dia benar-benar tak menyangka kalau wanita di sampingnya pintar bernegosiasi.
Dianggap tantangan, kok tak ada menariknya. Dianggap masalah, kok lucu juga. Hanya tinggal mengatakan permintaan saja, harus menunggu waktu.
Yordan senyum-senyum sendiri. Dia menjadi penasaran, apa yang dimaui oleh wanita yang ada di sampingnya.
Moga-moga sesuatu yang mudah dipenuhinya. Seperti uang, makanan, tas atau sepatu seperti yang dipikirkan gadis-gadis zaman now. Bukan hal yang aneh-aneh.
Sepertinya wanita ini memang sengaja menjebaknya. Tapi apa boleh buat, gengsi kalau dia mengurungkan janji yang sudah diucapkannya. Tidak usah dipikirkan sekarang. Ikuti saja permainannya.
“Ok lah. Tak masalah. Siapa takut. Tapi sebelum itu, pejamkan matamu!...terimalah kejutan dariku,” ucap Yordan tanpa menoleh.
“Akal bulus. Pasti kamu akan berbuat tak baik padaku. Aku tak mau.”
“Yakin?”
“Tentu saja.”
“baiklah.”
Yordan menaikkan kecepatan mobilnya dengan berlahan-lahan. Entah sampai berapa, sampai-sampai laju mobil itu seperti melayang.
“Kau!” wajah Amara pucat pasi. Dia benar-benar ketakutan.
“Kalau tak kuat melihat. Lebih baik pejamkan matamu.” Kata Yordan dengan santai yang disertai tawa kecil.
Tak ada yang bisa dilakukan Amara kecuali berdoa dan bershalawat sambil memejamkan mata, semoga tidak terjadi sesuatu. Dia tak mau mati sia-sia.
Dia baru saja memeluk Islam. Belum banyak berbuat amal shaleh. Ditambah pula masih suka berlaku khilaf.
Sekarang dia sedang bersama laki-laki asing. Berkalung salib pula. Bagaimana kalau kita meninggal bersama. Apa kata dunia?
Amara masih khusyu` berdoa. Dia benar-benar ketakutan. Apakah ini merupakan teguran dari Tuhan. Dia pergi meninggalkan rumah tanpa pamit pada paman dan tantenya.
Pasti saat ini, paman dan tante khawatir dan mencari-cari keberadaannya. Karena sudah hampir satu hari penuh, dia menghilang.
Ya Allah, maafkan diriku. Jangan cabut nyawaku dulu. Lain kali saja. Aku masih ingin hidup dan mengenal-Mu dengan baik. Jika Engkau hendak mencabut nyawaku, maka jadikanlah aku dalam keadaan khusnul khatimah. Aku mohon, ya Allah....
“Sudah. Buka matamu. Takut banget, sih,” ledek Yordan.
“Mobilmu sudah benar-benar berhenti, kan?’ tanya Amara memastikan.
“Iya. Kita sudah sampai di bandara.” Dengan cepat, Yordan melepas sabuk pengaman yang melilit tubuhnya. Dia pun segera keluar.
“Tunggulah di mobil. Aku mau ke dalam, menjemput nenek,” pamit Yordan.
Begitu bunyi pintu mobil tertutup kembali, Amara segera membuka mata.
“Alhamdulillahi robbil alamiin. Terima kasih ya Allah, Engkau telah memberiku kesempatan hidup lebih lama. Aku tak akan pergi dari rumah lagi tanpa pamit,” ucap Amara dengan penuh rasa syukur, sambil mengusap wajah dengan kedua tangan.
Kini dia bisa bernafas lega. Tak terjadi apa pun dengan dirinya dan Yordan, lelaki yang kalau mengendarai mobil, membuat jantungnya berolahraga.
Untuk saat ini, lebih baik dirinya istirahat, duduk santai di dalam mobil sambil memijit kakinya yang sesaat lalu terasa kram.
“Hai, bukankah itu nenek Yohana,” seru Amara dalam hati.
Dia heran dengan wanita yang sudah cukup berumur yang sudah amat dikenalnya. Wanita yang kini sedang berjalan dengan di samping Yordan.
Apa hubungan Yordan dengan nenek Yohana. Jangan-jangan lelaki yang sudah membuat harinya buruk, adalah ....
Astaghfirullah al adzim, mengapa dunia ini begitu sempit?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments