“Gimana?” tanya Pasha.
Venus pun menoleh. “Katanya tadi kepalanya tiba-tiba pusing. Jadi dia langsung balik duluan,” jawab Venus.
White memicingkan matanya menatap Venus. “Loe yakin si Nathan sakit kepala?” White seakan sedang mencurigai Nathan.
Venus tersenyum miring sambil mengedikkan bahunya. “Katanya begitu,”
“Tapi, kalau dia tadi sakit kepala. Kok, dia bisa nyetir motor? Seharusnya dia minta tolong ke kita untuk bawa motornya, dan minta salah satu dari kita untuk boncengin dia, dong. Tapi ini nggak, lho!” cetus Pasha.
White maupun Venus pun saling menatap, benar apa yang baru saja Pasha katakan. Memang seharusnya Nathan minta bantuan sama mereka bertiga. Bukan malah memilih pulang sendiri, karena mereka tahu kalau dalam kondisi sakit sangat bahaya dalam mengendarai motor.
“Gue curiga sama Nathan,” Pasha kembali berceletuk.
“Curiga bagaimana?” tanya White.
“Gue ngerasa ada yang sedang Nathan sembunyikan dari kita. Tapi gue nggak tahu apa yang dia sembunyikan,” tutur Pasha.
Ketiganya pun bungkam, dan larut dalam pikiran masing-masing. Meninggalkan ketiganya yang sibuk dengan tingkah Nathan, di sebuah perusahaan besar seorang pemimpin perusahaan sedang berdiri menatap ke arah luar jendela. Menatap langit senja dengan beberapa bangunan gedung tinggi di sekitar jalan raya yang terlihat begitu padat.
Pintu ruangan terbuka, seorang pria masuk kedalam dan berjalan mendekati atasannya itu.
“Bagaimana dengan kondisinya saat ini?” tanya si pria yang diketahui seorang CEO di perusahaan itu.
“Abi memberitahukan kalau besok dia sudah diperbolehkan pulang,” jawab sang asisten.
CEO itu pun mengangguk. “Laporkan terus perkembangannya. Gue nggak mau kejadian ini terulang kembali,”
Sang asisten mengangguk dan menepuk pundak pria itu dengan pelan. “Kita akan menjaganya bersama-sama,”
Malam pun tiba, Irene masih belum memejamkan matanya. Gadis itu terlihat masih fokus pada ponselnya. Ponsel yang beberapa hari ini tak pernah ia sentuh. Irene sengaja tidak menyalakan ponselnya, terakhir ponselnya berdering saat sebuah panggilan dari White yang menghubunginya ketika Irene baru saja tersadar dari pingsannya.
Kini ia menyalakan kembali karena hanya merasa penasaran dengan berita yang ada di grup sekolahnya itu. Ia tidak ingin tertinggal informasi mengenai ujian yang akan diselenggarakan sebentar lagi. Disaat sedang membaca pesan dari beberapa murid yang berada di grup tersebut. Ada satu chat yang membuatnya menggeram kesal.
Chat dari orang yang sangat ingin Irene hindari. Irene langsung memilih menghapus chat tersebut sebelum ia membacanya, dan kembali menonaktifkan ponselnya.
Irene menghela nafasnya, lalu menatap langit-langit ruangan dalam kamarnya. Sejenak ia termenung, bagaimana dirinya akan bertemu White nanti. Jika ia kembali beraktivitas di bersekolah lagi. Akankah ia sanggup melihat kemesraan antara White dengan Nancy? Apakah ia dapat sekuat itu menahan rasa kesal dan cemburunya pada mereka? Entahlah, bahkan Irene pun tidak tahu apakah ia bisa menjadi gadis yang kuat.
Pagi menjelang, setelah dokter melakukan pemeriksaan terakhir Irene sudah benar-benar bisa kembali ke rumah. Irene dapat melepas nafas leganya, ketika dokter Abi memperbolehkannya pulang. Dokter Abi tersenyum pada Irene saat melihat senyuman tipis di wajah gadis itu.
“Tolong jaga kesehatanmu. Jangan pernah memendam semua masalah yang kamu alami. Ingat, kamu masih memiliki Ayah dan Ibu yang menyayangimu!” ujar dokter Abi seraya mengusap kepala Irene.
Tentu saja hal itu membuat Irene terkejut dengan perlakuan dokter seumuran kakak tirinya itu. Menyadari tatapan bingung Irene, dokter Abi pun segera menjauhkan tangannya dari kepala gadis itu.
“M-maaf ya!” ucap dokter Abi lagi.
Irene tidak menjawab, gadis itu hanya menatap tidak suka pada Abi yang dinilainya sok akrab dengannya. Sementara itu Anita yang sejak tadi memperhatikan hanya bisa menghela nafasnya saja. Entah kenapa putrinya itu seperti orang yang sangat membenci dokter Abi. Padahal mereka baru pertama kali bertemu dengan dokter muda itu di rumah sakit ini.
“Terima kasih, Dokter Abi. Karena sudah membantu kesembuhan Irene,” ucap Anita mengalihkan kecanggungan diantara dokter itu dengan Irene.
Dokter Abi pun menoleh dan menatap Anita. “Sama-sama, Bu. Ini sudah menjadi tugasku,” jawab sang dokter.
Anita yang masih tersenyum pun menganggukkan kepalanya. Lalu dokter Abi pun berpamitan untuk memeriksa pasien yang lainnya.
Anita pun mendekat ke arah Irene yang sedang bersiap untuk pulang. Irene dapat melihat dari sudut matanya kalau wanita itu mendekatinya.
“Nak, maaf bukannya Bunda menyinggung perasaanmu. Tapi, Bunda mohon padamu untuk tidak bersikap seperti tadi pada Dokter Abi.”
Irene menghentikan pergerakannya yang sedang memasukkan beberapa barang miliknya ke dalam tas.
“Aku bersikap atas apa yang dilakukannya padaku tadi,” jawab santai Irene yang merasa tak masalah dengan sikapnya itu.
“Bukankah itu wajar? Aku hanya tidak suka ada pria yang baru aku kenal tiba-tiba saja menyentuh kepalaku tanpa seizinku,” tambah Irene.
Anita tertegun mendengar ucapan Irene yang terkesan datar dan dingin.
“Aku risih!” lirih Irene seraya menundukkan kepalanya.
Anita pun langsung memeluk tubuh mungil itu dari samping. “Maafkan Bunda, seharusnya Bunda memahamimu.”
Pintu kamar terbuka membuat Anita menoleh dan Irene segera menghapus air matanya. Anita tersenyum melihat kedatangan pria muda bertubuh tinggi putih dengan wajah tampannya.
“Akhirnya kamu menepati ucapanmu,” cetus Anita.
Irene menoleh dan betapa terkejutnya ia melihat pria itu tersenyum menghampiri dirinya dan juga Anita.
“Apa kabar, Bunda? Aku sangat merindukan Bunda,” ucap pria itu seraya memeluk Anita.
Anita pun membalas pelukan itu. “Alhamdulillah, Bunda baik. Bunda senang akhirnya kamu pulang juga,” jawab Anita.
Keduanya pun melepas pelukan mereka. Lalu pria itu menatap lekat ke arah Irene yang masih menatap datar ke arah pria itu. Pria itu pun mengikis jarak diantara mereka.
“Apa kabar cantiknya Kakak?” pria itu menyapa Irene dengan senyum manisnya.
Irene cukup tertegun mendengar panggilan untuk dirinya itu. Irene bergeming dan masih belum menjawab ucapan pria itu. Entah kenapa lidahnya terasa begitu kelu, setelah beberapa tahun tak bertemu. Kini pria itu hadir dengan penampilan yang sangat berubah menurut Irene sendiri.
“K-Kak Reksa,”
Pria tampan dengan postur tubuh 187cm itu tersenyum manis seraya menatap rindu pada Irene. Pria yang dikenal Irene sebagai kakak tirinya itu, benar-benar terlihat berbeda. Terakhir pertemuan mereka sekitar 3 tahun yang lalu, Irene masih sangat dengan sosok pria yang berdiri di hadapannya itu. 3 tahun lalu tubuh tinggi pemilik wajah tampan itu tidak setinggi ini.
Bukan hanya tinggi tubuh Reksa yang menjadi perhatian Irene. Tetapi wajah itu terlihat semakin bersih dan mulus seperti Oppa Korea. Tambah lagi ada bulu-bulu tipis diatas bibirnya, dan itu menambah kesan dewasa pada sosok Reksa.
Reksa yang masih tersenyum itu mengulurkan tangannya ke atas kepala Irene. Pria itu sedikit membungkukkan tubuhnya, dan membuat gadis itu tersadar dari lamunannya.
“Jangan sakit lagi, ya!” ucap Reksa.
Irene bergeming, gadis itu masih mencoba menetralkan rasa gugupnya. Walau ia tahu Reksa adalah kakak tirinya, namun entah kenapa ia masih merasa sangat gugup dan begitu canggung.
Ah, mengingat status mereka saat ini. Irene jadi bertanya-tanya dalam hatinya, apakah Reksa tahu kalau mereka masih satu ayah. Hanya beda ibu saja.
“Hei, kok malah diam saja. Kamu nggak kangen sama Kakak, hmm?” goda Reksa pada Irene.
Bahkan Reksa sampai mengedipkan satu matanya. Tentu saja hal itu membuat Irene kesal. Bagi Irene, Reksa terlihat seperti pria genit. Irene pun berdecak seraya menepis tangan pria itu yang masih berada di atas kepalanya.
Reksa malah tersenyum dengan kekehan kecil melihat sikap jutek Irene. Irene tidak berubah sejak dulu dimata Reksa.
“Masih sama kayak dulu. Jutek,” Reksa kembali menggoda Irene dan kali ini dengan tawa kecilnya.
Anita hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat kelakuan Reksa yang suka sekali menggoda Irene. Sementara Irene sudah mengepalkan kedua tangannya, gadis itu sangat ingin memukul Reksa. Namun ia harus menahannya, karena masih ada Anita.
“Sudah, Eksa. Jangan kamu goda Irene terus!” omel Anita.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments