Dari pernikahan Thomas dan Anita, menghasilkan satu orang putra bernama Calandra Putra Thomas. Saat ini Calandra baru berusia empat tahun, dan sayangnya hari ini anak itu sedang tidak berada di rumah. Karena sedang diajak oleh omah dan opahnya (kedua orang tua Anita) untuk menginap dirumah mereka, beruntung Calandra bukan tipe anak yang sering uring-uringan jika berjauhan dengan sang ibu.
Semenjak Calandra lahir Irene selalu bersikap dingin terhadap Anita dan kedua putranya. Bahkan Irene enggan memanggil Anita dengan sebutan Bunda dan kakak untuk putranya Anita.
Anita mengulum senyumnya sambil mengaduk susu coklat yang sedang dibuatnya. Lalu ia membawanya menuju lantai dua dimana kamar Irene berada. Anita sengaja menyiapkan kamar untuk Irene, walaupun Anita tahu Irene tidak akan pernah tinggal dengannya. Tetapi wanita itu kekeh meminta Thomas untuk membuatkan satu kamar untuk anak gadisnya itu.
Anita mengetuk pintu kamar Irene, dan tidak lama gadis itu pun membuka pintu tersebut. Irene membiarkan Anita masuk kedalam kamar, dan dirinya sendiri kembali duduk di kursi meja belajar.
"Tante membuatkan susu untukmu. Ayo, diminum dulu!" Anita menyodorkan gelas yang berisikan susu tersebut pada Irene.
Irene menatap gelas berisi susu coklat kesukaannya, lalu berganti menatap Anita yang masih menampilkan senyumnya.
"Tolong Tante letakkan saja di meja, dan terima kasih. Aku akan meminumnya nanti," jawab Irene.
"Perutku masih sangat kenyang," tambah Irene.
Anita tersenyum dan mengangguk. "Tapi jangan sampai lupa, karena kalau sudah dingin rasanya pasti tidak enak."
Irene hanya mengangguk menanggapi ucapan Anita. Lalu Anita meletakkan gelas itu di atas meja belajar Irene. Anita mengusap lembut kepala Irene dengan senyum yang tidak pernah luntur.
"Belajarlah dengan giat, bulan depan kamu sudah mulai tryout kan?" tanya Anita.
Irene cukup tercengang mendengar pertanyaan ibu tirinya itu. Bagaimana Anita bisa tahu kalau bulan depan adalah jadwal Irene untuk ujian kelulusan? Apakah Anita tahu dari Thomas? Tapi, Irene tidak pernah membicarakannya pada sang ayah, bahkan berbicara sekedar perihal sekolah pun tidak pernah.
Anita membaca gelagat kebingungan dari wajah Irene. Anita pun tersenyum lebar, ia tahu kalau Irene pasti bingung bagaimana ia bisa tahu.
"Saat sedang ingin mengeringkan tas dan buku-bukumu, Tante tidak sengaja membaca selembaran dari sekolah yang ada di dalam tas kamu. Maaf ya, Tante lancang sudah membacanya!" ucap Anita yang merasa begitu bersalah.
"Tidak apa, Tan. Kalau Tante sudah tahu ya, sudah mau dikata apa lagi!" celetuk Irene.
Keheningan sejenak melanda keduanya, sebenarnya Anita sangat ingin mengajak Irene untuk berbincang lama layaknya seorang putri yang sedang curhat pada sang ibu. Namun itu hanya khayalan belaka, Anita tahu batasannya. Ia tidak mungkin memaksakan Irene untuk melakukan itu. Itu pasti membuat Irene tidak nyaman dengan dirinya.
"Kapan putra Tante akan pulang ke Jakarta?" tanya Irene.
Anita mengerjapkan matanya, ia pikir Irene tidak ingin berbicara lagi adanya. Sebab tadi dirinya hendak berbalik untuk kembali ke dalam kamarnya. Namun mendengar pertanyaan Irene membuat Anita urungkan niatnya kembali ke kamar.
"Reksa akan kembali bulan depan. Mungkin setelah kamu selesai ujian sekolah. Sedangkan Calandra baru besok pagi diantar oleh omanya," jawab Anita.
Irene menganggukkan kepalanya, lalu gadis itu kembali diam. Anita pun memilih untuk kembali ke kamar.
"Tante balik ke kamar dulu. Kalau kamu membutuhkan sesuatu, kamu bisa panggil Tante. Jika Tante ketiduran, kamu bisa membangunkan Tante." ucap Anita sebelum ia benar-benar meninggalkan kamar Irene.
Irene mengangguk. "Iya," jawabnya datar.
Anita tersenyum dan berjalan keluar dari kamar Irene. Saat diluar Anita menghela nafasnya sambil menutup pintu kamar Irene. Wajahnya seketika berubah murung, dengan langkah berat ia pun segera menuju lantai bawah. Anita yakin kalau suaminya akan pulang ke rumah ini.
Mengingat tadi ia sempat menghubungi sang suami, dan menyampaikan protesnya atas sikap sang suami yang selalu ribut dengan istri pertamanya. Anita berpesan untuk tidak selalu bertengkar dengan Lusiana. Anita hanya tidak ingin pertengkaran mereka berimbas pada kondisi mental Irene.
Benar saja, baru saja menapaki anak tangga saat menuju lantai bawah, Thomas sudah masuk ke dalam dan sedang melepas sepatunya.
"Bang," panggil Anita pada Thomas.
Thomas tersenyum melihat wanita yang ia cintai. "Apakah Irene sudah tidur?" tanya Thomas.
"Belum, dia sedang belajar." jawab Anita seraya menyalimi tangan suaminya.
"Untuk sementara waktu biarkan Irene tinggal di sini," ujar Thomas.
Anita mengangguk. "Untuk selamanya juga tidak apa-apa, Bang. Aku malah sangat senang jika Irene tinggal disini. Biar aku ada temannya juga kalau kamu dan Areksa sedang bekerja. Tapi yang menjadi masalah itu, apakah Irene mau tinggal selamanya disini?" jawab Anita dengan suara agak lirih di akhir ucapannya.
Thomas tersenyum lebar seraya mengusap lembut kepala sang istri. "Maafkan Irene, ya! Karena masih belum bisa menerima dirimu, dia hanya butuh waktu saja." ucap Thomas mencoba menenangkan hati istri keduanya.
Anita tersenyum dan mengangguk. "Abang sudah makan? Kalau belum aku siapkan makanan untuk Abang," tanya Anita.
"Tidak perlu, tadi Abang sudah makan bersama tim divisi. Kamu buatkan Abang teh manis hangat saja," tolak Thomas dengan halus.
"Ya, sudah! Aku ke dapur dulu buatkan Abang minuman," balas Anita.
Sementara itu di dalam kamar Irene kembali menangis di dalam kamar mandi. Ia tidak mungkin menangis di dalam kamar, karena ia tahu kamarnya tidak kedap suara. Rasa sesak atas perlakuan White terhadapnya benar-benar membuat hatinya hancur dan terluka. Ia pikir White akan menjadi rumah keduanya, ia pikir White akan selalu memberikan ketenangan dan kedamaian dalam hidupnya. Namun semuanya itu sirna, karena nyatanya orang yang sangat dipercaya oleh Irene telah membuatnya terluka dan hancur.
Cukup lama Irene menangis dan duduk di dekat bak air, hingga tubuhnya terasa begitu lemah. Kepalanya terasa begitu pusing, dan tiba-tiba saja pandangannya mulai buram. Setelah itu Irene tidak ingat apapun, karena ia sudah tidak sadarkan diri.
Anita dan Thomas pun naik ke lantai dua, mereka segera menuju kamar. Namun entah kenapa Anita merasakan sesuatu yang mengganjal dalam dirinya, Thomas mengerutkan dahinya saat melihat raut wajah sang istri begitu gelisah.
"Kau kenapa, hmm?" tanya Thomas seraya menyentuh pundak Anita.
"Ah, a-aku tidak apa-apa. Hanya saja aku merasa ada sesuatu yang tidak enak. Entah kenapa perasaanku tiba-tiba saja tidak tenang," jawab Anita.
"Reksa," gumam Anita dalm hatinya.
Anita segera bergegas mencari ponselnya, Thomas hanya memperhatikan apa yang dilakukan oleh istrinya itu. Anita terlihat menghubungi putranya yang sedang berada di Palembang.
Setelah menghubungi putranya dan berbicara sebentar, Anita sedikit merasa lega. Namun dirinya masih bingung seperti ada sesuatu yang terasa sesak. Thomas duduk di sebelah Anita, lalu mengusap punggung istrinya itu.
"Sudah, sebaiknya kamu istirahat. Ini pasti efek karena kamu sedang lelah," ucap Thomas.
Anita berkali-kali menghela nafas gusarnya. "Gak, Bang! Ini kok semakin gak enak aja perasaan aku. Aku kayak lagi khawatir sama…." seketika ia teringat, mata Anita sedikit membesar.
Wanita itu menatap ke arah Thomas. "Irene, Bang." Anita langsung berdiri dan berjalan kelua tanpa menghiraukan pertanyaan Thomas.
"Irene kenapa, sayang?" tanya Thomas dengan suara agak keras. Pria itu masih terlihat begitu bingung.
Dengan terpaksa Thomas mengikuti kemana istrinya pergi. Anita berkali-kali mengetuk pintu kamar Irene, namun tidak ada jawaban dari dalam.
"Mungkin dia sudah tidur," ucap Thomas saat mendekati istrinya.
Anita menggeleng dengan kuat. "Sebaiknya kita masuk, firasatku gak enak Bang!" jawab Anita.
Thomas menghela nafasnya. "Ya sudah, buka saja!"
Anita menekan handle pintu kamar putrinya yang tak terkunci, saat Anita sudah masuk ke dalam kamar, wanita itu mengernyitkan dahinya saat melihat kamar tersebut kosong. Begitupun juga dengan Thomas, lalu ia menatap ke arah Anita.
"Kemana Irene?" tanya pria itu.
"Tadi ada di dalam kamar saat kamu pulang. Mungkin dia ada di dalam kamar mandi," Anita menjawab sembari melangkah menuju kamar mandi.
Anita mengetuk pintu kamar mandi, berkali-kali mengetuk tidak ada jawaban dari dalam sana. Anita terlihat semakin khawatir, terpaksa ia membuka pintu kamar mandi yang beruntungnya tidak terkunci dari dalam.
"Irene," pekik Anita
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments