Menikahi Pembantuku
GLEGAR!!
Suara kilat bersahutan di angkasa, membuat gemuruh panjang yang menggetarkan kaca jendela. Malam sudah larut dan belum ada tanda-tanda kalau hujan deras akan berhenti.
BRAK!!!
Seorang pria tegap melemparkan sebuah koper ke luar rumah. Koper usang itu cukup besar dan berat. Ia memang memasukkan semua baju dan barang-barang istri sah beserta anaknya ke dalam koper itu.
“Pa, please!! Kenapa kamu begini??!” Renggek seorang wanita, ia tersungkur di bawah kaki lelaki itu sambil memohon agar tidak diusir dari kediamannya sendiri.
Seorang gadis kecil juga menangis di sampingnya, berdiri terisak sambil membawa boneka teddy bear kesayangannya. Gadis itu terus menangis karena ayahnya begitu menakutkan.
“Pergi kau!! Aku jijik menatap wajahmu juga wajah buruk rupa anak itu!” Pria itu menendang sang wanita sampai ia terjungkal ke belakang. Ia menghina wajah dari darah dagingnya sendiri. Gadis tadi semakin terisak, ia mengusap tompel besar pada pipi yang sudah ada semenjak dia lahir. Sebuah kecatatan yang membuat wajah cantiknya menjadi buruk rupa.
“Elenora adalah anakmu, Theo!!” Renggeknya, namun pria itu tetap membuang muka. Tak sudi lagi melihat keduanya.
"Aku bilang pergi!!" Theo melemparkan uang di depan wajah sang istri.
"Tapi rumah ini adalah rumahku, Mas!! Perusahaan dan juga semua aset adalah milikku!! Kamu tak ada hak untuk mengusir kami!! Semua yang kamu nikmati ini adalah milik keluargaku! Warisan orang tuaku!" serunya dengan tegas.
"Hahaha ... siapa bilang?? Aku sudah membalik nama semua aset perusahaan dan juga rumah ini menjadi namaku," jawabnya penuh tawa. Membuat mata sang istri membulat sempurna, jadi selama ini sang suami telah menipunya mentah mentah?
Dari dalam rumah seorang wanita cantik bersama dengan putrinya datang. Ia menyeringai, seakan mencemooh kondisi mengenaskan sahabatnya yang mirip dengan kucing kehujanan.
“Teganya kamu, Sarah!! Aku menganggapmu sebagai sahabatku! Temanku sejak kecil!! Bahkan orang tuaku menyekolahkanmu sampai lulus kuliah!! Kamu yang hanyalah anak seorang pembantu bisa menjadi seperti saat ini tak lain karena andil mereka!" Tamara bangkit, ia menunjuk nunjuk ke wajah wanita jahanan bernama Sarah. Tamara ingin mencakar wajah wanita itu dengan kuku jarinya.
Sarah adalah anak pembantu di kediaman keluarga Subroto, semenjak kecil Tamara berteman karib dengan Sarah karena mereka seumuran. Tamara meminta orang tuanya menyekolahkan Sarah di tempat yang sama, sekolah untuk para kaum elit. Siapa yang mengira sahabatnya itu tidak tahu balas budi dan justru menikamnya dari belakang. Sarah selalu iri dan menginginkan milik Tamara, termasuk suaminya.
"Yank, Sarah takut." Sarah bersembunyi di balik punggung lebar Theo. Dengan nada manja ia mencari perlindungan dari suami Tamara.
"Jangan berani menyentuh Sarah!" Theo menghempaskan tangan Tamara yang hendak mencakar wajah Sarah.
Wanita itu tersungkur di bawah kaki suaminya. Hatinya begitu hancur. Malam ini menjadi titik balik kehidupannya. Suami yang ia cintai membawa pulang selingkuhan yang tak lain adalah sahabat yang ia sayangi. Suka duka selalu Tamara bagikan pada Sarah, bahkan saat ia curhat mengenai suaminya yang sering pulang malam dan selalu sibuk dengan pekerjaannya.
Bodohnya Tamara, Sarah bahkan sudah memiliki putri yang hampir seusia putrinya. Itu berarti mereka berselingkuh di belakang Tamara semenjak awal, bahkan mungkin jauh sebelum mereka menikah. Mungkinkah semua ini adalah sandiwara mereka berdua untuk menguasai semua harta milik keluarga Tamara?
"Di mana hati nuranimu, Mas?? Aku istrimu!! Nora adalah anakmu! Bagaimana mungkin kamu tega mengusir kami di tengah hujan deras seperti ini?" Tangis Tamara di bawah kaki Theo, mengharapkan sebuah kesempatan setidaknya bagi anaknya untuk bermalam. Hujan memang sangat deras malam itu, dan udara sangat dingin. Anak kecil tak mungkin sanggup menahannya.
“Lepaskan kakiku, dan cepat pergi dari sini!!” Namun suaminya jauh lebih memilih untuk mengabaikan anaknya sendiri.
“Kumohon, Mas!! Biarkan kami berdua tinggal semalam saja, hujan sangat deras.” Iba Tamara, ia sudah hancur malam ini, namun demi putrinya tercinta, Tamara rela membiarkan harga dirinya semakin diinjak injak oleh kedua iblis ini.
“Pergi, kesabaranku ada batasnya!! Berhentilah merengek dan pergi dari sini! Aku sudah memberikan sejumlah uang di dalam koper untukmu dan Nora!! Aku juga akan memberikannya uang tiap bulan sebagai kompensasi atas darah yang mengalir dalam darahnya!!" bentak Theo lagi.
"Betul, suru dia kemari setiap bulan. Mengemis uang saku seperti diriku dulu mengemis pada keluargamu." Sarah terkekeh.
"Kamu tidak pernah mengemis pada keluargaku, Sarah!! Papa dan Mamaku iklas memberikan semua uang bulanan saat menyekolahkanmu dulu!! Hatimulah yang sangat busuk dan picik!" Tamara bangkit, ia menggandeng anaknya bangkit.
“Mama ... dingin!! Mama!!" Nora merenggek, ia menggigil pilu, membuat hati Tamara kian terasa sakit seperti di remas remas.
“Karma itu nyata!! Suatu saat kamu akan menuai karmamu, Mas!" Tamara menatap tajam pada suaminya lalu pada Sarah.
"Kamu begitu jahat, Sarah! Air susu kamu balas dengan air tuba!! Sampai mati pun aku tak akan pernah memaafkanmu!!" tandas Tamara.
"Iihh ... takut hlo aku. Tapi memangnya kenapa kalau kamu tidak memaafkanku?? Apa kamu pikir aku peduli?? Hahaha ... dasar wanita bodoh tak berguna. Kebodohanmulah yang membuatmu kehilangan segalanya. Jangan salahkan aku, aku kan hanya berusaha bertahan untuk hidup." Sarah menertawakan Tamara.
"Ayo kita masuk saja! Tak perlu meladeni ucapannya!" Theo menggandeng Priscillia dan Sarah masuk. Putri Sarah itu sempat menoleh pada Elenora dan menjulurkan lidahnya.
BLAM!!
"Mas!! Mas Theo!! Huhuhu ...!! Buka pintunya Mas!! Ini rumahku!! Rumah orang tuaku!!" Tamara merasa sangat terluka, ia begitu kecewa karena kebodohannya telah membawa nasib buruk menghampirinya. Bahkan ia tak berdaya saat tadi suaminya memaksa Tamara menandatangani surat yang tak lain adalah surat cerai. Dia ditipu dengan mengatakan bahwa itu adalah kontrak kerja Sarah yang baru di perusahaan.
"Pergilah!! Sebelum aku minta Pak Yono untuk mengusirmu!" teriak Theo dari dalam rumah. Yono adalah satpam yang bekerja di rumah milik Subroto dan kini menjadi rumah milik Theo.
“Hiks ... Mama, kenapa Papa dan Bibi Sarah menjadi sangat jahat kepada kita?” tanya Nora, ia mendekati tubuh Tamara yang tersungkur di kaki pintu. Bocah itu masih terlalu kecil untuk mengetahui hal apa yang menimpa kedua orang tuanya.
“Maafin mamamu yang bodoh ini, Nak.” Tamara mengelus wajah Nora, ia tersenyum dalam tangisannya. Mencoba mengayomi hati anaknya, tak ingin menambah kesedihan dalam hati putrinya.
“Ayo kita pergi dari sini, Nak!” Akhirnya Tamara bangkit, ia menutup kepala Nora dengan tudung jaket. Tamara tahu jaket kain itu tak akan bisa menyelamatkan tubuh Nora dari rasa dingin, namun hanya perlindungan itu yang mereka punya saat ini.
Tamara cepat-cepat menarik kopernya, menembus hujan deras, langkahnya yang menderap cepat melalui jalanan becek membuat rok panjangnya kotor. Tamara tak peduli, yang penting ia bisa segera keluar dari kawasan perumahan, mencari tempat berteduh untuk mereka. Kasihan balita itu, dia bisa masuk angin kalau tidak segera mengeringkan bajunya.
"Nyonya!!" Suara teriakan membuat Tamara menoleh.
"Pak Yono?"
"Nyonya mau ke mana? Biar saya carikan kendaraan?" Satpam yang sudah bekerja lama di rumah itu merasa kesal juga, namun ia tak berkutik karena ia pun di gaji dari kantong milik Theo sekarang.
"Hiks ... saya tidak tahu lagi mau ke mana, Pak," isak Tamara. Pak Yono menjadi kasihan, namun tak punya kekuatan juga untuk membalasnya.
"Ke rumah saya saja, Nyonya. Ini alamatnya, tak jauh dari sini. Naik taxi saja. Kasihan Non Nora sudah kedinginan." Pak Yono hanya bisa memberikan tumpangan sementara sebelum Tamara bisa mendapatkan tempat tinggal.
"Makasih ya, Pak."
"Saya yang seharusnya berterima kasih. Saya juga mau minta maaf, Nyonya. Saya tak bisa membantu apa pun." Pak Yono hampir menangis, ia masuk bekerja di kediaman ini saat Tamara duduk di bangku SMA, ia tahu semua perjalanan hidup Tamara sampai ia menikahi Theo dan kehilangan kedua orang tuanya dalam sebuah kecelakaan. Semasa hidup, mendingan orang tua Tamara banyak memberikan bantuan pada Yono dan rekannya yang lain. Ia merasa begitu berhutang budi pada Tamara.
"Sekarang lekas pergi, Nyonya. Saya harus kembali sebelum Tuan sadar saya keluar."
"Baik, Pak."
Tamara menuju ke alamat yang ditunjukan oleh Yono. Ia tak membawa apa pun selain koper yang dilemparkan oleh sang suami. Sepanjang perjalanan Tamara meratapi nasibnya yang begitu menyedihkan.
"Lebih baik kamu menjadi orang jahat, Nora. Supaya kelak tak ada yang menginjak injak martabat dan harga dirimu." Tamara mengelus rambut basah putrinya. Setelah mengucapkan hal itu dalam hatinya, Tamara kembali meneteskan air matanya dan terisak sendu. Menangisi takdir yang begitu pahit dan kelam.
...— BERSAMBUNG —...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments
gathan ibrahim
lanjut
seru niih
2024-02-18
0
Dwisur
ikutan geraaam niichhhh...hemmmm
2024-02-16
0
Candy Tohru
wah, wah, wah ... ini adalah awal karma instan sepertinya ...
2024-02-02
3