Rumah sakit

Thomas terkejut mendengar pekikan Anita, ia pun segera menghampiri Anita, dan betapa terkejutnya Thomas saat melihat putrinya sudah tergeletak di dalam kamar mandi. Beruntung air keran tidak menyala, hingga tubuh Irene masih tetap kering.

"Bang, cepat bawa Irene ke rumah sakit!" pekik Anita saat melihat suaminya yang masih terdiam di depan pintu kamar mandi.

Thomas pun tersadar, ia segera mengangkat tubuh putrinya ke dalam gendongannya. Thomas menggendong putrinya ala bridal style.

"Ambil kunci mobil dan dompetku, Bu!" teriak Thomas memberi perintah pada sang istri.

Anita pun bergegas ke kamar mereka dan mengambil dompet serta kunci mobil. Anita berlari menuruni anak tangga, mereka pun bergegas menuju mobil dan membawa Irene ke rumah sakit.

Di dalam mobil, Anita terus mengusap punggung telapak tangan Irene yang mulai terasa dingin. Anita begiti khawatir terhadap Irene, entah kenapa ia sangat takut terjadi sesuatu pada gadis itu.

"Bang, nyetirnya bisa lebih cepat!" pinta Anita dengan suara bergetar.

"Iya, ini sudah cepat. Kamu tenanglah! dan berdoa semoga semuanya baik-baik saja."

Malam semakin larut, aroma obat-obatan menyeruak di indera penciuman Irene. Gadis itu mengerjapkan matanya, mencoba menetralkan penglihatannya dari sinar lampu yang berada di atas langit-langit ruang bercat serba putih itu.

Irene menoleh ke arah kanannya, dimana ia melihat ada seorang wanita sedang tertidur sambil menggenggam tangannya yang terbebas dari selang infus. Matanya memicing, dan memastikan kalau wanita itu sangat ia kenal. Tangan kanannya terasa kebas, karena wanita itu terus menggenggamnya.

Wanita itu pun tersentak saat merasakan pergerakan dari tangan Irene. Wanita itu pun langsung membuka mata dan menoleh ke arah Irene. Wanita itu tersenyum lebar, mungkin perasaannya saat ini terasa begitu lega.

"Alhamdulillah, akhirnya kamu sudah bangun. Apakah ada yang sakit? Biar Tante panggilkan dokter untukmu," Anita terlihat begitu khawatir.

Irene mengerutkan kedua alisnya. "Tidak perlu, aku hanya sedikit pusing. Kenapa Tante membawaku ke rumah sakit, apa yang dokter katakan tentang sakitku?"

"Dokter mengatakan kalau asam lambungmu naik, dan kamu harus banyak beristirahat." jawab Anita.

"Lalu, kenapa Tante membawaku ke rumah sakit. Kenapa Tante dan Ayah tidak membiarkanku mati saja?"

Pertanyaan Irene sungguh membuat Anita terkejut. Bagaimana bisa gadis itu berpikir dirinya akan membiarkan putri kesayangannya sakit, melihat Irene menangis saja hatinya sudah terasa sakit. Anita menggelengkan kepalanya dengan cepat.

"Jangan berkata seperti itu lagi! Tante tidak akan membiarkan kamu kenapa-kenapa. Tante akan menjagamu mulai dari malam ini, ingat itu!" sahut Anita dengan wajah penuh ketegasan.

Baru saja Irene akan menjawab dan membantah apa yang baru saja Anita katakan, wanita itu dengan cepat kembali berkata.

"Tidak ada kata menolak! Jika kamu menolak, maka Tante akan membawamu pergi dari kota ini."

Irene melototkan matanya mendengar ucapan ibu tirinya. Sudut bibirnya bergetar, dalam hati ia menangisi hidupnya yang entah akan seperti apa untuk kedepannya.

"Tante mengancamku?" kedua alis Irene terangkat satu.

Anita menggeleng lagi. "Tidak! Aku tidak mengancammu. Aku hanya ingin kamu tahu, bahwa masih ada aku yang akan menjaga dan memberi kasih sayangku padamu." jawab Anita.

Irene kembali tertawa hambar. "Kenapa kamu melakukan ini, heoh? Apakah karena harta yang Ayah milik?" tawa Irene semakin keras.

Anita mengepalkan kedua tangannya, lalu ia menghirup dalam-dalam nafasnya. Anita menatap intens bola mata Irene. Sementara gadis yang ditatapnya begitu tertegun melihat tatapan tulus dari wanita yang menjadi ibu tirinya itu.

"Apakah aku terlihat sangat ingin menguasai harta milik Ayahmu?"

"Apakah selama bertahun-tahun kamu berpikir seperti itu terhadapku, Irene?"

Irene yang mendapat pertanyaan bertubi-tubi dari ibu tirinya itu cukup tertegun. Sekilas ia memutar balik kenangan dalam hidupnya selama Anita masuk diantara hubungan ayah dan sang mama.

Selama ini memang Irene tidak pernah melihat Anita hidup dengan berfoya-foya. Bahkan penampilan wanita itu sangat sederhana. Justru sang ibu kandunglah yang selalu berpenampilan glamor dan sering berfoya-foya dengan berkumpul bersama teman-teman sosialitanya.

Irene mengalihkan pandangannya ke arah lain, ia rasanya tidak ingin menatap mata ibu tirinya yang terlihat tulus menyayanginya itu. Ia tidak ingin terjebak dan luluh oleh wajah polos serta perhatian Anita.

Ada rasa trauma dan takut terjebak kembali seperti apa yang telah dialaminya hari ini. Setelah kejadian tadi siang, Irene semakin menjaga jarak dan semakin bersikap dingin terhadap siapapun.

Disaat kenangan dan rasa sakit itu kembali muncul, kedua mata Irene terasa begitu panas. Dengan cepat ia membalikkan tubuhnya dengan punggung yang membelakangi Anita. Air matanya mulai keluar dari mata indah dengan bulu mata lentik itu. Irene menggigit bibir bawahnya, ia tidak ingin Anita tahu kalau dirinya sedang menangis.

Ia tidak ingin terlihat lemah di depan wanita itu. Anita menatap intens punggung putrinya yang sedikit bergetar. Ia sangat tahu kalau putri tirinya itu sedang menyimpan beban berat dalam hidupnya. Anita sangat tahu itu, bukan karena pertanyaannya tadi yang membuat gadis itu menangis. Anita dapat merasakan kalau Irene sedang menyimpan suatu masalah yang tidak ingin ia ceritakan. Anita bangun dari posisi duduknya, lalu tanpa aba-aba ia memeluk punggung putrinya yang sudah bergetar karena menangis.

"Menangislah! Ibu ada disini untukmu," bisik Anita seraya mengusap lengan Irene dengan lembut.

Tangis Irene pun pecah, gadis itu menangis terisak. Anita terus mengusap lengan putrinya, wanita itu pun merasakan hatinya teriris mendengar isakan pilu dari tangisan putrinya itu. Bahkan saat ini ia pun ikut menangis.

Anita mengusap air matanya dengan satu tangannya. Lalu ia kembali duduk di kursinya tadi, namun tangannya masih terus mengusap lengan Irene. Anita terus melakukan itu, sampai tidak terasa Irene sudah larut dalam tidurnya. Anita menghela nafasnya, ia sedikit melirik dan memastikan kalau sang putri sudah tertidur pulas.

Pintu kamar ruang rawat terbuka, Thomas baru saja kembali dari rumahnya untuk mengambil beberapa pakaian untuk Irene dan juga Anita.

Anita tersenyum melihat kedatangan suaminya. Lalu ia pun mengambil koper kecil yang dibawa sang suami. Thomas menaruh bungkusan berisikan makanan ringan di atas nakas, matanya melirik ke arah Irene. Dalam benaknya berpikir kalau Irene sudah sadarkan diri, karena terbukti dengan posisi tidur sang putri.

Thomas menoleh menatap Anita. "Apakah tadi Irene telah bangun?" tanya Thomas untuk memastikan.

Anita mengangguk. "Sudah. Tidak lama ia tertidur, lalu kamu datang." jawab Anita.

"Jadi dia baru tidur lagi?" tanya Thomas.

"Iya," jawab Anita singkat.

Thomas pun mengangguk paham. "Sebaiknya kamu juga istirahat. Ini sudah hampir pukul 2 pagi," pinta Thomas.

"Kamu tidur di ranjang sebelah Irene saja," tambah Thomas.

Lalu pria itu sedikit mendorong ranjang yang kosong agar lebih dekat dengan ranjang Irene. Thomas tidak memesan kamar VVIP, seperti orang-orang kaya di luaran sana. Karena Thomas bukanlah orang kaya yang memiliki perusahaan yang terkenal dan memiliki cabang dimana-mana. Ia hanya pegawai yang baru dua minggu diangkat sebagai asisten CEO di sebuah perusahaan Startup.

Ruang rawat Irene adalah kelas 1, namun ruangan itu sangat kosong. Jadi Anita bisa tidur menggunakan ranjang yang kosong itu. Sementara Thomas akan balik ke rumah, karena besok pagi ia harus menyiapkan keperluan atasannya dalam pertemuannya dengan klien dari Singapura.

"Kamu akan pulang?" tanya Anita.

Thomas mengangguk dengan wajah tidak enak hati. "Maafkan Abang, Dek! Abang harus menyiapkan beberapa berkas untuk meeting besok pagi," jawab Thomas.

Sebenarnya ia sangat tidak tega meninggalkan istri keduanya sendirian menemani Irene di rumah sakit. Jika pun Thomas ingin meminta Lusiana untuk ikut menemani Irene di rumah sakit, tidak akan mungkin wanita itu mau. Karena Thomas yakin kalau istri pertamanya itu akan memilih bertemu dengan teman-temannya dibandingkan dengan merawat sang anak yang sedang sakit.

Anita tersenyum. "Tidak apa-apa, ini sudah menjadi kewajibanku untuk merawat putriku yang sedang sakit." jawab Anita.

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!