Rumah Baru

Reksa malah semakin tertawa mendengar omelan dari sang bunda. Pria itu merangkul kembali Anita dan menatap ke arah Irene. 

“Entah kenapa rasanya aneh kalau aku nggak godain Irene, Bun.” 

“Awwsshh,” rintih Reksa saat merasakan cubitan kecil di pinggangnya. 

Siapa lagi yang melakukannya kalau bukan Anita sendiri. 

“Sakit, Bun!” keluh Reksa. 

“Makanya jangan suka usil,” celetuk Anita. 

Irene tersenyum mengejek ke arah Reksa. Rasanya ia senang melihat Reksa menderita, tambah lagi kena omel dari Anita. Reksa yang melihat ekspresi Irene pun langsung melototkan matanya. Namun diabaikan begitu saja oleh Irene. 

“Kenapa bukan Ayah yang menjemput kita, Bun?” 

Mendengar pertanyaan Irene membuat Reksa sedikit terkejut karena Irene memanggil ibu kandungnya dengan sebutan ibu juga. Karena yang Reksa tahu Irene memanggil Anita dengan sebutan tante. 

“Ayahmu sedang ada rapat direksi, jadi tidak bisa menjemput kita. Kebetulan semalam Reksa mengatakan akan kembali ke Jakarta. Jadi Ibu meminta Reksa untuk menjemput kita,” jawab Anita. 

“Oh,” ucap Irene pelan. 

Gadis itu sekilas menatap datar pada Reksa, lalu kembali mengalihkan pandangannya ke arah lain. 

Reksa membantu membawakan koper kecil dan tas milik Irene dan Anita, sementara Anita sendiri mendorong kursi roda dimana Irene berada. Sebenarnya Irene sempat menolak dengan alasan dirinya bisa jalan sendiri menuju lobby. Tetapi Anita yang khawatir Irene kenapa-kenapa membuat gadis itu terpaksa menuruti perintah Anita. 

Setibanya mereka di lobby, Reksa menaruh barang-barang bawaannya dan meminta kedua wanita itu menunggunya. Reksa pun berlari sedikit menuju arah parkir yang berada di dekat lobby ia segera menyalakan mesin dan melajukan mobilnya menuju arah lobby. 

Pria itu membukakan pintu untuk Anita dan Irene. Bahkan pria itu juga yang memasukkan semua barang bawaan mereka ke bagasi mobil dibantu oleh sekuriti yang menjaga di lobby. 

Setelah mengucapkan terima kasih, Reksa segera masuk ke dalam mobil. Pria itu pun segera melajukan kendaraannya setelah meyakinkan kedua wanitanya sudah siap berangkat. 

Sepanjang perjalanan hanya ada suara  Reksa dan Anita yang sedang asyik berbincang. Sesekali baik Anita maupun Reksa selalu melibatkan Irene, agar gadis itu ikut berbincang dengan mereka. Namun sayangnya Irene hanya menanggapi datar dan hanya menjawab ala kadarnya. 

Dahi Irene berkerut saat menyadari kalau mereka tidak menuju rumah Anita dan Thomas maupun rumah Luciana. 

“Kita mau kemana?” tanya Irene dengan memicingkan matanya ke depan, dimana Reksa sedang mengemudi. 

Reksa melihat ke arah spion tengah, dapat dilihatnya saat ini Irene sedang menatapnya tajam. Namun bukannya takut, tetapi Reksa begitu gemas dengan adik tirinya itu. 

“Kita akan pulang kerumah sayang,” bukan Reksa yang menjawab tetapi Anita. 

Irene mengernyitkan dahi menatap Irene. “Rumah siapa? Bahkan jalannya salah,” cetus Irene. 

“Apa kamu tidak tahu jalan, heoh? Kalau tidak tahu jalan, kenapa kamu tidak bertanya padaku atau pada Bunda?” cerocos Irene mengomeli Reksa. 

Sedangkan yang diomeli hanya terkekeh geli, begitupun juga dengan Anita. 

“Ternyata Irene tuh bawel ya, Bun?” 

Irene tersadar dengan apa yang dilakukannya tadi, yang tanpa sadar telah mengomel pada Reksa. 

Anita hanya bisa menahan tawanya mendengar lontaran kata dari putra pertamanya itu. 

“Kita akan ke rumah baru yang Reksa beli sayang,” Anita kembali menjawab rasa bingung Irene. 

Irene pun kembali menoleh dengan alis yang bertautan. “M-maksud Bunda…, Bunda dan Ayah sudah pindah rumah?” tanya Irene. 

Anita mengangguk. “Iya, sayang.” Jawab Anita yang masih tersenyum simpul. 

“Jarak rumah baru kita juga tidak terlalu jauh dari sekolahmu,” cetus Reksa. 

“Kita,” beo Irene. 

Reksa kembali melirik melalui kaca spion tengah. “Iya, kita. Ayah, Bunda, aku, Cala dan kamu.” Reksa tersenyum lembut. 

Anita menggenggam tangan Irene dengan lembut. Dapat gadis itu rasakan kehangatan dari sentuhan itu. 

“Mulai sekarang kamu tinggal sama Bunda dan Ayah, ya!” ujar Anita. 

Irene masih mencerna semuanya. Lalu ia kembali teringat dengan Luciana. 

“Bagaimana dengan Mama, kalau aku tinggal bersama kalian?” tanya Irene. 

Reksa yang mendengar pertanyaan Irene pun menghela nafasnya. Anita pun melakukan hal yang sama dengan Reksa. 

“Nak, tolong untuk sementara waktu jangan pikirkan Mama kamu itu. Bukannya Bunda memintamu untuk melupakan atau menjauhkan kamu dari Mama kandungmu. Tapi, Bunda hanya ingin mulai hari ini dan saat ini kamu pikirkan dirimu sendiri. Pikirkan kesehatan mental dan jasmani kamu, apalagi kamu baru saja keluar dari rumah sakit setelah beberapa hari dirawat disana.”

“Bunda dan Ayah hanya tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk kembali menimpa dirimu, jika kamu kembali ke rumah Mama kamu atau ke rumah Ayahmu. Kami tidak ingin kamu kembali terluka untuk kesekian kalinya,” Anita memberi penjelasan pada Irene. 

Bahkan wanita itu berkata begitu lembut dan terkesan lirih di akhir ucapannya itu. Irene tertegun mendengar semua penjelasan dari Anita. Irene semakin merasa bersalah pada Anita dan Thomas, karena dirinya sempat membenci keduanya. 

Sebenarnya Irene sangat ingin merubah sikapnya pada Anita dan Thomas. Ia sangat ingin sekali dekat pada mereka, karena Irene sadar kalau mereka tulus menyayanginya. Irene berpikir sejenak setelah mendengar permintaan dan penjelasan dari Anita. 

Irene menghela nafasnya. “Baiklah, aku akan tinggal bersama kalian.” Jawab Irene pada akhirnya. 

Anita dan Reksa tersenyum senang mendengar jawaban Irene. Anita yakin Thomas dan Cala akan senang mendengarnya. Irene pun membalas senyuman Anita, apa salahnya Irene tinggal dengan Anita dan Thomas. Toh, ia dan Reksa juga masih ada hubungan darah. Walau tidak terlahir dari ibu yang sama, tapi ayah mereka sama. Tetap Irene dan Reksa masih memiliki hubungan sedarah. 

Namun tanpa disadari Anita dan Thomas, bahwa keputusan mereka yang mengajak Irene tinggal bersama. Akan membuat gadis itu semakin berada dalam kebencian sang ibu kandung. 

Irene menatap bangunan yang terlihat cukup megah dibandingkan rumah Luciana dan Thomas, namun memiliki kesan minimalis. Bahkan Irene dapat merasakan kenyamanan rumah itu hanya dari luar saja. Rumah yang terlihat begitu asri dan cukup besar itu seakan mempunyai daya tarik, agar yang menempati rumah itu terasa nyaman. Aura positifnya langsung dapat dirasakan Irene saat ini. Tanpa sadar bibir tipisnya melengkung membentuk sebuah senyuman tipis. 

“Ayo, kita masuk!” ajak Anita pada Irene seraya menautkan tangan gadis itu. 

Irene menoleh dan mengangguk, lalu ia pun berjalan dengan digandeng oleh Anita. Reksa memperhatikan punggung kedua wanita yang sudah berjalan masuk ke dalam itu. 

“Aku akan pastikan kalian berdua selalu bahagia. Terutama kamu, Ren. Kakak akan selalu melindungimu, dan akan Kakak pastikan tidak ada orang yang bisa melukaimu. Meski itu Tante Luciana, Mama kandungmu sendiri.” gumam Reksa dalam hatinya. 

Sementara itu di tempat lain, White dan yang lainnya sedang duduk di kantin sekolah. Mereka sedang menikmati makanan mereka sambil berbincang-bincang, mengingat ini sedang jam istirahat. 

“Ternyata kalian sudah disini,” 

Semuanya menoleh saat suara dari gadis yang tak asing menyapa White, Pasha, Venus, Nathan, Jerry, dan Dirga. Di antara keenam pemuda itu hanya White dan Dirga saja yang menyambut sapaan dari gadis itu. Selebihnya sedang fokus pada makanan mereka dan seakan tidak peduli kedatangan gadis itu bersama teman-temannya. 

“Kita boleh ikut gabung?” tanya salah satu teman dari para gadis itu. 

White mengangguk. “Hmm, silakan!” Ia pun mempersilahkan para gadis itu duduk di dekat mereka. 

Pasha yang sedang menikmati makanannya terkejut saat seseorang tiba-tiba saja duduk di sebelahnya. Ia pun mendengus kesal saat melihat siapa yang duduk disebelahnya. 

“Hai, Sha!” sapa gadis itu. 

Pasha melirik sekilas. “Hmm,” jawabnya. 

“Issh, Pasha 'kok jawabnya begitu! Kayak nggak suka banget aku disini,” cetus gadis itu. 

Pasha melirik sinis. “Berisik banget sih loe.” Pasha langsung meletakkan sendoknya dengan begitu kasar. 

“Nafsu makan gue jadi hilang,” Pasha berdiri dan segera meninggalkan merek yang cukup tercengang atas apa yang Pasha lakukan. 

“Sha, loe mu kemana?” Nathan bertanya dengan suara sedikit berteriak. 

“Tempat biasa,” sahut Pasha tanpa menoleh ke belakang. 

Nathan pun dengan cepat berdiri dan meninggalkan makanannya begitu saja dan menyusul Pasha. Lagi-lagi kedua pria muda itu membuat teman yang lainnya bingung, tapi tidak dengan gadis yang tadi duduk di sebelah Pasha. Begitupun juga dengan White dan Venus, mereka tahu apa yang membuat Pasha dan Nathan pergi dari kantin dan meninggalkan makanan mereka. 

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!