00.04 Sampai Tujuan Utama

...“Dari matalah sebuah masalah tercipta.”...

...***...

Perjalanan telah usai, memperlihatkan semua anak Osis yang tengah mengatur napas serta detak jantung mereka. Dengusan lelah serta suara napas panjang diringi beberapa tawa kecil telah menghangatkan tempat kemah di tengah puncak gunung tersebut. Hawa dingin serta kabut tipis membuat semuanya senantiasa menggosok-gosokkan tangan agar rasa hangat menjalar.

Anya berbeda, di saat semua orang melakukan hal tersebut ia malah memotret pemandangan siang menjelang sore dengan camera miliknya dari ketinggian 1.500 kaki di atas permukaan laut. Senyum simpul terpancar ketika melihat hasil jepretannya yang memuaskan. Di sini Anya merasakan ketenangan udara segar berbeda jauh dari udara ibukota Jakarta yang memiliki banyak polusi.

"Andai Jakarta seasri ini pasti enak banget," lirihnya sambil merentangkan tangan.

"Kalo Jakarta sedingin ini baju kurang bahan gak akan laku, Nya!" Anya melirik ke kanan yang telah didapati Bima.

Bima tersenyum ke arahnya sambil meminum kopi. Setelahnya ia menyodorkan kopi tersebut pada Anya. "Mau kopi?" Anya menggeleng lantas mundur satu langkah alih-alih menjawab pertanyaan Bima Anya justru melirik ke arah belakang yang terdapat teman-temannya sedang membongkar tas dan mengambil tenda.

Anya kembali memandang ke arah Bima. "Aku gak dikasih tenda Kak?" Pertanyaan Anya sukses membuat Bima berhenti meminum kopi.

"Satu tenda sama siapa?" tanya Bima yang membuat Anya mengangkat bahu acuh.

"Coba tanya sama Puji sana!" perintah Bima yang langsung disetujui Anya.

Anya melenggang riang menghampiri Puji yang tengah mengobrol kecil bersama Andrian. Dari kejauhan dapat Bima lihat Anya yang ceria nan lugu, bertingkah kadang lupa malu, tapi lucu. Lagi-lagi perasaan kalut itu muncul membuat pandangan Bima menengadah ke arah jurang yang membentang luas. Deru napasnya amat kencang sebab perasaan yang makin lama makin menjadi kalut. Beberapa kali Bima memegang dadanya berniat menenangkan hati walau nyatanya tak berarti.

Lalu Anya datang di antara Andrian dan Puji tanpa permisi membuat kedua orang itu bersidekap angkuh, sedangkan Anya malah memasang wajah tanpa dosa. Beberapa kali berkedip heran tetap saja Anya tidak mengerti dengan tatapan dua kakak seniornya tersebut.

"Ganggu!" ketus Andrian dengan nada bercanda.

Anya memasang wajah heran. "Kalian kenapa, sih?"

Puji mendengus. "Gak pa-pa cuma becanda doang. Lagian dari mana aja?"

Anya menunjuk tempat yang tadi ia singgahi. "Mengabadikan moment langka di sana."

Puji dan Andrian mengikuti ke mana telunjuk Anya. "Kak Bima?" Anya malah mengangkat bahu acuh kala pertanyaan serentak itu terlontar untuknya.

"Mau tanya. Aku satu tenda sama siapa?"

Puji melirik Anya. "Sama aku aja biar gampang jagain sesuai pesan tante Vanila," ujar Puji seraya tersenyum.

Anya menarik napas panjang dan mengangguk. Puji dan Andrian melenggang lantas Anya melirik ke arah Bima yang masih menikmati kesegaran kota Bogor dari pegunungan. Jika boleh jujur perasaan Anya dilanda gelisah sedari masuk bis, lebih tepatnya saat menerima tatapan aneh dari Bima. Anya juga heran mengapa Bima begitu lekat menatapnya kala itu, padahal tanpa sebab yang jelas.

"ANYA, AYO PASANG TENDA!" teriak Puji dari jarak kurang lebih delapan meter. Anya menoleh dan mengangguk lantas menghampiri.

Dari situ semua mulai memasang tenda sambil mendengarkan nasihat baik dari Bima yang juga tengah memasang tenda. Beberapa kali Bima menunjukkan bagaimana cara memasang tenda dengan benar agar hal buruk tidak terjadi. Kala itu pula Anya dan Puji fokus agar hal buruk jauh dari mereka. Tak lama semuanya selesai dan beristirahat.

Bima datang dan berdiri di tengah-tengah tenda sambil membawa toa. "TEMAN-TEMAN! SEKARANG KITA ISTIRAHAT DULU SAMPAI SORE. NAH, DARI SORE SAMPE JAM SEMBILAN MALAM KITA ADAKAN ACARA. SPESIAL MALAM INI KITA HIBURAN SEBELUM AKHIRNYA BESOK KALIAN DIHADAPKAN SAMA LDK YANG SESUNGGUHNYA. BAIK, TERIMA KASIH SELAMAT BERISTIRAHAT!" teriak Bima yang dibalas, "IYA KAK!" oleh semuanya.

Dari dalam tenda, Anya melihat Bima yang telah masuk ke area tenda laki-laki. Puji menatap Anya yang diam sambil memakan cemilan buatan Vanila. "Gak mau bagi?" Anya menoleh dan menatap heran.

Anya menengadah hingga akhirnya terkekeh. "Maaf lupa tawarin. Padahal tinggal makan aja gak usah sungkan." Anya kembali diam memikirkan Vanila yang sangat khawatir saat dirinya pergi.

"Kak Puji!" Puji mengangguk. "Perasaan seorang ibu itu suka jadi nyata gak?"

Puji menatap heran. "Maksudnya?"

"Kayak melepaskan anaknya pergi dia seperti gak rela gitu. Apa beneran bakal ada sesuatu?" Anya menatap Puji lekat.

Puji menggeleng. "Terkadang kekhawatiran seorang ibu bisa aja terjadi. Sebab, perasaan seorang ibu itu kuat." Puji menoleh ke arah luar kala seseorang menyapanya sedangkan Anya malah diam dan menjatuhkan cemilannya.

Waktu kian bermadah bahwa langit telah mulai temaram menyambut sore yang senyap. Tidak ada detik yang berdenting tidak ada suara gemuruh kendaraan hanya ada serayu jenggala menyapa wajah. Bangku kecil di pinggir jurang telah diisi oleh Anya yang kini tengah memeluk kedua lututnya. Melihat betapa indahnya langit sore dengan senja pekat menawan. Anya menyingkirkan diri dari orang-orang yang tengah sibuk membuat api unggun untuk acara malam ini.

Hingga suara deheman membuat Anya menoleh dan mendengus. Bima ikut duduk di sampingnya dan melakukan hal yang sama, bahkan setelahnya hanya keheningan yang menyelimuti. Seakan-akan perasaan mereka tengah dilanda gundah tanpa sebab yang jelas hingga memilih menikmati langit sore dalam kesunyian.

"Bima—Anya. Kalian malah berduaan di sana gak bantuin kita nyusun kayu bakar!" teriak Andrian menggema.

Anya dan Bima menoleh ke belakang. Anya tersenyum lantas meloncat tanpa permisi untuk melenggang ke arah lain. Sebelum itu Bima sudah lebih dulu berkata, "Makasih udah belajar bertanggung jawab dari kesalahan kecil." Anya diam menelaah ucapan Bima yang dia tidak mengerti.

Anya sempat tersenyum sebelum akhirnya melenggang sempurna dari hadapan Bima. Bima kembali mendengus, entah mengapa sudah tahu jika dia melihat Anya perasaan itu akan tumbuh tetap saja Bima selalu ingin menghampiri hanya sekedar duduk dan diam bersama. Dari tempat itu Bima melihat bagaimana semangat Anya yang berusaha menyusun kayu bakar diiringi tawa cerianya. Spontan Bima ikut tertawa kecil ketika kayu bakar tersebut tak kunjung berbentuk.

Bima akhirnya melenggang bukan untuk ikut bekerja melainkan ke tempat lain yang jauh dari keramaian. Entah mengapa pula dengan Anya yang tiba-tiba diam dan menatap kosong membuat Andrian heran dan melambai-lambaikan tangan di depan wajah Anya.

"Kamu kenapa?" tanya Andrian saat Anya meliriknya.

Wajah Anya merah padam. "Toilet di mana aku kebelet?" ringisnya setengah berteriak.

Andrian melongo sambil menunjuk ke arah barat di mana toilet itu terletak. "Di sana. Turun aja tapi hati-hati!" Tanpa menjawab Anya langsung berlari ngibrit bahkan sesekali bersumpah serapah mengapa harus ada acara kebelet di tengah hutan.

"Mana lagi?" Anya mendengus karena belum menemukan keberadaan toilet tersebut padahal sudah melewati turunan. Kepalanya menengadah kesegala arah sampai tidak sadar dengan keberadaan Bima yang tengah membenarkan sleting celananya.

Anya menabrak. "Akh!" Hingga Akhirnya melirik ke arah Bima namun spontan berteriak, "WAH ULAR GEDE!" teriak Anya yang berlari ngibrit ke arah tenda.

Sedangkan Bima terkejut tanpa sadar ikut berlari dengan kondisi sleting celana terbuka. "MANA ULAR ANYA?!"

Anya bahkan telah sampai di area tenda yang tengah penuh sambil berteriak, "ULAR GEDE BANGET. KAK BIMA!" teriaknya dengan napas terngah-ngah.

Semuanya menatap heran sedangkan Puji mencoba menenangkan dengan raut wajah cengo sampai akhirnya semua melirik ke arah Bima yang juga berteriak sambil berlari. "MANA ULARNYA ANYA?!"

Saat itu pula semua perempuan memalingkan wajah sambil menutupnya menggunakan kedua tangan diringi teriakan jijik. "KAK BIMA ULARNYA GEDE!" Sedangkan para kaum adam menelan ludah susah payah dan barulah Bima sadar akan kondisinya saat ini.

Bima ikut menelan ludah susah dan perlahan melirik ke bawah spontan tanpa aba-aba dia segera menarik sletingnya sekeras mungkin hingga pada akhirnya berteriak, "WOI. ANJIR BURUNG GUE SAKIT!" teriaknya penuh penekanan pilu.

Para kaum adam akhirnya ikut berteriak pilu. "Aww!"

"Tolong," lirih Bima yang telah terlentang tak berdaya.

"KAK BIMA!"

...***...

...Tbc… ...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!