Terpaksa Berbohong

Anita merasa tidak enak dengan sikap Irene terhadap temannya. Wanita itu pun segera mendekat ke arah Irene.

“Sayang, mereka datang untuk menjengukmu. Mereka kangen sama kamu, karena sudah beberapa hari tidak sekolah.” Anita berkata seraya mengusap punggung Irene dengan pelan.

“Iya, Ren. Gue kangen sama loe. Iseng gue duduk sendirian di kelas, gak ada temen ngobrol,” cetus Alya.

“Tapi gue nggK kangen sama kalian, dan gue juga nggak minta kalian untuk datang ke sini.”

Alya mendengus mendengar ucapan Irene yang terkesan tidak suka pada mereka.

“Itu mulut kenapa semakin lancip aja sih, Ren. Perasaan baru beberapa hari kita nggak ketemu. Sudah semakin tajam aja tuh mulut loe. Bukan pedes lagi tapi tajam banget sampe ke jantung gue nih!” Alya menekan dadanya dan berpura-pura seakan sedang tersakiti.

Irene berdecak kesal. “Lebay!”

Alya dan Nathan yang terbiasa dengan mulut pedas Irene pun hanya bisa terkikik geli. Namun beda dengan Anita, yang sejak tadi merasa tidak enak dengan Alya dan Nathan. Alya melirik ke arah bingkisan yang masih dipegang oleh Nathan.

“Kenapa loe kekepin aja tuh bingkisan? Bukannya dikasih ke Tante Anita atau Irene, malah loe kekepin aja!” celetuk Alya pada Nathan.

Nathan pun tersadar. “Eh, iya. Sorry lupa!” Nathan nyengir tanpa berdosa.

Anita tersenyum melihat tingkah kedua teman putrinya. Ia pun menerima bingkisan itu dari tangan Nathan. Setidaknya interaksi Alya sama Nathan mampu membuat hati Anita sedikit lega.

“Kenapa kalian harus repot-repot membawakan ini, terima kasih ya!” ucap Anita.

“Sama-sama Tante, kami juga tidak merasa direpotkan kok!” jawab Nathan.

“Iya, Tante. Jarang-jarang si kuncir ini baik hati, biasanya ma pelit!” celetuk Alya lagi.

Nathan membulatkan matanya, dan langsung menyenggol lengan Alya. “Mulut loe lancip banget, sumpah!” kesel Nathan.

“Jangan dengerin omongan dia, Tante!” ucap Nathan yang langsung membela diri di hadapan Anita.

Anita mengulum senyumnya dan mengangguk. “Sudah, sebaiknya kalian duduk dulu. Pasti kalian capek kan,” jawab Anita.

Anita pun memberikan kursi pada Nathan agar mereka duduk. Tidak lupa Anita juga memberikan air mineral kemasan gelas dan juga kue bolu untuk mereka.

“Kalian masih lama kan? Tante sudah pesankan makan siang untuk kalian,” ucap Anita.

“Lho, Tante. Jangan repot-repot begitu!” sahut Nathan.

“Iya, Tan. Kita ‘kan kesini hanya mau besuk Irene saja,” sambung Alya.

“Gak apa-apa. Mama aku tahu kalau kalian pasti lapar,” cetus Irene.

Alya dan Nathan pun menoleh ke arah Irene.

“Tapi kita berdua gak lapar, Ren!” ucap Alya.

Irene menaikkan satu alisnya. “Gak lapar tapi tinggal separo tuh kue,” Irene tersenyum sinis melihat kedua temannya.

Baik Nathan maupun Alya meringis mendengar ucapan Irene. Nathan menggaruk tengkuknya yang tak gatal, sementara Alya hanya bisa menampilkan cengiran tanpa berdosanya. Anita pun ikut tertawa melihat tingkah mereka, ia pun menggelengkan kepalanya.

Makanan pesanan Anita pun tiba. Ketiganya pun makan bersama, tak terkecuali Irene. Gadis itu merasa masih kenyang, jadi ia memilih hanya makan roti dan buah saja.

Setelah semuanya selesai makan, Anita kembali izin keluar karena harus menemui dokter Abi. Kini di dalam ruangan itu hanya ada Irene dan kedua temannya.

Nathan meneguk salivanya dengan susah payah saat tatapan matanya tak sengaja menatap mata Irene.

“L-Loe kenapa natap gue begitu, Ren?” Nathan bertanya dengan suara sedikit tercekat.

Pria remaja itu benar-benar merasa takut dan ngeri melihat tatapan Irene yang terkesan begitu dingin. Sementara Alya hanya bisa menahan senyumnya. Dalam hatinya ia sangat senang melihat Nathan stagnan seperti itu.

“Dalam rangka apa loe ikut Alya kesini?” tanya Irene.

Nathan sempat tertegun mendengar pertanyaan itu. Apakah sejak tadi Irene terus mencurigainya karena datang bersama Alya?

“G-Gue hanya ingin menjenguk loe kok, Ren. S-soalnya g-gue denger loe dari hari Kamis nggak masuk sekolah,” jawab Nathan dengan rasa gugup yang masih menjalar dalam dirinya.

“Bukan dalam rangka memata-matai gue?”

Nathan menggeleng dengan cepat. “Memata-matai loe untuk apa?” Nathan memberanikan diri untuk bertanya.

Irene menampilkan smirknya. “Kali aja loe mau buat laporan untuk sahabat loe itu,” celetuknya.

“Maksud loe White?”

“Nggak usah loe sebut namanya di hadapan gue!”

Nathan merasakan bulu kuduknya berdiri, seketika tubuhnya merasakan merinding. Sekali lagi tatapan Irene benar-benar membuat Nathan menciut.

“O-oke, sorry! Gue nggak akan sebut nama dia lagi,” Nathan mengangkat kedua jarinya hingga membentuk huruf V.

“Loe juga tenang aja, Ren. Mereka nggak ada yang tahu kalau gue kesini bersama Alya,” cetus Nathan kembali.

Pria itu tidak mau Irene kembali salah paham padanya atau mencurigainya lagi. Nathan memang sangat ingin menjenguk Irene, mengingat ia dan Irene sempat dekat semenjak gadis itu masih berpacaran dengan sahabatnya, White.

“Sebenarnya loe sakit apa sih, Ren?” bukan Nathan yang bertanya akan tetapi Alya yang kini mulai mengeluarkan suaranya.

“Hanya kelelahan,” jawab Irene dengan cepat.

Gadis itu tidak ingin memberitahukan apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya. Walaupun ia sangat dekat dengan Alya, namun Irene memilih untuk tetap merahasiakannya. Ia tidak ingin kembali menyusahkan orang lain.

“Terus kapan loe mulai sekolah?” tanya Alya kembali.

Irene mengedikkan kedua bahunya. “Nggak tau!”

Alya menghela nafasnya, ia sangat mengerti dengan sikap Irene yang sekarang ini. Sikap yang pertama kali ditunjukkan oleh Irene pada semua orang kini kembali ditunjukkannya.

Pintu ruangan pun terbuka, dan Anita kembali dengan beberapa lembar berkas yang mungkin hasil pemeriksaan Irene. Alya yang melihat Anita membawa beberapa lembar kertas pun segera berdiri dan mendekat.

“Tante bawa kertas apa?” tanya Alya

Dari arah tempat tidur Irene menatap tajam ke arah Anita dan Alya. Jujur ia tidak suka dengan pertanyaan Alya.

Anita tersenyum. “Ini berkas untuk mengurus kepulangan Irene. Insyaallah besok pagi Irene sudah diperbolehkan pulang,” jawab Anita.

Irene yang sedang memperhatikan mereka pun menghela nafas leganya. Namun, dirinya masih terus memperhatikan Alya dan juga Anita. Anita tahu saat ini Irene sedang memperhatikannya, ia pun segera menyimpan kertas tersebut ke dalam tasnya.

“Nanti saja isi berkasnya, sambil menunggu Ayahmu pulang.” Anita tersenyum ke arah Irene.

Alya pun mendekat ke arah ranjang Irene. “Kalau besok pagi loe sudah diperbolehkan pulang. Itu artinya loe udah bisa kembali ke sekolah, Ren. Aahh, gue jadi nggak kesepian lagi dikelas!” Alya mengoceh dengan binar kebahagiaannya.

Irene memutar bola matanya malas. Sementara Nathan dan Anita hanya bisa tersenyum sambil menggelengkan kepalanya melihat kelakuan Alya.

Waktu terus berjalan, tidak terasa jam sudah menunjukkan pukul 4 sore. Nathan dan Alya pun izin pamit pulang.

Sementara itu di apartemen White, tiga orang pria remaja sedang asyik bersorak gembira saat game yang mereka mainkan mendapatkan kemenangan.

“Wohooo, gue menang lagi!” seru Venus seraya melakukan selebrasi atas kemenangannya.

Pasha berdecak kesal, pria itu sudah dua kali kalah dengan Venus. Sementara White hanya bisa tertawa melihat kedua sahabatnya sedang bersaing.

“Kalau ada Nathan disini, loe juga bakalan kalah!” cetus Pasha yang masih tak terima dengan kekalahannya.

Venus menghentikan tawanya. “Oh, ya. Bagaimana itu anak? Kalian sudah tahu kemana Nathan?” tanya Venus yang langsung kembali duduk di sebelah Pasha.

Pasha dan White saling melirik, lalu keduanya sama-sama mengedikkan bahu mereka.

“Justru itu gue juga mau tanya ke loe, Ven.”

Venus langsung mengernyitkan dahinya menatap Pasha. “Gue aja nggak tau tuh anak kemana. Loe malah tanya ke gue,” Venus pum mendengus kesal.

“Coba loe telepon dia,” saran White.

Venus pun segera mengambil ponselnya yang berada di meja. Pria itu pun segera mendial nomor Venus. Tak lama nada dering pun terdengar.

“Halo,”

“Loe dimana, Nat?” tanya Venus.

“Dirumah, kenapa?”

Venus mendengus kesal mendapatkan jawaban Nathan yang malah balik bertanya padanya.

“Tadi kenapa loe buru-buru balik? Ada masalah?” cecar Venus.

“Tadi kepala gue pusing. Jadi gue buru-buru balik,” Nathan terpaksa harus berbohong.

Karena sejak awal memang dirinya tidak ingin teman-temannya itu tahu kemana dia pergi bersama Alya. Sebelumnya Nathan pun juga sudah meminta Alya untuk kerja sama dengannya, agar tidak memberitahukan yang lain kalau mereka habis bertemu Irene.

“Cuma itu? Loe lagi nggak sembunyikan apa-apa kan dari gue atau yang lainnya?”

“Nggak ada. Udah ya, kepala gue masih sedikit pusing. Gue mau istirahat dulu,”

Nathan memilih langsung mematikan ponselnya. Venus kembali menghela nafasnya kasar saat Nathan langsung mematikan ponselnya secara sepihak.

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!