Sementara di ruang musik, Pasha dan Nathan memilih duduk sambil memainkan gitar mereka. Bukan hanya ada mereka berdua saja, tapi juga ada beberapa siswa dan siswi sedang latihan di ruangan tersebut.
“Loe kenapa ikutin gue, Nath?” tanya Pasha yang masih fokus pada senar gitarnya.
“Gue nggak ikutin loe, cuma gue males aja ada mereka!” jawab Nathan.
Pasha menghentikan kegiatannya dan melirik sekilas pada Nathan. “Kenapa, loe nggak sama mereka? Bukannya dulu loe senang banget kalau si Nancy dan teman-temannya itu ikutan kumpul sama kita?” selidik Pasha dengan alis terangkat satu.
Nathan berdecak kesal. “Tingkah mereka semakin kesini semakin kesana. Gue jadi kesal sama mereka. Apalagi saat mereka diam-diam ngebully Irene,” jawab Nathan dengan tatapan lurus kedepan.
Pasha cukup terkejut mendengar ucapan Nathan. Ia pun merubah posisi duduk mereka, hingga menghadap ke arah Nathan.
“Ngebully Irene? Kok gue nggak tahu soal ini, loe tahu dari mana kalau mereka suka ngebully Irene?” Pasha bertanya dengan nada begitu serius.
Nathan yang mendapat beberapa pertanyaan dari Pasha pun hampir kesulitan menelan salivanya. Seketika itu juga dirinya merasa salah bicara dan bingung harus menjawab apa soal pertanyaan Pasha.
Pasha yang merasa temannya itu diam dan belum menjawab pertanyaannya, akhirnya pria itu menegur Nathan kembali.
“Nath, jangan bengong dong! Jawab pertanyaan gue,” cetus Pasha sambil menyenggol lengan Nathan.
“Eh, emm… itu…” Nathan bingung dan sedikit tergagap menjawabnya.
“Nath, ini beneran si Nancy sama genk-nya itu suka nge-bully Irene?” tanya Pasha kesekian kalinya.
Nathan menggigit bibir dalamnya, dan mengangguk pelan. Pasha yang masih terkejut pun langsung menarik tubuh Nathan agar menghadap ke arahnya.
“Loe serius, Nath?” lagi-lagi pertanyaan itu dijawab hanya dengan anggukan kepala dari Nathan.
“Bagaimana ceritanya? Coba cerita ke gue, Nath!”
Nathan menghela nafasnya sambil meremat jemari-jemarinya.
“Waktu itu gue nggak sengaja lihat Nancy sama genk-nya itu ngebully Irene. Mereka melakukannya di belakang gedung ini selepas pulang sekolah,”
Nathan merogoh kantong celananya dan mengeluarkan ponselnya. Pria itu membuka galery dalam smartphone nya itu dan menunjukkan sebuah video dimana Nancy dan teman se genk-nya itu sedang melancarkan aksinya membully Irene. Pasha membulatkan matanya saat melihat video itu, bahkan pria itu sempat merebut paksa ponsel Nathan agar dirinya dapat melihat dengan jelas kalau itu memang benar Nancy dan teman-temannya.
“Gila, ini udah nggak bisa dibiarkan begitu saja , Nath. Kita harus segera laporkan ini sama Bu Rosma dan Pak Hamdan,” cetus Pasha yang berapi-api.
Bu Rosma adalah wali kelas mereka, dan Pak Hamdan adalah kepala sekolah mereka. Memang di sekolah itu sangat menentang segala tindakan pembulian atau perundungan pada para siswa/siswi sekolah itu.
“Awalnya gue juga mau seperti itu, melaporkan mereka pada Pak Hamdan dan Bu Rosma. Tapi, gue tahan karena sebentar lagi kita akan menjalani ujian sekolah. Gue juga punya rencana lain untuk membongkar kelakuan mereka,” jawab Nathan.
“Apa?” tanya Pasha yang begitu penasaran.
Nathan menaikkan satu alisnya. “Apa loe bisa gue percaya?” Nathan balik bertanya pada Pasha.
Bukannya langsung menjawab pertanyaan Nathan, Pasha malah memukul lengan Nathan.
“Loe udah kenal gue berapa lama, heoh?”
Nathan tertawa kecil mendengar pertanyaan Pasha. Ia pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Ya, memang mereka kenal cukup lama. Bahkan sangat lama, sebelum ia mengenal White dan yang lainnya. Pasha adalah teman Nathan sejak mereka duduk di bangku Taman Kanak-kanak.
“Gue minta sama loe, untuk nggak bocorkan rencana gue. Apalagi tentang video pembulian yang dilakukan oleh Nancy pada siapapun. Terutama White dan Venus,” ujar Nathan dengan tatapan tajam dan terlihat begitu serius.
Tatapan yang membuat Pasha merasakan tenggorokannya sulit menelan salivanya sendiri.
“Loe tenang aja, Nath. Gue nggak seember Jerry,” jawab Pasha.
Memang diantara mereka berenam Jerry lah yang paling bocor diantara mereka. Pria itu dikenal tidak bisa menjaga sebuah rahasia. Setiap ada kabar terbaru Jerry lah yang paling pertama tahu. Maka dari itu Nathan akhir-akhir ini tidak begitu dekat dengan Jerry.
Nathan dan Pasha keluar dari ruang musik, keduanya berjalan menuju lantai empat gedung sekolah itu. Saat menaiki tangga tanpa sengaja mereka berpapasan dengan Alya dan kedua temannya, Hanzel dan Citra.
Manik mata Alya dan Nathan pun saling bertemu, namun dengan cepat Alya langsung memalingkan wajahnya ke arah Hanzel yang ada di sebelah kirinya. Sepertinya gadis itu masih sangat kesal dengan sikap Nathan yang terkesan dingin dan cuek pada semua orang.
“Eh, Alya.”
S**
Nathan bergumam dalam hatinya merutuki mulut Pasha saat memanggil nama Alya. Sementara Alya yang merasa namanya dipanggil pun menoleh dan hanya mengangguk pelan, seakan memberi tanda kalau ia menyahuti panggilan Pasha. Saat hendak melanjutkan jalannya, Citra pun berhenti dan membuat langkah Alya dan Hazel berhenti.
“Nggak usah sok akrab deh loe!” sinis Citra.
Pasha mengerutkan dahinya. “Kenapa? Masalah buat loe?” jawab Pasha yang tak mau kalah sinisnya dengan Citra.
Citra pun menatap sengit pada Pasha. Memang keduanya terkenal selalu ribut seperti Tom and Jerry, seluruh sekolah sudah tahu akan hal itu. Kadang bisa setiap Minggu mereka berlangganan bolak balik ke ruang BK.
Hanzel, Alya dan Nathan yang memahami situasi mereka pun memilih untuk memisahkan Pasha dan Citra. Hanzel dan Alya menarik tangan gadis itu, begitupun dengan Nathan yang segera mungkin menarik tangan Pasha.
“Iissh, kalian kenapa sih?” sewot Citra pada Alya dan Hanzel.
“Udahlah, Cit. Mendingan kita segera ke kelas. Sebentar lagi jam istirahat usai,” seloroh Hanzel.
“Ayo!” Alya pun segera menarik tangan Citra dan Hanzel.
Mereka meninggalkan Nathan dan Pasha begitu saja. Pasha pun juga kesal dengan Nathan yang malah mencegah dirinya untuk beradu mulut dengan rivalnya.
“Kenapa loe malah narik tangan gue sih, Nath? Padahal gue masih pengen adu mulut sama si corong bensin itu,” kesal Pasha seraya menyentak tangannya dari tangan Nathan.
Nathan menghela nafasnya kasar. “Loe bisa lanjutin nanti. Sekarang mendingan kita ke kelas!” Nathan memilih berjalan meninggalkan Pasha yang menurutnya keras kepala jika sudah berhadapan dengan Citra.
Pasha berdecak kesal. “Tungguin gue, woi!” teriak Pasha pada Nathan.
Di dalam kelas Citra dan Hanzel baru saja duduk di kursi mereka. Tiba-tiba Nancy menghampiri keduanya dengan gaya pongah dan sok cantiknya.
“Tadi gue lihat genk loe cuma ada tiga, yang satunya lagi kemana?” tanya Nancy dengan nada meremeh.
Citra dan Hanzel pun saling melirik, lalu Citra kembali menatap ke arah Nancy.
“Kenapa? Loe kangen sama temen gue yang satu lagi, heoh?” tanya balik Citra dengan tangan yang sudah terlipat di depan dada.
“Cih, denger nama dan lihat muka temen loe itu aja gue udah muak. Apalagi buat kangen sama tuh orang,” Nancy tertawa terbahak-bahak.
Bahkan teman se-genk nya pun ikutan tertawa. Sementara yang lainnya memilih diam, karena mereka tidak ingin ikut campur urusan Nancy.
Citra dan Hanzel memutar bola matanya malas. Keduanya memilih untuk mendiamkan apa yang baru saja Nancy ucapkan. Mereka memilih diam, bukan karena takut pada Nancy dan teman sekelompoknya. Tetapi mereka diam karena sudah melihat guru yang akan mengajar sedang menuju kelas mereka. Melihat Citra dan Hanzel hanya diam, tentu saja itu membuat Nancy kesal.
[Brakk…]
Dengan perasaan kesal Nancy menggebrak meja Citra.
“Loe berdua berani cuekin gue, heoh?” bentak Nancy.
“Ada apa ini?”
Suara barito dari arah pintu membuat Nancy dan teman-temannya terkejut. Mereka pun menoleh ke arah sumber suara, dan alangkah terkejutnya mereka saat melihat Pak Elyas sudah berdiri tidak jauh dari mereka.
Teman-teman Nancy pun segera duduk, begitupun juga dengan Nancy yang hendak duduk di kursinya. Namun sayang, kursi Nancy tepat di dekat Pak Elyas dan membuat gadis itu terhenti di hadapan pria yang bisa dilihat masih berusia 35 tahun itu.
“Kamu belum menjawab pertanyaan saya tadi Nancy. Masalah apa lagi yang membuat kamu memukul meja Citra?”
Pak Elyas memang sudah melihat terlebih dahulu bahwa Nancy memukul meja Citra. Mendapat pertanyaan itu, Nancy hanya bisa menundukkan kepalanya saja. Rasanya ia sangat kesal dengan guru itu. Memang Pak Elyas terkenal dengan ketegasannya, dan tidak pernah memandang berbeda pada semua murid yang bersekolah di gedung itu.
“Kamu masih tidak mau menjawab pertanyaan saya. Maka itu artinya kamu sudah siap menerima hukuman dari saya,”
Nancy yang sejak tadi menunduk pun langsung mendongakkan kepalanya sambil menggeleng dengan cepat.
“J-jangan, Pak! S-saya tadi hanya tidak sengaja memukul meja Citra, karena tadi sempat melihat s-semut, ya semut.”
Nancy tergagap menjawab pertanyaan Pak Elyas. Pak Elyas pun memicingkan matanya menatap lekat pada Nancy, untuk mencari sebuah kebohongan pada gadis itu. Pak Elyas pun menghela nafasnya kasar.
“Duduk!” titah Pak Elyas pada Nancy.
Nancy terlihat masih bingung, lalu tak lama ia pun bergegas duduk di tempatnya yang tak jauh dari posisi Elyas.
“Jika kamu mengulangi membuat keributan, mau disengaja atau tidak. Maka bersiaplah untuk tetap menerima hukuman dari saya,” ucap Elyas penuh ketegasan.
Nancy mendongakkan kepalanya. “Iya, Pak. Tapi tadi itu…”
“Disengaja atau tidak akan tetap menerima hukuman dari saya. Ingat itu!” Pak Elyas menyela ucapan Nancy dengan penuh penekanan pada setiap ucapannya.
Bahkan Nancy merasa ucapan guru yang berstatus duda itu seperti sebuah peringatan untuk dirinya.
Sementara itu, Citra dan Hanzel terlihat sedang mengulum senyumannya. Mereka pun saling melirik dan berjabat tangan, karena merasa berhasil membuat Nancy mendapat masalah pada Pak Elyas. Guru yang sangat terkenal dengan ketegasannya.
Sementara itu, Irene yang masih berada di rumah Thomas dan Anita pun merasa sangat jenuh, karena semenjak keluar dari rumah sakit ia hanya berada di dalam kamar.
Irene memilih keluar dari dalam kamar, berjalan menuruni tangga. Entah kenapa Ia sangat ingin bermain dengan Cala. Irene dapat mendengar suara tawa Cala dan Reksa yang sedang berada di ruang tivi.
Reksa melihat Irene sedang menuruni tangga pun tersenyum. Bahkan pria itu melambaikan tangannya pada Irene agar gadis itu ikut bergabung dengan mereka.
Irene bergeming, rasanya ia masih sangat canggung pada kakak tirinya itu. Karena sejak dulu, Irene selalu bersikap tidak baik pada Reksa. Sementara Reksa selalu welcome pada Irene. Sebenarnya Irene merasa malu akan sikapnya yang tidak baik itu pada Reksa, namun egonya masih terlalu tinggi untuk meminta maaf pada pria itu.
Irene berdehem sebentar sebelum melangkah ke arah Cala dan Reksa.
“Dimana Bunda?” tanya Irene berbasa-basi.
“Bunda agi ke walung,” bukan Reksa yang menjawab. Akan tetapi Cala yang sedang menatap Irene sambil tersenyum.
Cala bangun dari duduknya. “Kak Ilen cini, main cama Cala!” ujar anak itu sembari menarik tangan Irene.
Irene mau tak mau ikut duduk di sebelah Cala dan Reksa. Irene tersenyum tipis melihat tingkah Cala, tanpa terasa tangannya terulur mengusap kepala sang adik.
“Cala sedang membuat apa?” tanya Irene saat memperhatikan Cala sedang menyusun legonya.
“Banteng,” jawab Cala singkat.
Alis Irene berkerut mendengar jawaban Cala. Bahkan gadis itu pun kembali mengulang apa yang baru saja dikatakan Cala.
Cala pun mengangguk. “Iya, ini banteng bial bisa menghalau pala mucuh plajulit milik Cala,” jawabnya yang masih fokus pada legonya.
Irene semakin tercengang karena tidak paham dengan ucapan Cala. Reksa yang sejak tadi memperhatikan interaksi keduanya pun tertawa.
“Namanya Benteng, Cal. Bukan Banteng,” Reksa malah semakin tertawa setelah membenarkan ucapan adiknya.
Irene lagi-lagi tercengang mendengar pembenaran Reksa. Cala hanya menampilkan cengirannya setelah sadar ucapannya salah. Sedangkan Irene yang sudah tidak tahan pun akhirnya tertawa, dan membuat Reksa tertegun mendengar tawa Irene.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments