Di malam yang gelap tanpa cahaya bulan suasana yang dingin menusuk ke dalam tulang, seorang lelaki duduk menyendiri di halte dengan diam menatap kepedihan dan kesedihan di dalam jalan kehidupannya.
Bagaikan berjuta-juta masalah yang sedang dihadapi olehnya tanpa tiada henti, lelaki itu melihat taksi yang menghampirinya kemudian lelaki tersebut masuk ke dalam taksi, tatapan yang kosong dan tertunduk membuat dirinya seakan tidak dapat melihat hal yang akan dihadapinya yang akan datang.
"Kehidupan itu sangat buruk tiada kebahagiaan melainkan hanya segala masalah yang akan datang menghampiri hidup ku." Gumamnya di dalam hati, ia selalu menatap keluar jendela mobil taksi dengan tatapan kosong tanpa tiada arti.
Tanpa sadar ia telah tiba di hadapan gerbang rumah yang mewah, lelaki tersebut membuka pintu gerbang dan masuk ke dalam halaman rumahnya, ketika di depan pintu lelaki itu membuka pintu rumah lahan perlahan terdengar suara yang tidak diinginkan olehnya.
Ya terdengar pertengkaran hebat kedua orang tuanya yang tidak pernah ada habisnya, pandika terdiam mematung sesaat kemudian menguatkan hatinya untuk menghadapi kedua orang tuanya
"Itu karena kamu tidak dapat mendidik pandika." Terdengar suara lelaki separuh baya yaitu papahnya yang berbicara dengan nada kasar.
"Memangnya kamu ada waktu untuk Dika?" Terdengar suara wanita yaitu mamah dengan suara yang bergetar.
"Aku kerja, untuk siapa? untuk kalian juga bukan? dia itu sudah dewasa sudah saatnya dia untuk mandiri." Ujarnya dengan penuh amarah dan emosi.
Mendengar pertengkaran kedua orang tuanya yang tidak kunjung berakhir membuat air bening mengalir di pipi, perlahan pandika berjalan menuju ke kamarnya Namun kedua orang tuanya melihat dirinya yang baru datang dan pulang.
"Dika." Teriak papahnya dengan suara keras dan kasar.
Mendengar papanya memanggil dirinya, sesaat pandika menghentikan langkah kakinya kemudian menoleh kearah kedua orang tuanya.
"Dari mana aja kamu?" Tanya papa di hadapan dika dengan tatapan tajam.
"Kamu jangan kasar gitu dengan Dika." Ujar Mamah menegur papah dan membela Dika.
"Manjain aja terus mau sampai kapan kamu memanjakan dia?" Tanya papah dengan kesal
"Kamu terlalu menyepelekan hal-hal kecil untuk Dia, pertengkaran kita bermula karena dia, jika dia berusaha untuk mandiri dan dewasa dan kamu tidak selalu memanjakan dirinya, dia tidak akan seperti ini." Sambung papah dengan emosi yang menggebu.
"Kamu selalu melarang dia untuk melakukan pekerjaan yang sepele namun itu membuat dirinya untuk dewasa, kamu selalu mengatur hidupnya bukan seperti raja melainkan seperti ratu yang tidak perlu melakukan sesuatu namun akan mendapatkan yang dia inginkan, sekarang jawab dari mana aja kamu?" Tanya papah yang tidak sanggup untuk menahan emosinya lagi.
"Dari.... dari nongkrong sama temen-temen pah." Jawab dika dengan suara takut.
"Nongkrong? apa nggak ada kerjaan lain selain nongkrong? seperti kamu tidak ada kegiatan lain saja sehingga kamu keluyuran setiap malam." Ucap papah sambil menampar pandika.
" Mas bisa nggak jangan kasar kepada Dika?" Tegur mamah yang mengelus pipi putra semata wayangnya.
"Diam.!" Bentak papah sambil menunjuk mama dengan tatapan yang mengerikan.
"Siapa yang mengajari kamu nongkrong setiap malam?" Kembali papah bertanya dengan emosi.
Hanya diam dan tertunduk yang bisa ia lakukan dan tidak ada sepatah kata yang dapat dikeluarkan pandika untuk menjawab, dengan kepedihan yang sangat menusuk ke dalam hatinya, pandika langsung masuk ke dalam kamarnya tanpa mendengar ucapan dan kata-kata kasar yang dilontarkan oleh papanya, kemudian pandika memutuskan untuk tidur dan beristirahat.
Keesokan harinya pagi yang cerah matahari tidak malu memancarkan cahayanya, manusia di bumi kembali beraktivitas seperti biasa, namun beda halnya dengan pandika yang masih tetap berbaring di tempat tidurnya.
Tiba-tiba papanya datang dengan membawa seember air dan menyiramnya dengan tanpa ada belas kasihan, akan tetapi pandika tidak bereaksi sedikitpun.
"Bangun sudah pagi nih, mau sampai kapan kamu tidur terus?" Tanya papah dengan suara tinggi dan kasar seperti biasanya.
"Mas jangan kasar dengan Dika seperti itu bisa nggak." Ujar mamah seraya mengambil handuk dan mengeringkan air di tubuh Dika.
"Manjain aja terus, mau sampai kapan dia harus manja? yang ada dia akan hanya jadi sampah masyarakat saja." Timpal papah dengan kesal.
"Tapi bukan seperti ini caranya." Ujar mamah yang masih mengeringkan rambut Dika.
Pandika hanya diam di tempat tidur tanpa ada bergeming sedikitpun, kedua orang tua pandika keluar dari kamarnya dengan pertengkaran yang tiada henti nya.
Setelah kedua orang tuanya keluar pandika bangkit dari tempat tidurnya, kemudian bersiap-siap untuk keluar dari rumah mencari suasana yang akan membuat dirinya menjadi lebih baik.
Setelah berpakaian rapi Pandika keluar dari kamarnya dilihatnya suasana yang sepi, senyap, tanpa ada orang di sekeliling rumahnya kemudian ia pergi keluar.
Pandika terus berjalan tanpa ada tujuan dan tidak melihat sekelilingnya sehingga tanpa disengaja pandika menabrak seorang gadis yang sangat anggun di pandangannya.
"Jalan pakai mata." Ujar Dika ketus.
"Loh kok marah? kamu yang nabrak kok malah kamu yang bawel sih?" Tegur gadis tersebut.
"Eh kamu yang salah, jalan nggak pakai mata!." Bentak Dika kembali dengan kesal.
"Udah ukhti, lebih baik kita segera pulang nggak usah ditanggapin orang seperti itu nggak ada untungnya untuk kita." Ujar wanita yang lain.
"Iya fah, kamu ada benarnya lebih baik kita segera pulang." Tuturnya sambil merapikan barang-barang yang terjatuh.
Kedua gadis itu pergi meninggalkan pandika tanpa menoleh kearahnya namun pandangan pandika terus melihat ke arah kedua gadis tersebut, hingga tidak terlihat kembali.
Rasa ingin tahu terhadap kedua gadis yang sangat anggun tersebut, membuat pandika mengikuti gadis itu dari belakang, dari kejauhan dilihatnya kedua gadis tersebut asik ngobrol di depan gerbang sebuah pesantren yang tidak jauh dari pandika berdiri sambil mendengarkan pembicaraan mereka.
"Ulfa, nanti datang ke rumah ya." Pintanya dengan berharap.
"Iya ukhti insya Allah Ulfa akan datang ke rumah." Ulfa menjawab dengan tersenyum.
"Ya baiklah, ayo masuk ukhti sudah nggak sabar untuk bertemu dengan Abi dan umi." Ujar Amira dengan gembira dan tak sabar.
"Iya iya ukhti." Ucap ulfa dengan tersenyum lebar dan mengikuti Amira masuk ke kawasan pesantren.
Ulfa dan Amira bergegas masuk ke dalam pesantren suasana pesantren yang sangat damai membuat kedua wanita tersebut terasa seakan nyaman aman dan tentram berada disana.
Amira berjalan menuju ke rumahnya sedangkan ulfa kembali menuju asrama, namun langkah kaki amira berhenti ketika mendengar seseorang memanggil dirinya, dengan penasaran Amira menoleh ke belakang mencari sumber suara yang telah memanggil dirinya tersebut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
ATAKOTA_
aduh aku jga sering gitu /Chuckle/
2024-08-26
0