Sangat asyik berbincang-bincang dengan gadis manis, pujaan hati, yang kini duduk dengan tenang di sampingnya. Hingga perjalanan ini pun tak terasa. Tahu-tahu ia sudah berada di depan apartemennya.
Tahu seperti ini, ia akan melakukannya sejak awal. Membuatnya tertawa, adalah sesuatu yang mengasikkan. Masalah hati, itu nanti. Dia bisa menganggapnya adik saja. Ya, hanya sekedar adik. Bukan pacar, apalagi kekasih. Kita berada di jalur keimanan yang berbeda. Batasan yang tak ingin ia terjang selamnya.
Masalah Kaysa, wanita yang ditawarkan kedua orangtuanya, itu masalah nanti. Ia tak mau membebani pikiran tentang pilihan yang belum jelas. Antara menerima Kaysa atau tidak. Toh, semua baru permulaan.
"Kamu mau ikut naik, nggak?" tawar Yordan saat mobil sudah benar-benar ia parkir.
"Ikut saja Amara. Siapa tahu suatu hari kamu tersesat, bisa mampir." Nenek Yohana urun rembuk, meski tak diminta.
Kalau sudah nenek Yohana yang bicara, Amara tak bisa berkutik. Dengan terpaksa, dia mengikutinya. Meskipun ada kesulitan tersendiri untuk bisa menuruti keinginan mereka. Tak apa-apa....
"Ya, Nek," jawabnya singkat.
Mengapa harus difikirkan. Dijalani saja dengan gembira.
Amara segera membuka pintu mobil, dan menyiapkan tongkatnya untuk berjalan. Sementara Yordan mengeluarkan koper nenek Yohana dari dalam bagasi.
"Hati-hati Amara." Yohana mencoba mengingatkan.
Amara mengangguk dan tersenyum. Ia merasa diperhatikan oleh nenek Yohana sama seperti saat kecil dulu.
Yordan meliriknya sekilas lalu tertawa kecil. Manja banget sih...
Yordan tinggal di apartemen yang terletak di kawasan elit di kota Den Haag. Sebuah apartemen yang dikelilingi oleh taman asri nan mempesona, membuat Amara betah untuk berlama-lama memandanginya.
"Amara?" tegur Yohana. Terlihat Amara asyik sendiri memandang taman dengan tangan terlepas.
"Hehehe..." senyum Amara mengembang, menyadari kebodohannya. Ia segera berjalan mengiringi Yohana memasuki apartemen.
Tempat tinggal Yordan berada di lantai sepuluh. Tak perlu waktu lama untuk mencapainya. Ada lift untuk menuju ke sana. Mereka kini telah sampai di depan pintu apartemen Yordan.
Yordan segera mengeluarkan kartu dan juga menekan tombol sandi yang ada di pintu apartemennya. Seketika pintu pun terbuka.
"Aku letakkan koper ini di kamar nenek. Tolong temani nenek dulu," ucapnya tulus.
Amara mengangguk. Lalu Yordan menghilang di ujung tangga menuju lantai atas.
Yohana mengajak Amara duduk di sofa empuk yang ada di ruang tamu. Ada makanan kecil dan air putih kemasan yang siap untuk dinikmati.
"Capek banget. Aku mau istirahat," kata Yohana dengan santainya. Ia pun melangkah pergi, menapaki tangga menuju ke kamar atas, menyusul Yordan. Meninggalkan Amara di ruang tamu sendirian, sebelum mempersilahkan Amara menikmati suguhan yang ada.
Yach, sendiri lagi dong...Amara jadi celingukan. Ia pun bangkit meninggalkan tempat duduk ternyaman nya.
Ternyata tempat tinggal kakak Yordan sangat luas dan rapi. Ruang tamu saja hampir 2 kali ruang tamu bibinya.
Dia juga menyukai seni. Ada beberapa lukisan sebagai hiasan dinding. Foto-foto keluarga tampak tertata apik dalam bingkai kaca. Tergantung diantara ruang tamu dan keluarga yang dipisahkan oleh dinding kaca aquarium dengan air yang selalu mengeluarkan gelembung.
Amara tertarik untuk mengamati foto-foto keluarga. Ada foto Yordan yang masih imut dan polos dengan berbagai gaya yang menggemaskan. Dia pun tersenyum simpul.
Tanpa dia sadari, Yordan datang dari arah dalam dengan membawa dua gelas juz jeruk di tangannya.
"Jangan lama-lama kalau memandang fotoku. Nanti jatuh cinta lho," kelakar Yordan sambil melangkah menuju meja tamu.
Amara segera berbalik dan menunduk malu. Ketahuan si empu yang memilki gambar.
"Ih, gr banget. Memang situ cakep?"
"Jelas dong," ucapnya sambil menata rambutnya agar tampak lebih rapi. Percaya diri sekali kalau dirinya tampan.
Amara tersenyum tipis. Ia pun menghampiri Yordan tak peduli.
"Mana nenek?" tanya Yordan.
"Ke atas. Istirahat."
"Ya sudah. Kamu minum dulu deh!...habis ini aku antar kamu."
Kebetulan, ini adalah minuman kesukaannya. Tanpa basa-basi lagi, Amara meminumnya sampai habis.
"Ini juga boleh dihabiskan, kok." Yordan menyodorkan gelas yang satunya lagi yang rencananya untuk Yohana.
"Sudah-sudah. Perutku sudah penuh." tolak Amara. Ia benar-benar malu dibuatnya.
"Nggak apa-apa. Sayang kalau sampai terbuang."
"Kakak jangan meledekku terus, lah." Amara merajuk.
Yordan tertawa lepas. Ia pun segera meminumnya sampai habis. Lalu membereskan gelas-gelas kotor itu dan membawanya ke dapur.
Tak lama kemudian, ia telah kembali.
"Oke, sekarang aku antar kamu."
Ini yang Amara nantikan sejak tadi. Kembali ke rumah. Ia tak tahu bagaimana khawatir paman dan bibinya sekarang. Mana handphonenya tertinggal. Ia praktis tak bisa menghubunginya seharian ini.
Amara segera bangkit, mengikuti langkah Yordan yang hendak keluar apartemen.
Meskipun tak ada kata dalam perjalanan, baik Yordan ataupun Amara menikmati dengan santai. Hingga mereka sampai di tempat parkir.
Yordan segera membuka pintu mobil untuk Amara. Seperti biasa, untuk gadis yang memang harus ditolong, ia akan melakukannya dengan senang hati tanpa menaruh perasaan apa-apa.
Amara yang sudah terbiasa dengan kebaikan Yordan juga tak berfikir macam-macam. Dia segera masuk mobil dan memasang seatbelt.
Tak lama kemudian, mereka sudah melaju tenang membelah jalanan di kota Den Haag.
"Amara...Amara, nggak enak dengernya. Pengucapannya juga susah. Amara, bisa-bisa aku salah sebut. Amara, disingkat jadi Mara. Kalau bicara cepat jadi Marah-Marah." gumam Yordan sambil menatap jalan dengan penuh konsentrasi.
Amara yang sedang membaca buku di sampingnya, menatapnya sekilas.
Ih...ini orang cari perkara. Nama bagus-bagus dirusak olehnya. Sabar, sabar...ini di jalan. Jangan buat keributan. Jangan merusak suasana yang sudah nyaman, damai sejahtera.
Amara kembali membaca buku, tanpa mau menanggapi celotehnya yang tak berarti.
"Hai, aku ini bicara. Mengapa kamu abaikan?" ucap Yordan lebih serius. Dia menengok sekilas Amara dengan muka sedikit ditekuk. Menunjukkan kalau kali ini, ia sedang merajuk. Gara-gara Amara telah mengabaikannya.
"Hehehe...Kakak bicara ya? Aku kira ngapain. Oke, aku dengarkan."
"Aku sulit banget panggil kamu dengan sebutan Amara."
"Lalu?" jawabnya tak peduli.
"Sepertinya panggilan Irma lebih familiar, deh. Seperti saat aku memanggilmu waktu kecil dulu."
"Hmmm...terserahlah. Kan kakak yang ucapkan. Asalkan jangan yang aneh-aneh, aku setuju-setuju saja."
"Oke Irma. Kurasa itu yang terbaik."
"Tapi dengan satu syarat."
"Lagi-lagi syarat. Apa memang syaratnya? Kalau nggak diucapkan sekarang, syarat itu tak berlaku. Sudah cukup 3 permintaan yang menjadi hutangku, jangan ditambah lagi."
"Hehehe..." Tawa kecil Amara menambah pancaran pesonanya. Namun dia masih tahu bagaimana harus bersikap. Meskipun akrab tapi punya batasan.
"Asalkan kakak jangan memaksaku untuk memanggilmu dengan sebutan Irmão, susah. Aku lebih suka menyebutmu kakak. Bagaimana?"
"Terserah, selama kamu nyaman, aku tak keberatan."
"Deal." Senyum Amara mengembang, lalu ia melanjutkan bacaannya yang sempat terjeda.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments