Bab 3
Di per jalanan, Aku dan gadis sombong ini terus saja diam dengan pikiran masing-masing.
Tidak lama kemudian Kami pun sampai di pekarangan rumah nya. Besar, Rumah nya memang bisa di bilang sangat besar, di banding rumah yang lain nya, wajar saja. Karena gadis sombong ini ada lah anak dari saudagar kaya di kampung ini.
"Silah kan turun Neng, kita udah sampai," desak ku ke pada nya, karena kami sudah sampai dari tadi, tapi dia belum juga turun, dari kereta kuda ku.
"Ah... Iya, bang. Makasih, ini uang nya," sahut nya gelagapan sambil mem beri kan uang kepada ku senilai 15 ribu rupiah.
"Iya, Neng makasih." Aku ber gegas mengambil uang dari gadis sombong ini, entah siapa nama nya. Dan ber gegas memutar balik kereta kuda ku, ingin segera pulang.
"Bang, Tunggu!...."
Seketika Aku pun menoleh ke pada nya. Entah kenapa dia memanggil ku lagi.
"Bang... Aku mau tanya? Nama kamu siapa? dari kemarin kamu nganterin aku, tapi aku masih belum tau nama kamu?" tanya nya.
Entah apa yang ada di dalam pikiran gadis sombong ini. Kemarin aku ber tanya siapa nama nya, dia malah tidak mau memberi tahu ku, tapi sekarang, bahkan dia yang menanyakan nama ku.
Apa kah dia sudah kena pelet dari ketampanan ku ini, wajar sih, ya. Aku ini memang tampan. Aku pun ter senyum dan menjawab.
"Nama ku, Niko. Neng," sahut ku cengengesan sambil merapi kan rambut ku.
"Ohhh... Niko ya, yaudah bang Niko, besok anterin aku lagi ya, ke rumah... Ooo iya, kenalin nama aku Sandra," ucap nya yang hendak ber jabat tangan dengan ku.
Aku membalas ber jabat tangan dengan nya.
"Yaudah, kamu boleh pulang sekarang, Bang," ucap nya lagi. Dasar wanita sombong.
"Ya sudah, Aku juga nggak betah ber lama-lama ber ada di sini," sahut ku malas, lalu pergi meninggal kan nya.
Di perjalanan menuju pulang, aku selalu memikir kan Sandra. Entah kenapa, wajah nya selalu ter bayang di ingatan ku.
"Arhhggg, sudah-sudah. Aku harus melupakan gadis sombong itu, tidak boleh ada bayangan nya lagi di fikiran ku, Aku harus membuang jauh-jauh, bayangan gadis sombong itu," gumam ku sambil membawa kereta kuda ku.
Tidak lama kemudian, Aku pun sampai di pekarangan rumah ku, ingin segera memberi makan kuda kesayangan ku ini.
"Dodi... Ayo sini masuk rumah mu," ucap ku sambil menarik kuda kesayangan ku ini yang ber nama Dodi.
"Ayo yang banyak makan nya, Kamu itu harus sehat selalu, agar bisa membantu ku, mencari uang untuk biaya berobat Bapa," titah ku sambil mengusap bulu-bulu halus si Dodi.
Setelah melihat Dodi yang makan dengan lahap nya, Aku pun pergi menuju rumah, karena perut ku masih belum terisi. Aku harus segera makan.
"Bu!... Niko laper Bu," pekik ku ketika memasuki rumah.
"Bu... Bu, Pa!" Aku memasuki rumah mencari keberadaan Ibu dan Bapa ku namun tidak ada satu pun yang ter lihat. "Dimana semua keluarga ku, kenapa tidak ada satupun orang di rumah ini?" gumam ku kebingungan.
"Niko!... Niko! kamu udah pulang? tadi Ibu kamu pesen, dia suruh aku kabarin kamu, kalau Bapa mu, kumat lagi sakit nya, dan sekarang di bawa ke puskesmas," ucap Bu Nani tetangga sebelah rumah ku.
"Apa! Bu!... Bapa sakit lagi?" tanya ku kaget.
"Iya Niko!... Lebih baik kamu samperin gih Ibu kamu, kasian dia , adik adik kamu juga di sana. Nih bawakan Ibu, Bapa kamu sama Adik-adik kamu makanan ini," ucap Bu Nani sambil memberi kan satu rantang makanan ke pada ku.
Bu Nani adalah tetangga sekaligus saudara sepupu dari ibu ku, Bu Nani sudah ku anggap seperti Ibu kedua ku setelah Ibu kandung ku, memang tante yang paling baik dan perhatian terhadap kami.
"Makasih ya Bu... Yaudah kalo gitu, Niko pamit ke puskesmas dulu ya, Bu. Terima kasih bu," pamit ku sambil menerima rantang, pemberian dari Bu Nani.
"Iya, Nik. Hati-hati ya, Nik."
"Iya, Bu," sahut ku sambil pergi meninggal kan Bu Nani yang ter lihat hawatir.
Aku membawa kereta kuda ku lagi, menuju puskesmas ter dekat.
Setiba nya di puskesmas.
"Bu!... Bu! Bapa kenapa Bu?" tanya ku hawatir kepada Ibu ku yang menangis sesegukan.
"Bapa mu kumat lagi Nak, seperti biasa, Bapa batuk darah lagi. Dan tadi Bapa Mu banyak sekali mengeluar kan darah sa'at dia batuk, dan setelah itu dia pingsan, Nak!" sahut Ibu ku sambil menangis sesegukan.
"Ya ampun Bapa," tanpa terasa air mata ku jatuh membasahi pipi ini.
Kini Bapa sudah ter bangun dari pingsan nya.
"Nak... Niko," ucap Bapa kepada ku dengan kondisi yang masih lemah.
"Iya, Pa. Kenapa?" tanya ku sambil mendekati Bapa yang sedang ber baring di ranjang puskesmas.
"Nak... Bapa mu ini sudah tua dan sudah sakit-sakitan sejak dulu, Bapa minta kepada kamu, Kalau Bapa meninggal nanti, tolong jaga Ibu dan Adik-adik mu, Nak," ucap Bapa lemah, tetapi tetap Bapa paksakan untuk bicara kepada ku.
"Jangan bilang gitu, Pa. Bapa harus kuat, dan harus tetap ber tahan demi kami," sahut ku sambil menangis, karena tidak dapat menahan rasa sakit di dada ini.
"Satu lagi, Nak. Pesen Bapa. Bapa ingin kamu segera memiliki pasangan hidup, carilah wanita yang baik untuk teman hidup mu nanti," ucap Bapa lagi.
"Baik, Pa. Niko akan turuti ke inginkan Bapa, Tapi Niko juga ingin Bapa tetap selalu ber sama kami Pa. Bapa harus kuat."
"Satu lagi, Nak. Minta lah hak kita kepada saudagar kaya, dari kampung ujung kerang, dia pernah menjual kan tanah sawah kita satu-satu nya, dan uang nya tidak pernah dia serah kan ke pada Bapa, Ber kali-kali Bapa menagih uang itu, Namun Saudagar kaya yang bernama Bagas itu tidak pernah mau memberi kan uang itu kepada Bapa, sampai-sampai Bapa sakit-sakitan karena terus memikir kan masalah itu, Nak," ucap Bapa sedih.
"Umur Bapa mungkin tidak akan lama lagi, Jadi Bapa harap kamu bisa mengambil kembali apa yang telah menjadi hak kita, untuk masa depan kalian, Uhuk... Uhuk... Uhuk..."
"Pa, Bapa tidak boleh bicara seperti itu, Bapa harus kuat, Jangan tinggal kan kami Pa."
"Selamat tinggal Nak... Ingat ya pesen terakhir Ba-Bapa... La ilaha illallah muhammadur Rasulullah." Setelah mengucap kan itu Bapa ku langsung memejamkan mata nya.
"Pa... Pa bangun, Pa!... Pak Riswan-pak, ! tolong periksa Bapa saya, Pak!" teriak ku kepada Mantri yang sedang jaga di puskesmas.
"Biar saya periksa, Mas... Innalillahi wa innailaihi rojiun," ucap Mantri setelah memeriksa Bapa ku.
"Innalillahi WA innailaihi rojiun," sahut kami sekeluarga, lalu setelah itu tangis kami pun pecah meratapi kepergian Bapa ter sayang kami.
Saudagar kaya?... Bagas... Aku akan menuntut mu, atas kepergian Bapa ku, gara-gara kamu, Bapa ku jadi sakit, batin ku sambil mengepal kan tangan ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments