Gadis miskin milik sang Casanova Bab 14
Mobil berhenti dan menepi di sebuah rumah sederhana.
Rumah sepetak kurang lebih enam kali lima meter.
Yang mempunyai kamar dua, ruang tamu dan dapur mini.
Tapi rumah itu begitu nyaman dan sejuk.
Aura kebersihan nya terlihat mengkilat di setiap sudut rumah ini.
Di dinding ada foto-foto keluarga mereka. Terlihat juga Anindira berfoto bersama kedua orangtuanya ketika dia wisuda paud.
Namun bukan hal mengagumi sekarang yang menjadi tujuan mereka.
Di sana, di ruang kecil itu orang-orang seperti pekerja agama telah duduk disana.
Menyanyikan lagu untuk mengiringi tangis Ibu paruh baya yang berada di sampingnya.
Ibu itu tak berhenti mengeluarkan air mata sambil memanggil-manggil nama suaminya.
Anindira yang sudah berada di ambang pintu enggan untuk masuk.
Apalagi melihat sosok separuh hatinya terbujur kaku di sana.
Tungkainya gemetar. Air mata yang sudah berada di pelupuk matanya berjatuhan seiring badannya yang luruh ke lantai.
Hans segera menopang tubuh itu dan menuntunnya ke arah orang tuanya.
Anindira tak sanggup lagi melihat Bapak nya yang terbujur.
Dia menangis, meluapkan segala perasaan yang di tahan nya sejak semalam.
Dia tak sanggup berkata-kata.
Dia tersendat-sendat.
Dia beralih ke pada ibunya dan memeluk wanita paruh baya itu.
"Sudah Bu. Kita iklaskan semuanya pada Tuhan." Ucapnya memberikan kekuatan. Padahal sebenarnya dia juga rapuh.
Namun dia ingat perkataan dan kisah Hans.
Dia menghapus air matanya kasar.
Sebagai anak sulung, dia harus lebih bisa tegar menghadapi semuanya.
Dia merangkul ketiga adik-adik nya yang menangis pilu.
Sebagai seorang anak tertua, dia tak boleh terlihat cengeng. dia harus menjadi wanita independen.
*****
Setelah selesai menguburkan jasad bapak nya, Anindira menuntun ibunya untuk pulang kerumah.
Adik-adik nya juga mengikuti mereka dari belakang.
Begitu juga dengan Hans yang mengekor di belakang ikut melangkah kan kakinya.
Dia paham, dan mengerti bagaimana rasanya di tinggal oleh orang yang paling kita sayangi.
Mereka masuk dan Anindira membuat kan teh dan kopi untuk mereka minum bersama-sama.
Agaknya karena terlalu bersedih setelah kehilangan suaminya, Ibu Anindira tak terlalu memperhatikan sosok laki-laki tampan yang duduk bersama mereka.
"Maaf, karena sudah merepotkan mu, untuk mengantar anak saya pulang." Ucap Bu Dira santun pada Hans.
Hans menanggapi nya sambil memberi salam pada Bu Dira.
"Tidak apa-apa Bu, kebetulan saya cuti." Ucapnya sambil kembali duduk di tikar yang di gelar di lantai.
Bu Dira memperhatikan Hans.
Sebagai seorang ibu tentu ia tau melihat dan mengerti arti tatapan Hans pada Anindira sejak tadi.
Dia hanya memaklumi nya. Namanya juga muda mudi.
Pasti ada rasa kagum antara satu dan yang lain.
Tapi melihat Hans yang tampan dan gagah yang mengenakan stelan jas, membuat Ibu Anindira terpengarah.
Pasti laki-laki itu orang kaya. Dan dia tidak mau hal itu terjadi pada putrinya.
Mereka tak pantas bersanding dengan orang kaya.
"Silahkan di minum." Ujar Anindira memecah keheningan.
"Laura, kamu pergi dek belanja ke warung. Beli ayam dan terasi. Kakak mau masak makan malam."
Dia menyodorkan selembar uang merah dari dompetnya.
Adiknya lalu bergegas keluar, sedangkan Anindira pergi ke dapur untuk menanak nasi dan juga memasak air putih.
Hans yang ditinggal kan Anindira membuat nya canggung untuk memulai percakapan bersama Bu Dira.
Kedua adik Anindira yang lain, tengah mengambil air ke sumur.
Hans yang canggung dan tidak tau harus ngapain beranjak dari duduknya.
"Aku ke kamar mandi dulu Bu." Pamitnya sambil berdiri.
"Baiknya kaos kakinya dibuka saja Nak, nanti basah."
"Oh iya Bu." Hans langsung membukanya dan memasukkan ke sepatunya.
Hans menuju dapur.
Karena kamar mandi berada dekat dapur.
"Kamar mandi mana?" Ucapnya pada Anindira yang sedang menuangkan nasi ke panci dandang.
"Oh sebelah situ bang Hans." Tunjuk nya sambil melanjutkan pekerjaannya.
Setelah keluar dari kamar mandi dia menghampiri Anindira.
"Mau masak apa?"
"Nanti juga bang hans tau."
"Aku bantuin aja boleh? Aku nggak tau harus ngapain. Nggak mungkin aku bengong disana sendiri an." Ujarnya sambil menunjuk kearah ruang tengah.
"Memang nya bang Hans bisa masak?"
"Jangan ditanya."
Anindira hanya manggut-manggut dan memberikan semua bumbu-bumbu pada Hans untuk di kupasnya.
Hans dengan senang hati melihatnya.
Dia mengambil pisau kecil dan mulai mengupas perbawangan.
Sedangkan Bu Dira yang melihat kedekatan mereka nampak gelisah di balik pintu sana.
Dia takut pada anak gadisnya.
Anak gadisnya masih terlalu polos, tidak tau bagaimana kerasnya dunia.
Dia tak mau Anak gadisnya mengalami sakit hati.
'ya Tuhan, Hanya padamu aku berkeluh kesah, semoga anak anakku bahagia selalu.'
Ucapnya lalu berlalu kesana.
"Kak, ini ayam nya." Ucap Laura.
Adik kedua Anindira yang masih duduk di bangku SMA.
Sebentar lagi dia akan tamat dari sekolahnya.
Hans menoleh seketika pada adik Anindira.
Ternyata adiknya Anindira jauh lebih cantik dibanding kakaknya.
Meskipun Anindira sudah sangat cantik namun adiknya lebih mendominasi.
Jika Anindira bertubuh tidak terlalu tinggi, maka Laura memiliki postur tubuh semampai.
Bentuk tubuh nya juga seksi.
Hanya saja Laura gadis pemalu.
Ternyata mereka keturunan gen cantik dan tampan.
Ketika Hans melihat nya, laura langsung memalingkan wajahnya.
Dia akan berjalan menunduk sepanjang jalan.
"Adikmu cantik ya." Hans berbasa-basi pada Anindira.
"Iya. Dia adikku satu-satunya perempuan."
"Tapi kau lebih cantik." Ucapnya tanpa sadar.
Membuat Anindira menoleh pada iris bola mata itu. Mata mereka saling bertemu.
Akhirnya Hans yang lebih dulu memutusnya.
Hans paling tak bisa berhadapan dengan mata Anindira.
Dia akan terlihat gagap dan salah tingkah.
"Maksudku. Kalian sama-sama cantik." Ucapnya membelah kecanggungan.
"Kamu juga tampan." Hans terkesiap.
Jantungnya memompa lebih cepat.
Namun berusaha menetralkan ritme jantung nya yang bertalu-talu di sana.
Dia tersenyum pada Anindira.
"Aku juga mengakui itu." Ujarnya terlihat ambigu.
"Hahaha kepedean." Anindira menimpali.
"Kan memang tampan" goda Hans sambil mengendikkan sebelah alisnya ke atas.
Membuat Anindira tertawa nyaring melihat tingkah Hans.
Jika di dengar orang sekilas maka mereka tak nampak bersedih karena kehilangan orang yang mereka sayangi.
Namun mereka sudah ikhlas, toh di tangisi pun sampai nangis darah tak bisa kembali lagi.
"Nih udah siap."
Ucapnya sambil menyodorkan wadah kecil berisi bawang-bawang dan juga cabai.
Mereka nampak bersemangat disana memasak menu makan malam nya.
Anindira yang sudah menganggap Hans seperti Abang sendiri tak sungkan untuk menyuruh Hans mengambil ini itu.
Mereka membawa makanan itu keruang tengah, karena meja makan tak ada disitu.
Begitulah orang kampung.
Duduk di lesehan sambil makan akan terasa lebih nikmat.
Anindira menatanya di tikar dan memanggil ibunya yang berdiam di kamar.
Selesai mengucapkan doa mereka menyantap tanpa ada yang bersuara.
"Laura, tambahkan nasi Abang itu." Ibunya Dira menyuruh anak keduanya menambah nasi pada Pring Hans.
Tentu saja wajah Laura langsung memerah seperti tomat sangking malunya.
Apalagi Hans orang asing dan tak pernah dilihatnya.
Dia mulai mengambil nasi dan menatanya kembali di piring Hans.
Hans yang tak mau menolak karena takut Bu Dira tersinggung merasa sungkan dan langsung memakan nya walaupun perutnya sudah kenyang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments