Langit yang tadinya berwarna biru kini telah berubah menjadi jingga. Bus kota penuh dengan penumpang yang hendak kembali ke rumah mereka masing-masing dan melepas penat setelah berjam-jam bekerja.
Di sebuah halte bus yang berada tidak jauh dari sebuah perusahaan, tampak beberapa karyawan yang terburu-buru dan juga ada yang tampak santai dan bermalas-malasan.
"Akhirnya Pak Damian kembali bekerja, dia masih saja tampan setelah hari sudah sore," ujar salah seorang karyawan dengan suara kecil, memuja rupa pria yang sedang menunggu bus di sana.
"Hei, lebih baik lebih sering memuji pasanganmu saja deh," balas karyawan yang lain.
"Sttt! Lihat, Pak Damian mendekat!" ujar yang lain supaya rekan kerjanya berhenti membicarakan Damian. Seketika mulut mereka tertutup rapat-rapat saat Damian melewati mereka untuk kembali ke dalam gedung perusahaan.
Sudah 30 menit berlalu sejak jam pulang kantor. Sepi, hanya itu yang bisa dikatakan oleh Damian tentang suasana di dalam gedung perusahaan tersebut.
Kehidupan kantor yang menurut Damian adalah sebuah hal yang membosankan, sedikit berubah sekarang. Ada beberapa hal yang langit berikan kepada pria itu untuk menghibur dirinya.
"Tidak bisa dipercaya. Gadis itu tidak hanya tinggal di kota ini, tapi juga bekerja di perusahaan yang sama denganku. Terlebih di dalam gedung yang sama. Bagaimana ini? Padahal aku sudah berusaha untuk sedikit bersabar." Damian bergumam sendiri di sepanjang perjalanannya menuju ke ruang timnya.
Sebuah ide muncul tiba-tiba di kepalanya. Pria itu tidak memikirkannya dua kali, kakinya yang panjang itu segera melangkah ke ruangan lain di dalam gedung.
Di setiap ruangan yang Damian lewati, lampu telah dimatikan. Akan tetapi sedikit berbeda untuk ruang bagi tim pengembangan kedua, dari kejauhan Damian dapat melihat lampu ruangan tim itu masih menyala.
Pria itu mengintip ke dalam ruangan, matanya meneliti bagian-bagian ruangan yang bisa dia lihat dari sela-sela pintu. Lampu masih menyala, ada sebuah tas juga, tapi tidak ada orang sama sekali.
"Kenapa tidak ada orang? Atau dia sedang bersama si baj*ngan itu?" gumam Damian penuh pertanyaan.
Damian yang saat ini sedang sangat fokus tidak menyadari ada seseorang yang juga mengamatinya beberapa detik lalu. Bahkan langkahnya yang sedikit menggema di koridor tidak mengganggu pria itu sama sekali.
"Permisi, apa Anda mencari seseorang?" tanya orang tersebut dengan berhati-hati.
Damian langsung berbalik, matanya melebar di saat dia melihat orang yang dia cari, Ileana, berada di hadapannya sekarang.
Mampus aku! runtuknya dalam hati.
"Maaf menghalangi jalan, aku hanya khawatir kalau baj*ngan yang bekerja di sini membuat masalah lagi," jawab Damian, dia menahan napasnya tanpa sadar.
Sedangkan Ileana terus menatap pria di depannya tanpa berkedip. Kepalanya sedang memproses, karena wajah pria itu seperti pernah dia lihat.
"Anu, saya ingin mengambil tas saya. Bolehkah-"
"Tentu saja." Damian membukakan pintu untuk Ileana dan dia tidak beranjak dari tempatnya berdiri. Pria itu menunggu Ileana keluar.
Yang awalnya gadis itu mengira kalau Damian sudah pergi, sedikit terkejut karena pria itu masih berada di tempatnya.
"Tidak ada barang yang tertinggal?" tanya Damian saat Ileana kembali berada di hadapannya.
"Tidak ada." Ileana menggelengkan kepalanya, kemudian balik bertanya, "Anda belum pulang?"
Damian tersenyum, pria itu tidak bisa menahan kesabarannya. Begitu melihat bagaimana hal ini berjalan, Damian tidak rela melepas kesempatan untuk memiliki percakapan dengan Ileana.
"Aku ingat ada seseorang yang sangat menyukai telur balado buatanku," balas Damian, berhasil membuat Ileana lebih terkejut.
"Anda … maksudku, kamu adalah Damian yang membantuku di kota U waktu itu?" tanya Ileana tak percaya.
Pria di hadapan Ileana itu tersenyum lebih lebar lagi. "Sepertinya kota ini sangat sempit ya? Padahal luas kota V, lebih luas dari pada kota U," ujar Damian dengan ramah.
Ileana tertawa dengan lembut yang sebenarnya adalah ketawa karir. "Sepertinya memang begitu, Damian. Tapi aku akan pulang sekarang, bagaimana kalau aku mentraktirmu lain kali saja?" Ileana bertanya dengan hati-hati.
Dirinya memberi sebuah sinyal supaya segera pergi dari tempat itu. Entah mengapa, tapi hati Ileana tidak merasa tenang. Bahkan Ileana sendiri bingung kenapa hari ini dia tidak terlalu nyaman saat bekerja.
Karena perasaan tidak nyaman itu, Ileana menjadi lebih sensitif. Energinya terkuras cukup banyak untuk mempertahankan kesabaran yang dia miliki.
"Maafkan aku yang membuat jam pulangmu menjadi sedikit lebih lama. Ayo pulang, kamu butuh istirahat yang sangat-sangat banyak!" ujar Damian masih dengan tersenyum.
Kemudian mereka berdua berpisah di halte bus, karena bus yang mereka gunakan berbeda. Ileana segera memasukkan pin untuk membuka pintu apartemennya. Suara kucing segera menyambutnya begitu dia melangkahkan kakinya.
"Kutebak saudari sepupumu itu menyuruhmu mengerjakan tugasnya," ujar Olivia menebak peristiwa yang menimpa temannya.
Gadis itu meletakkan secangkir susu yang baru selesai dia hangatkan untuk sahabatnya, Ileana. Ileana pun menengguk habis tanpa jeda.
Dia melihat Olivia, kemudian berkata, "Ya, itu benar. Aku tidak tau apa yang membuat dia membenciku, bibi juga. Mereka tidak tau diri, sangat tidak tau diri."
"Tidakkah kamu menceritakannya ke ayahmu. Meski dia di luar kota, dia harus tau bagaimana putrinya ini di siksa oleh saudara iparnya," balas Olivia.
Ileana menghempaskan dirinya ke sofa. "Ayah sibuk bekerja, aku tidak ingin mengganggunya."
"Hei, dengar! Kalau kamu diam saja, kapan mereka akan berhenti membuatmu menderita?! Lihat saja besok waktu masa magang kita sudah selesai, pasti saudari sepupumu itu akan mengungkit tentang Joshua si*lan itu. Cih, rasanya ingin kulempar langsung ke kandang buaya," ujar Olivia bersungut-sungut.
Namun beberapa detik kemudian, Olivia merasakan hawa tidak nyaman dari Ileana. "Il, maaf. Kalau ini tidak membuatmu nyaman, aku tidak akan menyebut si si*lan itu lagi."
"Tidak apa-apa, toh perkiraanmu memang benar. Aku harus move on, karena aku menyadari sesuatu."
Olivia mendekati sahabatnya dan dengan wajah serius bertanya, "Apa yang kamu sadari?"
Sama seperti Olivia, Ileana mengambil bantal yang ada di sofa, memeluknya dan mendekati sahabatnya. "Ada banyak laki-laki seperti Joshua, tapi saat kupikir-pikir … Joshua bukan tipeku," katanya.
Olivia mulai mengembangkan senyumannya di wajah. "Wah~ Yang benar saja? Padahal dulu kamu kan sangat keras kepala saat aku bilang Joshua itu cukup jauh dari kriteriamu," goda Olivia.
"A-ayolah! Sekarang tipeku adalah yang lebih tua beberapa tahun dariku dan tidak suka bermain wanita."
"Mimpi saja sana. Zaman sekarang mana ada pria yang seperti itu, kecuali orang yang kurang waras."
"Aishh, sudahlah. Aku mau makan malam yang banyak sekarang!" Ileana melemparkan bantal yang ada dipelukannya ke wajah Olivia, tapi gadis itu bisa menghindar serangan Ileana dengan mudah.
Belum puas menggoda sahabatnya, Olivia mengatakan hal lain yang membuat reaksi Ileana lebih menjadi dan membuat mereka bertingkah seperti Tom dan Jerry.
Rasa lelah, mood yang buruk, dan hal-hal lain yang membuat Ileana tidak bersemangat menghilang seketika. Semua hal itu tak terasa lagi saat Olivia bertingkah menyebalkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments