Menyadari bukan Yui yang dicari mereka berenam melakukan kode dengan mata, bingung harus seperti apa menjawab pertanyaan ini.
KarlHeinz, ayah dari Sakamaki bersaudara mengerti bahwa putra-putranya tidak ingin menjawab lantas melihat Yui, sang eve.
"Nah, Komori Yui. Dimana gadis itu? Sepertinya para pemuda ini tidak berniat menjawab pertanyaan ku."
Ayato menggenggam erat tangan Yui, saat ia menyadari bahwa gadisnya itu sedikit gemetar khawatir. Yui menatap Ayato dengan khawatir, melihat bagaimana kepalanya yang merah itu mengangguk.
"Katakan saja."
Karena ayahnya tidak bisa berbuat seenaknya.
"Ano, Mika-san tidak ada disini."
"Lalu dimanakah dia? Aku perlu berdiskusi tentang perjanjian kami terakhir kali."
KarlHeinz terlihat berfikir, secara sembunyi-sembunyi mencuri pandang kepada anak-anaknya. sebenarnya ia hanya ingin mendengar langsung karena orang seperti anaknya ini sangat sulit dikendalikan.
Lagipula pelayannya sudah memberikan laporan sedemikian rupa setiap hari.
"Reiji."
"Ya ayah."
"Jemput dia sekarang bersama Shu, mungkin sudah terlambat sih."
Shu membuka mata mengambil posisi duduk, Subaru mengerut dengan perintah tiba-tiba dari ayahnya. "Tidak ada gunanya untuk membawanya kembali, dia mengkhianati kami."
"Subaru jaga ucapanmu," tegur Laito. Jujur ia tidak terima dengan sindiran dari Subaru mengenai Mika.
"Bawa dia kembali sekarang."
Perintah mutlak dari kepala keluarga tidak bisa diabaikan.
\+\+
Yoichiro mengatakan ingin bersiap untuk menemui gadis itu, ini sudah seminggu dan mengingat janjinya ia harus menepati agar tidak menyesal dikemudian hari. Mengenakan pakaian kasual, dia keluar membawa beberapa catatan.
Saat keluar dari ruang kerjanya dia melihat yumi asistennya, sedang duduk santai sembari membaca buku.
'abaikan saja," batinnya.
"Yumi hari ini kita tutup, aku harus pergi. Jika kamu akan pulang tutup rapat pintu dan jendela, ingat untuk membereskan segalanya sebelum pergi."
"Apa ini tentang gadis itu?" Membalasnya dengan anggukan Yoichiro langsung keluar setelah pamit.
Setidaknya untuk pasien langganannya, "aku berangkat."
Ia melewati taman tempat terakhir ia menjemput Takahashi Mika, seingatnya gadis itu suka permen lemon. Jadi saat melewati supermarket dia mampir hanya untuk membeli permen.
Melanjutkan kembali Yoichiro menaiki kereta.
"Yoichiro-san jika nanti kamu nanti datang ke alamat ini aku harap kamu tidak menyulitkan mereka. Mungkin kamu juga akan bertemu dengan KarlHeinz, jadi mohon bantuannya."
Sekilas ia mengingat perkataan Mika. Gadis itu sepertinya yakin dengan yang dia ucapkan tentang kemungkinan masa depan yang belum terjadi.
"Tidak, sepertinya memang sudah dipersiapkan."
Gadis itu sepertinya mengarahkan segala sesuatu ketempat yang dia inginkan. Dalam hal ini mika mungkin saja merencanakan semuanya, masa depan yang dia inginkan entah itu baik atau buruk.
Setelah kereta berhenti dia langsung turun.
Matanya disambut dengan banyaknya pepohonan rindang, hampir di seluruh tempat ada pohon hijau yang berdiri.
Memesan sebuah taksi, setelah cukup menunggu dia melihat sebuah mobil mendekat dan berhenti didepannya. Jendela depan dibuka memperlihatkan seorang pria, "dengan Terashima Yoichiro?"
"Ya."
"Saya taksi yang anda pesan, silakan masuk saya akan mengantarkan sampai tempat tujuan."
Mencari posisi nyaman Yoichiro meletakkan bingkisan berisi permen tepat disamping tempat duduknya.
Selanjutnya ia mengeluarkan selembar kertas berpola lalu memberikannya pada si supir, "bisa antar saya ke tempat alamat yang tertulis?"
Setelah membacanya supir mengangguk setuju, "ini kedua kalinya saya mengantarkan seseorang ke alamat ini. Apa ini kenalan tuan?"
"Bisa dibilang begitu, mungkin tepatnya ini alamat Pasien saya."
Mobil melaju dengan kecepatan sedang, tapi saat mendengar supir pernah mengantarkan seseorang ada rasa ketertarikan untuk mendengarkan. Untung-untungan mendapatkan informasi penting.
"Anda seorang dokter?"
Yoichiro mengangguk melihat betapa antusiasnya supir. Supir yang mengunakan bahasa formal awalnya langsung bicara dengan lebih hormat dan sopan kepada Yoichiro, sementara dia bahkan tidak mempermasalahkan perubahan bahasa yang digunakan.
"Soal alamat ini, kapan tepatnya anda mengantarkan penumpang? Ah, jika tidak berniat menjawab tidak masalah saya hanya penasaran."
"Tidak masalah, mungkin itu sekitar tiga minggu lalu. Ada dua orang gadis yang saya antar ke alamat ini. Meskipun keduanya pendiam."
"Dua gadis ya?" Yoichiro duduk dengan kaki bersilang.
"Bagaimana ciri-cirinya? Saya tidak akan melakukan kejahatan jadi jangan khawatir."
Negara ini sangat rawan dengan hal seperti ini, apalagi privasi yang tidak seharusnya disebar luaskan. Ya, Yoichiro melihat raut tidak nyaman dari supir ini jadi ia hanya berusaha menjelaskan. Barulah wajahnya menjadi sedikit tenang.
"Anda tidak akan melukai gadis-gadis itu kan?"
Sopir taksi itu mendengar jawaban "tentu saja, apa untungnya bagi saya." Lantas supir taksi bernafas lega, dalam proses ini dia berusaha mengingat ciri yang paling mencolok diantara keduanya.
"Etto, yang satu memiliki rambut pendek bergelombang sementara satunya berambut hitam panjang. Ah! Untuk gadis berambut hitam dia punya warna mata yang cantik, saya bahkan terkejut pertama kali melihatnya."
Mengabaikan gadis pertama yang tidak mungkin dikenal, Yoichiro langsung mengingat wajah Mika. Rambut hitam yang panjang bagai Surai malam dan iris birunya yang seperti lautan.
"Saya pikir salah satunya adalah pasien saya, saya sangat mengkhawatirkannya kondisinya."
Sementara sopir penuh kekaguman melihat seberapa loyalitas sebagai dokter yang bahkan rela untuk memastikan kondisi pasiennya.
Yoichiro tersenyum dalam hati meninggalkan kekaguman dari supir taksi, gadis ini sepertinya memang merencanakan semuanya.
\+\+
Yuma mengetuk pintu, takutnya gadis didalam sudah bangun untuk berganti pakaian. Hanya perkiraan, meskipun tidak yakin sama sekali.
Mika yang ditinggal untuk sementara oleh para Mukami, tapi Yuma yang tidak sabaran itu langsung pergi dari sekolah untuk pulang. Ruki yang awalnya berniat menemani juga terpaksa pergi ke sekolah.
"Nee-san Yuma masuk," izinnya.
Saat pintu dibuka Yuma terperangah melihat senyum jenaka seseorang.
"Kau! Sial menjauh dari nee-san!"
Sosok yang menyebut dirinya sebagai iblis, pria itu duduk dengan nyaman dipinggir kasur yang ditempati Mika. Tangannya melambai pada Yuma seolah tau bahwa dia akan datang.
"Senang melihatmu," dia iblis, Vanitas yang memiliki seringai main-main diwajahnya. "Yuma bukan? Aku Vanitas, iblis kesombongan."
Apa situasinya bisa untuk saling mengenal, memperkenalkan diri?
Yuma tidak percaya ini, bukan perkenalan iblis yang membuat tubuhnya menegang. Tapi tubuh yang selama ini selalu dia jaga perlahan mulai bergerak secara halus.
"Nee-san," gumamnya tidak percaya.
Yuma yakin bahwa kondisi mika tidak berubah sedikitpun bahkan setelah seminggu, itu sebabnya gadis itu terus tidur seperti tidak ingin bangun dari mimpi indahnya. Tapi, melihat gadis yang sudah di anggap sebagai kakaknya, perlahan membuka matanya.
Yuma ingin sekali menangis.
Kondisi tubuh Mika tidak memungkinkan berlari kearahnya, Yuma ingin sekali menjauhkannya dari si iblis.
"Hai putri tidur apakah tidurmu nyenyak?" Iblis mengelus Surai yang hitam panjang itu dengan penuh kasih. "Lihat, ada adik kecil yang menunggumu bangun."
Perlahan mika mengambil posisi duduk, mengangkat kepalanya dia melihat kearah Yuma.
"Ada apa denganmu, tatapan mata itu. Sial, apa yang kau lakukan pada nee-san!?"
Iris birunya tidak terlihat seperti itu sebelumnya, apa yang harus Yuma lakukan? Kebingungan juga marah mendominasi, Yuma bisa melihat iblis dengan santainya mengelus pipi mika yang agak pucat.
Matanya itu, terlalu kosong untuk disebut sebagai manusia hidup.
'apa yang harus aku lakukan?'
\+\+
Mobil taksi yang dinaiki Yoichiro berhenti didepan sebuah bangunan tua, "inikah tempatnya?"
** saya menerima dukungan serta saran untuk mengembangkan cerita ini. Jangan lupa untuk vote cerita jika suka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments