Gadis miskin milik sang Casanova Bab 13
Anindira menyusuri jalan yang sekiranya menemukan jalan untuk keluar dari tempat itu.
Kembali dia berpikir-pikir jalan mana tadi yang sudah di lewati nya ketika sampai di tempat ini.
Semakin dia menoleh ke arah sana, maka semakin banyak pula pengunjung yang menyebabkan dia tak bisa menemukan jalan.
Tapi dia tak menyerah. Dia kembali berjalan dan menemukan jalan besar.
Dia bersorak dalam hati.
Tapi tak lama dia berpikir, ini jalan ke kiri atau ke kanan untuk sampai di hotel tersebut.
Dia melangkahkan kakinya ke arah.
****
Sean yang sudah selesai menghadiri Meeting pertama nya dengan kolega Bisnis nya langsung berdiri keluar dari aula itu sambil melihat kearah Arlojinya yang sudah menunjukkan jam 1.
Dia berhenti di sebuah restoran dekat Perusahaan gedung yang menjulang tinggi itu untuk memesan makanan.
Dia membungkus makanan itu tiga porsi karena dia ingat Anindira.
Anindira pasti berbinar melihat makanan dalam jumlah banyak.
Sean sedikit mengangkat sudut bibirnya ketika mengingat tingkah laku Bocah itu ketika makan.
Dia akan melihat Anindira bergoyang-goyang di meja makan ketika makanan enak menyapa mulutnya, dan tak berhenti mengoceh jika makanan itu rasanya enak dan lezat.
Sean menekan tombol hotel nya dan suasana kamar yang sepi.
Mata elang Sean menyusuri setiap sudut kamar itu.
Namun nihil tak ada orang.
Sean yang tidak peduli segera berlalu ke kamar mandi.
'anak itukan suka berkeliaran.' monolog nya dan segera membuka bungkusan itu ketika dia telah selesai membersihkan badan nya.
Setelah makan dia bersandar di kasurnya dan mulai membuka email yang masuk di iPad nya.
Dia orang yang super sibuk harus menggunakan waktunya sebaik mungkin.
Lama dia bekerja hingga tak sadar jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam.
Seperti tersadar akan sesuatu dia kembali melihat ke arah kasur mini size di samping nya.
Anindira belum pulang juga.
Damn!
Ini bukan di Indonesia. Apalagi dia tau Anindira belum Pernah kesini sebelumnya.
'shittt'
Barangkali dia tersesat dan tak tau arah jalan pulang.
Sean mengambil kunci di atas nakas dan bergegas menuju mobilnya.
Mobil melaju dengan pelan-pelan untuk memperhatikan setiap jalan, barangkali Anindira ada disana.
*****
Anindira yang sudah berjalan jauh ke barat merasa putus asa.
'kayaknya ini bukan jalan menuju hotel.' monolog nya sambil berusaha untuk berjalan berbalik arah.
'ais, aku sampai lupa.' dia mengambil handphone nya dan mencari nomor Sean di dalam nya.
Sewaktu Pulang dari pesta kemarin dia sudah menyalin semua nomor ke handphone canggihnya, sehingga ia tak perlu repot-repot membawa dua benda satu fungsi itu kemana-mana.
"Bos Arrogant." Dia memencet tombol hijau untuk menghubunginya.
Sean yang masih melaju pelan mengambil Handphonenya yang bergetar si saku celananya.
Nomor asing, tapi dia segera menghubungkan.
Barangkali itu Nomor Anindira.
"Halo Pak!".
"Anindira."
"Iya pak, aku tersesat. Nggak tau jalan pulang."
"Sharelook"
"Hm apa itu pak? Aku tak tau menggunakan nya."
"Sekarang katakan kamu berada di jalan mana."
Anindira menoleh kanan kiri. Tampak di depan sana ada pamplet kecil yang mungkin memberikannya petunjuk.
"Aku di jalan CFC Trikora"
Klik
Sean langsung menuju kesana.
Jalan itu tidak jauh dari sana. Mungkin karena banyaknya lika-liku jalan membuat Anindira kesusahan mencari jalan pulang.
"Masuk." Suara berat itu menyapa indera pendengaran Anindira sehingga gadis itu mendongak melihat ke arah Sean.
Dia langsung buru-buru naik ke mobil dan duduk di samping Sean.
Dia diam karena takut Bosnya akan mencercanya beragam pertanyaan.
"Sudah ku bilang kau bisanya menyusahkan ku Anindira."
Lagi suara dingin itu mendominasi di dalam mobil itu.
Anindira tak menanggapi. Dia lebih memejamkan matanya. Dia tau dia salah.
Harusnya tadi dia tak perlu berselfie-selfie hingga membuatnya tersesat.
"Apa kakimu tak bisa tenang walau sebentar saja?"
Anindira menghela nafas. Menerima setiap kemarahan Sean padanya.
"Kau ku bawa kesini bukan untuk bersenang-senang. Apalagi liburan. Jangan membuatku semakin marah padamu.
Aku bisa saja memecatmu karena kau sudah di atur."
Bukan. Bukan karena dia susah di atur. Dia begitu penurut, tapi karena rasa penasaran nya yang tinggi membuat dia seperti ini.
"Maaf pak." Lirihnya pelan.
"Sudah berapa kali kau meminta maaf setelah bekerja dengan ku?"
Anindira diam. Tak lagi bersuara.
Dia keluar dari dalam mobil setelah mobil itu berhenti.
Dia mengekor di belakang dan melangkahkan masuk menuju kamar.
Badannya yang lelah seharian langsung merebahkan badannya di kasur mininya.
Anindira segera duduk ketika ponselnya berdering.
"Iya Bu?" Ucapnya lembut pada ibunya yang menelepon dari kampung.
"Ira, ini bukan ibumu nak. Maaf ini Bu Tia." Ucap Bu Tia menghela nafas dengan kasar.
"Eh maaf Bu Tia, kirain ibu. Ada apa Bu? Tumben. Ibu mana?"
Terdengar helaan nafas dari sana.
"Bapakmu meninggal Nduk." Ucap dari seberang sana dengan suara parau.
Glek
Handphone dan Anindira bersamaan jatuh kelantai.
Sean yang berada di ranjang terkejut.
Dia melangkah dan mengangkat tubuh itu ke kasurnya.
Sedangkan handphone itu masih terhubung disana.
" Nak, nak Ira..kamu nggak papa kan?" Ujar Bu Tia khawatir di sana.
Sean langsung mematikan handphone itu dan beralih ke Anindira.
"Siapkan jet pribadi saya malam ini."
Sean memasukkan semua bajunya ke koper dan baju Anindira sekaligus.
Tapi tunggu. Apa ini? Sean terpengarah melihat bra Anindira yang berukuran besar.
No Busa, seperti yang di ucapkan nya kemarin.
Tak butuh waktu lama mereka sudah sampai di Apartemen dengan Anindira yang sudah sadar namun diam seribu bahasa.
"Segera kemari " titah Sean pada Hans di seberang sana.
Sean menoleh kearah Anindira yang putus asa.
Dia menyugar rambutnya kebelakang lalu duduk di sofa ruang tamu itu.
"Ada apa?" Hans yang tanpa embel-embel langsung to the point.
"Segera berangkat malam ini ke kampung halamannya." Sean berucap sambil menuliskan selembar cek dan memberikan nya pada Hans.
Hans mengerutkan keningnya.
Dia Bingung sambil memandangi Sean dan Anindira bergantian.
Anindira dengan mata sembab dan terlihat putus asa dan Sean yang terlihat seolah biasa saja.
What happen? Hans benar-benar mati kutu.
Apakah Anindira dipecat sehingga dipulangkan ke kampung?
Namun melihat raut wajah Anindira, dia tak berani bertanya.
Dia memilih menuruti perintah Bos nya.
Toh nanti di jalan, dia bisa menanyakan langsung pada Anindira.
Dia membawa koper Anindira dan membawanya ke mobil.
Tak lupa dia meraih tangan mungil Anindira dan duduk disampingnya.
Mobil mulai melaju meninggalkan Apartemen itu.
Sampai ditengah jalan, Hans yang melihat Anindira yang diam sedari tadi dengan tatapan kosong Mendorong nya untuk bertanya.
"Anindira..apapun yang terjadi kuharap kau tak usah bersedih seperti ini.
Aku tau kamu gadis yang kuat. Yang pantang menyerah." Ucapnya lembut membuat Anindira menangis pecah sambil memeluk Hans.
Hans menepikan mobilnya, dan beralih pada Anindira.
Hans membelai rambut panjang Anindira yang sedikit acak-acakan dengan lembut.
Setelah tangis Anindira berhenti, dia mengurai pelukan itu dan menyelipkan rambut Anindira ke belakang telinganya.
Dia memegang kedua pipi Anindira dengan tatapan lembut nya.
"Sekarang coba ceritakan apa yang terjadi." Ucapnya berhati-hati.
Anindira menghela nafas.
Dia menatap pada iris bola mata Hans.
Disana dia mendapat kan kehangatan dan energi positif.
"Bapakku meninggalkan." Ucapnya tersendat.
Membuat Hans terpengarah.
Ternyata bukan seperti yang di pikirkan.
"Anindira, setiap kematian adalah takdir.
Kita tak bisa menolak ketika takdir itu sudah menjemput. Kita tak bisa menghalanginya.
Bersedih boleh. Tapi putus asa tak boleh." Hans sedikit memberikan semangat pada Anindira walaupun itu terdengar ambigu.
Ah Hans memang kurang pandai merangkai kata.
Setelah keadaan sudah lebih teng mereka memperbaiki duduk masing-masing.
"Sudah siap?" Hans berkata lembut.
Anindira mengangguk.
Mobil mulai melaju dengan kecepatan sedang.
"Aku juga pernah merasa kehilangan seperti kamu." Hans menghela nafas sedang Anindira beralih melihat ke arah Hans.
"Tapi kita beda. Kamu kehilangan sewaktu kamu sudah berumur seperti sekarang ini. Sedangkan aku, aku kehilangan semua orang yang kucintai secara bersamaan."
Hans kembali menghela nafas.
Pikirannya menerawang jauh pada insiden sewaktu dia masih kecil.
Anindira yang selalu memperhatikan Hans sedikit mengerutkan keningnya.
"Kedua orang tuaku dan kedua kakak ku meninggal secara bersamaan ketika kami liburan ke Manila."
Hans menjeda kalimatnya. Mengingat kejadian masa itu membuat nya merasa sakit hati.
Mengapa orang yang di sayangnya meninggalkan dia seorang diri.
"Aku satu-satunya diantara mereka yang selamat."
"Bang Hans.." lirih Anindira sambil memegangi lengan Hans.
"Tidak apa-apa Anindira, aku sudah ikhlas."
"Setelah insiden itu, aku hidup seorang diri. Mengamen dilampu merah, untuk mencari makan. Hingga seorang wanita baik menemukan aku dan membawaku kerumahnya.
Menyekolahkan aku bersama anaknya, dan memenuhi semua kebutuhan ku. Aku sangat menyayanginya seperti ibuku sendiri.
Wanita baik itu adalah Mommy nya Sean."
Anindira terpengarah. Memang dilihat sekilas Sean lebih mendominasi dan semena-mena terhadap Hans.
Anindira kembali menatap manik hitam Hans yang kebetulan juga melihatnya.
Semoga setelah ini Anindira bisa lebih semangat lagi untuk menghadapi dunia kejam ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments