Menemui Alya

Tanpa keduanya ketahui, Lusiana mendengar percakapan mereka di balik pintu kamar. Wanita itu memang berniat menjenguk putrinya, namun langkahnya terhenti saat mendengar pembicaraan dari ketiganya. 

Tangan wanita itu mengepal kuat, tatapan penuh kebencian ditujukan pada Irene. Ya, dia dapat melihat Irene dari celah kecil pintu yang terbuka. 

“Sampai kapan pun aku akan selalu membencimu, Irene. Karena kamu kehidupanku hancur berantakan. Kau memang putri sialan!” geram Lusiana dengan gumaman kecil. 

*

Suara riuh di sekolah Dewangga Nusantara memenuhi setiap kelas, mengingat saat ini sedang memasuki jam istirahat. Sebagian murid di sekolah itu ada beberapa dari mereka berada di kantin. Ada juga yang menghabiskan waktu istirahat mereka di dalam perpustakaan, atau ada juga yang berada di kelas sambil menikmati bekal makan mereka. 

Seorang pria berjalan mendekati seorang gadis yang sedang berada di dalam kelasnya sambil memakan buah yang dibawanya dari rumah. 

Gadis itu mengerutkan dahinya saat tiba-tiba saja pria itu duduk di depannya. Gadis yang sedang asyik mendengarkan musik di ponselnya itu pun mau tidak mau harus melepas salah satu handset yang dikenakannya.

“Ngapain loe disini?” tanya gadis itu dengan satu alis yang terangkat.

Pria itu menghela nafasnya, lalu ia sempat melirik ke arah kursi kosong di sebelah gadis itu. 

“Dimana Irene?” 

Gadis itu memutar bola matanya malas karena bukannya menjawab pertanyaannya pria itu malah berbalik bertanya padanya. 

“Ada urusan apa loe kesini tanyain temen gue?” 

Pria itu berdecak kesal karena gadis itu sangat susah untuk diajak bicara. Terdengar helaan nafas dari si pria, dan membuat gadis itu ikut berdecak. 

“Oke. Tolong kali ini jawab pertanyaan gue, Al. Gue cuma mau tahu kemana Irene? Gue dengar dia gak masuk sejak hari Kamis minggu lalu. Apakah Irene sakit?” tanya pria itu dengan nada lembut. 

Pria itu memilih mengalah dan meredam kekesalannya pada gadis berambut panjang itu dengan name tag bertuliskan nama Alya. Ya, saat ini gadis yang ada di hadapan pria itu adalah Alya, tema. Sebangku Irene di kelasnya. 

Alya melipat kedua tangannya di depan dada. “Tolong juga jawab pertanyaan gue yang tadi. Ada urusan apa loe tanyain temen gue, Nathan Alvares?” 

Nathan mengatupkan bibirnya, dan tangannya yang berada di atas pahanya pun mengepal kuat. Jika di hadapannya itu bukan seorang wanita, mungkin saja ia sudah melayangkan dan memukul orang itu. Namun semuanya harus ia tahan, mengingat dirinya sedang berhadapan dengan seorang gadis. 

“Kalau misalkan alasan  Irene gak masuk beberapa hari ini karena  sakit, gue ingin tengokin dia. Tapi kalau ada alasan lain, ya gue cuma hanya ingin tahu saja. Apa alasan Irene gak masuk sekolah? Hanya itu kok,” jawab Nathan pada akhirnya. 

Alya menghela nafasnya. “Dia sakit, dan saat ini sedang di rawat di rumah sakit Harapan Kita,” jawab Alya. 

Nathan terkejut mendengar jawaban dari Alya. “Loe lagi gak bohong ‘kan, Al?” 

“Sayangnya itu benar. Buat apa gue bohong mengenai kondisi seseorang, terlebih itu sahabat gue.” 

Nathan cukup tertegun mendengar ucapan Alya. Keheningan pun terjadi, namun hanya beberapa detik saja. Karena Nathan kembali bersuara. 

“Terus loe udah tengokin Irene?” tanya Nathan. 

Alya menghela nafasnya kasar. "Sumpah, sebenarnya gue tuh males banget ngomong berdua sama loe. Mendingan loe balik sana," usir Alya seraya menghempaskan tangan kirinya.

Nathan yang sedikit kesal pun semakin mendekati Alya dan sedikit memajukan kepalanya.

"Gue akan balik ke kelas kalau loe kasih tahu gue, kapan loe mau jenguk Irene." ucap Nathan

Alya semakin menahan rasa kesalnya, bahkan tatapannya pun begitu tajam pada Nathan.

"Gue tau juga baru tadi pagi pas mau berangkat sekolah. Ayahnya pagi tadi hubungin gue dan ngasih tahu kalau Irene dirawat sejak malam Kamis minggu lalu,” jawab Alya. 

Nathan menganggukkan kepalanya, seolah paham dengan apa yang dikatakan oleh Alya. 

“Terus loe mau nengokin Irene kapan?” tanya Nathan lagi. 

Alya mengedikkan kedua bahunya. “Nggak tahu, mungkin sepulang sekolah nanti.” 

Nathan tersenyum tipis. “Kalau begitu bareng gue aja,” cetus Nathan. 

Alya menaikkan satu alisnya, nampaknya ia sedang  menimbang ajakan Nathan. 

“Bareng loe dan temen-temen se-geng loe itu? Ogah!” tolak Alya dengan cepat. 

Nathan menggaruk keningnya yang tak gatal. “Kita aja berdua,” ucap Nathan. 

Alya sedikit membulatkan matanya, ia pun tahu Nathan dan temannya itu seperti apa. Apalagi mereka selalu bersama-sama kemanapun mereka pergi. 

Alya menggelengkan kepalanya. “Gue gak mau cari masalah sama loe dan temen geng loe itu,”  

Nathan mengusap wajahnya dengan kasar. “Kita pergi diam-diam. Kali ini lo gak bisa nolak ajakan gue, Al. Please, kali ini turuti apa yang gue bilang!” 

“Loe yakin? Gak mau ngajak temen se-geng loe itu?” Alya kembali menaikkan satu alisnya, seakan sedang meremehkan Nathan. 

Nathan mengangguk pasti. “Iya, jadi tolong jangan tolak ajakan gue!” 

Alya menatap intens mata mata Nathan. Entah kenapa Alya merasa kali ini Nathan serius. Namun dalam pikiran Alya Masih bertanya-tanya, kenapa Nathan tidak ingin mengajak teman se-geng nya itu. 

“Oke, nanti siang temui gue di tempat biasa gue nunggu jemputan!” ucap Alya. 

Nathan pun tersenyum mendengar jawaban Alya. Tanpa Nathan sadari pria itu sedikit membuat kesalahan karena telah tersenyum manis pada Alya. Ya, gadis itu tertegun dan terpesona saat melihat senyuman di wajah Nathan. Pria yang dikenalnya sangat sulit untuk tersenyum. 

Setelah bertukar nomor ponsel dengan Alta, Nathan pun segera keluar dari kelas gadis itu. Kelas mereka memang berbeda, Alya dan Irene berada di kelas XII-A sementara Nathan, White, dan Venus berada di kelas XII-B. Lalu Nancy sendiri berada di kelas XII-C dimana dirinya satu kelas juga dengan sahabat Irene yang bernama Hanzel dan Citra. 

 

Sepanjang koridor lantai kelas mereka, Nathan terlihat mengulum senyumnya. Wajahnya terlihat begitu merekah. White yang sedang berkumpul di depan kelas bersama Venus dan  yang lainnya pun mengerutkan dahinya. 

“Nat,” panggil White dengan suara sedikit kencang. 

Si pemilik nama pun langsung menatap ke arah dimana White berada. Nathan mendengus pelan, dengan langkah malas ia pun menghampiri teman-temannya itu. 

“Dari mana loe?” tanya Venus. 

“Dari kelas A,” jawab Nathan dengan malas. 

White dan Venus saling melirik, keduanya pun memicingkan mata mereka. Nyatanya bukan hanya White dan Venus saja yang menatap heran pada Nathan. 

“Tumben banget loe ke kelas A. Ngapain disana? Ada cewek yang lagi loe incar, ya?” tanya Pasha seraya tertawa kecil. 

Semuanya pun tersenyum menggoda Nathan. Seakan ingin membuat pria itu tersipu malu karena ketahuan oleh mereka kalau dirinya sedang mengincar seorang gadis yang sekelas dengan Irene. Namun pada kenyataannya semua itu salah. 

“Heran gue dari dulu loe demen banget mengarang indah, Sha!” sahut Nathan dengan ekspresi wajah datarnya. 

Semuanya tertawa kecil  mendengar jawaban Nathan. Namun berbeda dengan Pasha yang sedang mencebikkan bibirnya. 

“Si Nathan ma suka gitu dia. Kalau emang beneran ada yang lagi loe incer juga gak apa-apa kali, Nath. Siapa tahu kita-kita bisa kecipratan makan gratis,” ucap Pasha yang kembali tertawa. 

Venus menjentikkan jarinya. “Nah, betul tuh! Sudah lama juga kita gak makan gratisan,” cetus Venus yang langsung mendapat tepuk tangan dan tawa kecil dari teman-temannya. 

Nathan menggeleng sambil tersenyum miring. “Males ahhh…” jawabnya sambil melangkah masuk ke dalam kelas. 

Terdengar teriakan dari White, Venus dan yang lainnya. Namun, karena pada dasarnya Nathan memiliki sikap cuek. Jadi, hanya bisa mengabaikan teriakan mereka saja. 

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!