MWM Part. 10
“Minum tehnya dulu, mumpung masih hangat. Setelah itu makan lalu minum obat.” Jefry berkata begitu Nisa kembali duduk di sofa. Tangannya sibuk membuka bungkusan kotak makanan. Lalu mengambil sendok, menaruh sendok itu tepat di depan Nisa.
Melihat Nisa dalam penampilannya seperti ini membuat Jefry menyadari satu hal yang luput dari perhatiannya semalam. Mungkin lantaran wajah Nisa dipoles make up sedemikian rupa sehingga wajah lelahnya tersamarkan. Bahkan ia pun baru menyadari tubuh Nisa semakin kurus tak terurus.
Nisa membisu, menatap makanan itu dengan pikiran mengelana. Dalam hatinya ia sedikit kesal dengan jalan hidupnya, mengapa takdir masih mempertemukannya dengan seseorang yang paling menyakiti hatinya sejauh ini? Padahal ia sungguh berharap takkan pernah lagi ia melihat wajah itu bahkan sampai raganya berkalang tanah sekalipun. Apakah memang dunia sesempit ini?
“Nis,” panggil Jefry, meminta wanita itu menuruti perkataannya.
Namun Nisa bergeming. Seolah ia enggan menerima perhatian Jefry. Sampai sejauh ini hatinya baik-baik saja, meski ia bermandikan lumpur nista. Tapi kini, nyeri selalu datang tiba-tiba setiap kali ia melihat wajah Jefry.
Dalam wajah Jefry ada bayang-bayang masa lalunya. Dalam sorot mata Jefry ia melihat bayangan dirinya yang menyedihkan ditinggal mempelai pria masih dalam balutan kebaya pengantin. Betapa mengerikan bayangan itu. Membuatnya trauma untuk mengulang kembali cerita yang sama.
Tak kunjung ada pergerakan dari Nisa, Jefry pun meraih tangan kanan nisa, menaruh sendok ke dalam genggaman tangan itu.
“Apa kamu mau mati kelaparan?” umpat Jefry kesal. Nisa yang kini berada di dekatnya bukanlah Nisa yang dulu lagi. Nisa yang sekarang adalah Nisa yang keras kepala. Nisa yang selalu membuat darahnya mendidih.
“Biarkan saja,” balas Nisa pada akhirnya.
Jefry kaget mendengarnya.
“Biarkan saja aku mati. Memang sudah seharusnya aku mati. Kalaupun aku masih hidup sampai hari ini, itu karena ibuku. Karena dialah satu-satunya alasanku masih ada di dunia ini. Jika ibuku tiada, aku mungkin akan menyusul dia ke sana. Lagipula wanita berdosa seperti aku ini tidak pantas hidup di dunia ini,” sambung Nisa merasa putus asa. Senyum kehampaan terukir tipis di bibirnya.
Ya. Dalam benak Nisa selama ini tak sepantasnya ia masih berada di dunia ini. Ia yang hina dina, ia yang bermandikan noda dan dosa, ia yang kotor dan tak berguna ini untuk apalagi hidup di dunia ini.
Namun, kesakitan ibunya lah yang masih membuat akal sehatnya berpikir untuk menemukan kembali semangat hidupnya, meski jalan yang ia lalui penuh dosa. Setidaknya ia masih punya satu alasan mengapa Tuhan masih memberinya kesempatan hidup setelah berkali-kali pernah mencoba mengakhiri hidupnya.
Jefry meniupkan napasnya kasar. Kaget juga ia sedikit kesal mendengar balasan Nisa akan perkataannya. Padahal ia hanya ingin memberi sedikit perhatian. Tapi mungkin caranya salah.
Tak ada tanda-tanda Nisa akan menyentuh makanan itu, Jefry pun mengambil kembali sendok dari tangan Nisa. Ia berinisiatif menyuapi Nisa kali ini. Mungkin dengan cara ini Nisa tidak akan membangkang lagi.
“Aaa ... buka mulutmu,” pinta Jefry hendak menyuapi Nisa.
Nisa sampai terkejut dengan perlakuan Jefry kali ini. Perlakuan manis Jefry ini menumbuhkan berbagai asumsi dalam kepalanya. Setelah menorehkan luka yang membekas cukup dalam, kini pria itu ingin membasuh luka itu? Bagaimana mungkin bisa luka itu sembuh dalam sekejap hanya dengan perlakuan seperti ini?
“Kalaupun benar kamu ingin mati, setidaknya isi dulu perutmu. Agar cacing-cacing dalam perut kamu itu mendapatkan jatahnya. Jangan jadi zalim pada diri sediri. Menyiksa diri sendiri itu perbuatan yang sia-sia. Memangnya kalau kamu mati, semua dosa-dosamu akan terhapus begitu saja?” ujar Jefry kesal. Kesal lantaran Nisa tak mempertimbangkan dirinya sebagai alasan dia masih berada di dunia ini. Paling tidak untuk balas dendam padanya. Tak mengapa, asalkan Nisa masih memikirkannya.
“Jangan keras kepala. Cepat buka mulutmu,” pinta Jefry sekali lagi dengan tangan masih memegang sendok di depan wajah Nisa.
Namun, bukannya membuka mulutnya, Nisa malah merebut sendok itu dari tangan Jefry lalu lekas menyuapi dirinya sendiri. Tanpa mempedulikan Jefry lagi ia menyantap makanan itu dengan lahap seperti orang rakus. Ia akui ia sungguh sangat kelaparan. Tangannya bahkan sampai gemetaran memegangi sendok.
Menyaksikan pemandangan itu di depan matanya, membuat kedua mata itu terasa panas. Mata itu pun mulai berkaca-kaca. Pemandangan miris itu membuat genangan air mulai menganak sungai di pelupuk matanya. Hati pun perih tersayat-sayat. Hampir saja air mata Jefry tumpah melihat Nisa makan dengan rakusnya, mulutnya penuh dengan makanan sampai kedua pipinya menggembung. Sepintas tampang Nisa terlihat lucu dan menggemaskan, namun memprihatinkan.
“Uhuk ... Uhuk ... Uhuk ...” Saking lahapnya sampai membuat Nisa terbatuk-batuk. Dengan tangannya ia memukul-mukul pelan dadanya.
Sigap Jefry memberikan air minum kepada Nisa. Nisa menerimanya tanpa menoleh sedikit pun. Lekas Nisa meneguk air minum itu sampai menyisakan setengah botol.
“Pelan-pelan makannya, Nis. Kamu bisa tersedak,” kata Jefry memperingatkan sembari mengulurkan tangannya hendak mengelus punggung Nisa.
Namun cepat Nisa menepis tangan Jefry. Ia tak ingin pria itu menyentuhnya.
“Dihabiskan makanannya,” kata Jefry. Sebab dilihatnya masih tersisa sedikit. Mungkin untuk sekali dua kali suap.
“Aku sudah kenyang.”
“Ya sudah, sekarang minum obatnya.”
“Tidak perlu. Aku baik-baik saja. Aku tidak butuh obat.”
“Kenapa kamu keras kepala sekali, Nis?”
“Aku tidak keras kepala. Aku hanya menghindari sesuatu yang bisa merusak tubuhku.”
“Ini vitamin, bagus untuk kesehatan kamu. Vitamin tidak akan merusak tubuhmu. Yang merusak tubuhmu itu justru dirimu sendiri karena menjajakannya kepada sembarang pria.”
Nisa terpukul mendengar kalimat Jefry yang menohok, menyinggung perasaannya, bahkan menyakiti hatinya, perih bagai tertusuk duri.
Nisa mengulum senyum hambar. Jefry terang-terangan menyudutkan dirinya, mengungkap jati dirinya yang sebenarnya. Tak perlu diingatkan, ia pun tahu sehina apa dirinya ini di mata orang-orang. Ia adalah wanita penjaja kenikmatan. Tak peduli bujang ataupun beristri, asalkan berdompet tebal dan royal, ia rela berlutut di bawah kaki mereka demi satu nyawa yang teramat berarti bagi hidupnya.
“Kamu benar. Aku sendiri yang merusak tubuhku dengan membiarkannya menjadi santapan lelaki tak bermoral.” Nisa menghela napas panjang. Ia menyeka sudut matanya yang mulai berair. Kalimat Jefry itu menyadarkannya serendah apa dirinya di mata pria itu.
“Baiklah, tidak apa-apa kalau kamu tidak mau meminum vitamin ini. Dengan cara lain mungkin bisa membuatmu jauh lebih baik.”
“Tidak ada. Tidak ada yang bisa membuatku jauh lebih baik lagi. Kecuali kamu bisa menghapus masa lalu.”
“Kalau begitu berhentilah dari pekerjaanmu.”
“Aku dipecat?” Nisa menoleh, menatap kedua bola mata Jefry. Dalam bola mata itu ia bisa melihat pantulan dirinya.
“Berhenti jadi pelaccur.”
“Kalau aku berhenti, lalu bagaimana dengan ibuku? Biaya hidupku? Sewa kontrakan? Apa kamu bersedia menanggung semua itu?”
“Kalau aku bersedia, bagaimana? Apa kamu juga bisa menghapus masa lalu dari ingatanmu?”
Nisa menggeleng. “Apa kamu pikir semua bisa diselesaikan dengan mudah hanya dengan uang? Kamu salah, Jef. Tidak semua bisa kamu beli dengan uang. Seribu wanita cantik bisa kamu beli, tapi satu wanita yang pernah kecewa dan patah hati tidak akan pernah bisa kamu beli. Uangmu tidak akan mungkin bisa menyambung kembali hatinya yang patah.”
“Siapa bilang tidak bisa. Kamu hanya perlu memberinya kesempatan kedua.”
“Tapi sayang sekali, dalam kamusku tidak pernah ada kesempatan kedua. Karena bagiku, kesempatan kedua itu adalah kebodohan.”
Nisa menghela napas sejenak. Lantas ia bangun dari duduknya.
“Saya ucapkan terima kasih banyak atas bantuan, Pak Jefry. Kalau begitu saya pamit, sekaligus undur diri dari kantor Pak Jefry ini. Maaf sudah merepotkan Bapak. Selamat siang.”Nisa lekas beranjak menuju pintu.
Namun sayang sekali, Jefry lebih gesit darinya. Langkahnya tak lebih cepat dari Jefry yang telah lebih dulu mencapai pintu itu. Lalu ...
Klek
Jefry malah mengunci pintu itu. Membuatnya terkejut dan jantung berdetak kencang ketika Jefry datang mendekat dengan tatapan yang berbeda.
★
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
💞Eli P®!w@nti✍️⃞⃟𝑹𝑨🐼🦋
betul nis,uang tidak bisa membeli segalanya,tapi sebenarnya jefri itu bermaksud baik padamu kok
2024-07-20
1
💞Eli P®!w@nti✍️⃞⃟𝑹𝑨🐼🦋
cie...ehem 🤭🤭
2024-07-20
1
💞Eli P®!w@nti✍️⃞⃟𝑹𝑨🐼🦋
menyayat hati bgt kata2 mu itu nisa 😭
2024-07-20
1