Kemarahan Irene

Jam istirahat pun tiba, Alya mengajak Irene ke kantin, namun gadis itu enggan ke sana dan mengatakan kalau dirinya masih kenyang. 

“Beneran nggak mau ke kantin?” tanya Alya kesekian kalinya. 

Irene memutar bola matanya malas, dan mengangguk pelan. “Iya,” jawab Irene. 

“Ya sudah, aku tinggal ke kantin. Citra sama Hanzel sudah duluan kesananya,” ucap Alya lagi dan hanya dibalas dengan anggukan kepala oleh Irene. 

Alya pun meninggalkan Irene di kelas bersama beberapa anak siswa yang lainnya. Sementara Irene sendiri memilih membaca novel dan mendengarkan musik di ponselnya sambil mengenakan headset. 

Di kantin Alya menjelajah matanya, berharap segera menemukan kedua sahabatnya itu. Seulas senyum terbit saat ia sudah mendapati kedua sahabatnya sedang duduk sambil menikmati mie ayam. Alya pun segera menghampiri keduanya. 

“Pak mie ayam satu, jangan terlalu  pedas!” ucap Alya sedikit berteriak. 

“Siap, Neng!” jawab si tukang mie ayam tersebut. 

Citra mengerutkan dahinya saat hanya mendapati Alya seorang diri. “Irene mana?” tanya gadis itu. 

“Di kelas, dia nggak mau ikut. Katanya masih kenyang,” jawab Alya. 

Hanzel dan Citra mengerutkan dahinya keduanya pun saling tatap. 

“Dia bilang masih kenyang, serius loe?” kini Hanzel yang seakan tidak percaya dengan ucapan Alya. 

“Iya, dia bilang masih kenyang. Tadi dia sarapan dengan nasi uduk di rumahnya,” jawab Alya. 

Hanzel dan Citra pun hanya manggut-manggut saja. Keduanya pun kembali menikmati mie ayam mereka, dan tak lama pesanan Alya pun datang. 

Ketika ketiganya sedang menikmati mie ayam mereka. Dari kejauhan seorang pria terus memperhatikan ketiganya lebih tepatnya memperhatikan Alya. 

“Nat,” 

Pria itu segera mengalihkan pandangannya saat namanya dipanggil. 

“Hmm,” jawab Nathan. 

“Loe nggak pesan makanan?” tanya Venus. 

“Males,” jawabnya singkat. 

Alis Venus terangkat satu. “Tumben,” ujarnya lagi. 

“Lagi puasa,” celetuk Nathan. 

Venus dan yang lainnya tercengang mendengar ucapan Nathan. Mereka menatap tak percaya pada pria itu. Pasha pun mengulurkan telapak tangannya ke kening Nathan. 

“Loe lagi nggak sakit kan?” tanya Pasha. 

Nathan segera menepis tangan Pasha seraya berdecak kesal. “Gue serius,” jawab Nathan sedikit kesal. 

Lalu ia pun berdiri dari duduknya. “Gue balik ke kelas dulu,” ujar Nathan. 

“Kenapa loe tadi mau kita ajak ke kantin?” tanya White yang sedang menatap curiga pada Nathan. 

Nathan pun menghela nafasnya. “Tadi gue lupa kalau lagi puasa,” jawab Nathan seraya pergi meninggalkan mereka yang masih dilanda keheranan. 

“Si Nathan sudah beberapa hari ini sikapnya aneh banget. Kalian ngerasain juga nggak sih?” tanya Jerry yang sangat penasaran pada Nathan. 

White, Venus, Pasha dan Dirga pun saling melirik. Pasha mengedikkan kedua bahunya, dan memilih melanjutkan makannya. Sementara White sendiri hanya diam saja, tak mau ambil pusing dengan ucapan Jerry. 

White mengerutkan dahinya saat baru menyadari kalau Irene tidak ikut dengan  ketiga sahabatnya ke kantin. White pun bergegas menghabiskan minumannya, lalu ia perlahan bangun dari tempat duduknya. 

Saat hendak bangun dan meninggalkan tempat itu, Nancy datang dan langsung bergelayut manja di lengan White. 

“Sayang,” suara Nancy terdengar manja di telinga yang mendengarnya. 

Pasha yang berada di sana pun memutar bola matanya malas. Sementara salah satu diantara sahabat White, ada yang sedang menahan rasa kesal dan cemburu melihat tingkah Nancy pada White. Pria itu sudah mengepalkan kedua tangannya dibawah meja. 

“Ada apa?” tanya White pada Nancy. 

Nancy terlihat sedikit cemberut saat mendengar jawaban White terkesan begitu datar padanya. 

“Kenapa kamu nggak mau bareng aku ke kantinnya?” tanya Nancy dengan suara manjanya. 

White menghela nafasnya. “Sekarang kamu sudah ada di kantin kan, sebaiknya kamu pergi beli makan bersama teman-temanmu. Aku ingin ke perpustakaan,” White mengambil dompetnya dan mengeluarkan dua lembar uang seratus ribu. 

“Pesanlah makanan yang kamu suka,” ujar White seraya menyodorkan uang tersebut pada Nancy. 

Nancy tersenyum seraya mengambil uang yang diberikan oleh White. White memang sering memberikan Nancy uang jajan, tapi tidak tiap hari hanya seminggu sekali saja. 

“Terimakasih sayang,” 

Tanpa rasa malu Nancy mencium pipi White di depan teman-temannya. Sontak kejadian itu membuat mereka bersorak, ada yang mengatai Nancy ada juga yang menggoda keduanya. Namun sorakan tersebut tidak digubris oleh Nancy dan White. 

White berpamitan pada teman-temannya, dia beralasan ingin ke perpustakaan karena ada buku yang sangat ingin dipinjamnya disana. Sementara Nancy pun langsung menghampiri kelima temannya itu. 

White berjalan menaiki anak tangga. Saat di lantai 2 menuju perpustakaan, White tak sengaja melihat Irene yang sedang menuruni anak tangga. Tanpa pria itu sadari, seulas senyum terbit di wajahnya. White merasa sangat merindukan gadis itu, dan dengan cepat pria itu pun segera menghampiri Irene yang berjalan sambil menundukkan kepalanya. 

Irene menghentikan langkahnya saat merasa ada orang yang menghalangi jalannya. Ia pun mendongak dan terkejut saat melihat White di hadapannya. Saat itu juga Irene membalikkan tubuhnya, namun sayang White lebih cepat menarik tangan Irene. Sehingga tubuh gadis itu sedikit terhuyung dan menabrak dada bidang White. 

“Ikut aku, Ren!” 

Irene tidak bisa menolak, karena White lebih cepat menarik tangannya. White membawa Irene ke samping ruang perpustakaan. Tempat yang dekat dengan toilet, dan sedikit agak tertutup. Karena dari arah manapun tempat itu tidak dapat terlihat ada orang, kecuali orang itu berjalan sedikit maju ke depan ruang tersebut. 

Tubuh Irene sedikit terbentur tembok, saat White mendorongnya pelan dan menghimpit tubuhnya. 

“Mau apa lagi kau, hah?” bentak Irene saat kedua matanya bersiborok dengan mata White. 

White dapat melihat pancaran penuh kekecewaan, marah dan kesal menjadi satu di mata Irene. White merasa gelenyar aneh saat melihat tatapan Irene. 

“Ren…,” ucap lembut White saat memanggil namanya. 

Irene mengeratkan kepalanya pada kedua tangannya. “Tidak perlu bersikap lembut di hadapanku, White!” cetus Irene dengan tatapan yang masih begitu marah dan kecewa pada White. 

White menghela nafasnya seraya mengusap wajahnya dengan satu tangan. 

“Oke, Ren.” White terlihat begitu pasrah. 

“Tapi, aku mohon sama kamu untuk dengerin penjelasan dariku!” sambung White. 

“Nggak ada yang perlu loe jelasin lagi ke gue, White.” 

White tercengang mendengar ucapan Irene. “Loe, gue?” tanya White yang masih tak menyangka Irene akan menyebut panggilan untuk mereka seperti seorang teman saja. 

“Iya, kenapa? Loe nggak suka, hmm?” tantang Irene. 

“Ren, kenapa kamu malah jadi berubah begini?” tanya White dengan begitu lirih.  White masih berusaha berbicara lembut pada Irene, berharap gadis itu akan luluh padanya lagi.

Irene tertawa sinis dan menggeleng dengan pelan. “Yang bikin gue berubah tuh siapa, heoh?” 

“Loe yang bikin gue berubah, White!” dengan nada tinggi Irene berkata seraya menunjuk dada kiri White dan sedikit mendorong pria itu. 

Kini Irene sudah bertekad untuk bangkit dari keterpurukannya. Sudah cukup ia sakit hati sampai dirawat di rumah sakit. Kini saatnya Irene menunjukkan siapa dirinya. Bahkan ia akan terima resikonya jika harus berurusan dengan White. 

“Apa loe lupa dengan semua ucapan yang sudah loe katakan pada Jerry, Dirga dan anak-anak futsal lainnya?” tanya Irene yang kembali membuat White bungkam. 

“I-itu…” White tak mampu berkata lagi. Jujur ia menyesali mulutnya saat itu yang tidak bisa mengontrol ucapannya.

Irene tertawa miris mendapati White tak bisa menjawab pertanyaannya. Irene memilih membalikkan tubuhnya dan meninggalkan White sendirian. Namun… 

[Grep…] 

Dari belakang, White memeluknya dan membuat gadis itu terkejut. 

“Maafkan aku, Ren. Sungguh aku menyesal sudah mengatakan hal itu. Maafkan aku, aku mohon maafkan aku!” lirih White yang masih memeluk tubuh Irene. 

Irene membeku mendengar ucapan White, bahkan Irene dapat merasakan saat ini pria itu telah menangis. 

“L-lepas, White!” ujar Irene dengan perasaan campur aduk. 

Jujur saja ia gugup mendapatkan pelukan dari White. Karena  ini pelukan pertama yang White lakukan padanya selama setahun menjalani hubungannya dengannya. 

Selama satu tahun berpacaran, Irene sadar kalau dirinya tidak pernah merasakan kelembutan dari White. Bahkan sekedar berpegangan tangan pun tidak pernah White lakukan. Irene tersadar dari lamunannya saat ia mengingat semua penyebab White tak pernah bersikap lembut padanya. 

Nancy, nama yang kini Irene pikirkan. Orang yang sangat White cintai sampai dirinya tega melakukan kebohongan pada Irene. Demi Nancy, White rela mengorbankan dirinya untuk menerima cinta Irene. Demi Nancy, White juga rela bersikap seolah-olah bucin sama Irene. Dimanapun Irene berada White akan selalu ada disampingnya. 

Menyadari semuanya, Irene segera melepaskan pelukan White dengan seluruh tenaganya. Saat terlepas dari pelukan White, gadis itu pun berbalik dan menatap wajah White dengan penuh kebencian. 

“Sayang,” 

“Stop!” Irene mengangkat tangan satunya agar White tak mendekatinya. 

“Ingat White, kita sudah tidak ada hubungan sama sekali. Jadi, gue mohon sama loe untuk nggak mengganggu gue mulai hari ini juga!” ujar Irene dengan tatapan yang masih begitu tajam pada White. 

“Nggak Ren, aku nggak mau putus sama kamu!” jawab White seraya menggelengkan kepalanya. 

Irene tertawa miris mendengar ucapan White. “Loe nggak mau putus sama gue. Tapi, loe masih berhubungan sama Nancy. Loe pikir gue ini cewek bodoh, hah!” bentak Irene. 

White dibuat kalang kabut saat Irene kembali membentaknya. Bagi White ini adalah pertama kali dirinya melihat Irene begitu marah. White sangat mengenal Irene yang pendiam dan  lemah lembut walau terkadang sedikit ketus. 

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!