Asti benar-benar canggung dengan keadaan saat ini. Ia bingung harus menjawab apa. Apakah dirinya harus jujur ataukah membiarkan nyonyanya berspekulasi seperti saat ini.
"I, itu saya ada kenalan, nyonya saat ketemu di pasar," elak Asti walaupun masih gelagapan.
"Tapi bener gak malam tadi kamu pegangan tangan sama Tuan?" sambar Andini.
"Ti, tidak, Nyonya. Nyonya salah lihat. Itu tuan bantu saya untuk mengebaskan kecoak yang ada di tangan saya," jelas Asti dengan alasan yang sekiranya masuk akal.
"Aku gak tau kalau rumah ini ada kecoak, Asti. Kalau begitu jangan lupa bersihkan seluruh penjuru rumah ini, agar tidak ada kecoak," ujar Andini yang selesai membuat sarapan untuk dirinya dan meletakkan di atas meja makan lalu pergi meninggalkan area dapur.
"Ba, baik, Nyonya." Asti langsung mengelus dadanya saat Andini pergi.
"Ya ampun, aku hampir jantungan. Kalau ketahuan gimana ya? Aduh gak tau lagi kejadiannya gimana. Pegangan tangan aja begitu, apalagi yang lain. Ih, nyonya serem banget," gerutunya sendiri saat di dapur.
Asti pun mengeluarkan semua sisa makanan yang ada di kulkas dan memanaskannya untuk sarapan. Ia pun melanjutkan mencuci semua perkakas yang kotor. Terkadang seperti saat ini, Asti terbayang dengan perlakuan tuannya itu. Memanjakannya di atas meja, di meja dapur, bahkan di bangku meja makan. Rasanya ia pun rindu dengan apa yang dilakukan oleh suami majikannya. Asti pun meninggalkan dapur, kembali ia bebersih seluruh rumah.
"La la la la," senandung Asti sembari menyapu.
Di saat ia melewati ruang kerja, muncul lagi bayang-bayang tuannya. Mencum-bunya di meja kerja, dan,
"Asti? Sedang apa kamu?" tegur Baskoro yang muncul dari hadapannya.
"Mau bersihin ruang kerja," jawab Asti sembari menggigit bibirnya dan menggoyangkan tubuhnya manja.
Baskoro yang melihat Asti menggigit bibirnya dengan gaya seperti itu merasa aneh. "Ini pelayan kenapa ya? Aneh!" batinnya.
"Oh, kalau begitu silahkan masuk," ujar Baskoro mempersilakan Asti masuk. Ia tetap membuka pintu ruang kerja lebar-lebar.
Asti melangkah masuk, namun baru 2 langkah ia tiba-tiba terhenti. Melihat ruangan yang sangat berantakan dan kertas berserakan di mana-mana.
"Ada apa, Asti?" tanya Baskoro berdiri tepat di belakang Asti.
"Tidak. Hanya saja ruangan ini mengingatkan ku pada sesuatu," jawab Asti memutuskan untuk melangkah maju dan memunguti semua kertas-kertas di lantai.
"Kalau begitu, saya tinggal dulu." Baskoro berlalu begitu saja meninggalkan Asti di ruangan itu sendiri.
Asti menyadari sesuatu. Ada yang berubah mulai dari percakapan hingga sikap yang ditunjukkan oleh Baskoro kepada dirinya. Ia mulai berpikir apakah kejadian ini hanya sementara ataukah memang seterusnya akan seperti ini? Tak terasa Asti yang sedang berkemas itu pun menitikkan air mata.
"Hiks, setelah aku menerimanya bahkan perlakuan yang diberikannya padaku, itu sungguh membuat diriku nyaman dan tidak ingin melewatkan kesempatan yang telah diberikan Tuhan padaku. Tapi sekarang? Sekarang semuanya telah berubah dalam hitungan jam, hiks," gumamnya sendirian.
Ada penyesalan yang mendalam pada diri Asti, namun ia harus kuat dengan apa yang telah terjadi untuk bertahan hidup. Ia terlalu cepat membuat keputusan yang pada akhirnya tak sesuai dengan ekspektasi. Memang ada harapan di mana dirinya bisa mengubah takdir, namun kembali lagi tak sesuai dengan harapan.
Di sisi lain, Baskoro yang meninggalkan Asti seorang diri di ruangan kerja, merasa bersalah. Ia masih tidak ingin memperburuk keadaan dengan Andini. Keterpaksaan yang dilakukan oleh Baskoro juga menyiksa batinnya.
"Sayang, apa kamu tidak ke toko?" tanya Baskoro lembut.
"Pasti. Aku mau bertemu dengan temanku. Oh iya, kamu kenal dengan pria tegas?" tanya Andini tiba-tiba.
"Pria tegas? Apa kamu menemuinya?" tanya balik Baskoro.
"Iya. Maksudku tidak. Kami bertemu di pinggir jalan saat mobil sewaanku mogok. Ya suatu kebetulan," jawab Andini apa adanya. Ia tidak akan mungkin bicara kalau sebenarnya ia bertemu di bar pertama kali.
Baskoro mengingat sesuatu yang terjadi pada masa lalu. Pria tegas merupakan teman rivalnya untuk mendapatkan wanita termasuk Andini. Namun Andini tidak pernah tau kalau dirinya menjadi taruhan kedua orang terkaya di kota besar yang berbeda.
"Aku tanya, apa kamu mengenalnya?" tanya Andini membuyarkan lamunan Baskoro.
"I-iya, maksudku tidak. Hanya sebatas kenal," jawab Baskoro singkat. "Apa kamu sudah tidak marah, sayang?"
tanya Baskoro lagi menatap istrinya.
Andini menyambut tatapan itu, "Tidak. Aku pikir kalian benar-benar tidak ada apapun. Baiklah, aku pergi dulu," ucap Andini menyunggingkan bibirnya ke atas.
"Terima kasih sayang sudah percaya," Baskoro meraih tengkuk Andini dan meng-e-cup kening Andini.
Andini pun melangkah meninggalkan kamarnya, dengan pakaian rapi dan tas kerjanya. Namun ada sesuatu yang menghentikannya.
"Siapa nama Pria Tegas itu?"
"Amir," ujar Baskoro singkat lalu masuk ke dalam kamar mandi.
Andini pun melangkah keluar dari kamarnya lalu menuju ke arah dapur untuk sarapan. Ia melintasi ruang kerja Baskoro yang terbuka lebar. Segera saja Andini mempercepat langkahnya untuk melihat apakah ada orang atau memang sengaja di buka seperti itu.
Saat Andini sudah sampai di ambang pintu, ia melihat Asti di ruangan itu, Suara sesenggukan seperti orang menangis tipis-tipis terdengar di telinga Andini. Ia pun menghampiri Asti yang sedang berjongkok di sana.
Mendekat . . .
Dan,
*Asti? Apa yang kamu lakukan?" tanya Andini yang mengejutkan Asti di sana.
"Huaaa," refleks Asti langsung berteriak dan melempar sesuatu ke bawah lemari.
"Asti. Ini saya. Kamu kenapa sih?" tanya Andini melembut.
"Maaf, Nyonya. Saya hanya terkejut," jawab Asti gelagapan. Batinnya berdoa agar nyonyanya tak bertanya apa yang ia lemparkan tadi.
"Kalau kamu sudah berkemas, jangan lupa kemas juga kamar saya ya." Andini berbalik kembali melangkah ke dapur dan sesuai dengan jadwalnya, dirinya akan pergi ke toko.
Setelah tak terlihat bayangan nyonya nya, Asti mengayunkan kepalan tangannya ke udara, seakan memukul seseorang dengan geram. Air matanya pun runtuh lagi, "hiks, hiks kenapa aku cepat sekali mengambil keputusan? Hiks," gumamnya lagi.
Akhirnya selesai untuk membersihkan ruangan kerja Baskoro. Asti langsung menaiki tangga menuju kamar utama di lantai atas. Ia mengetuk pintu kamar.
Tok, tok,
Baskoro yang telah selesai dari kamar mandi, masih memasang kemeja kantornya, langsung melangkah menuju pintu untuk membukakan pintu. Setelah beberapa detik pintu terbuka.
Ceklek
Baskoro sedikit heran, mengapa Asti ke sini, ke kamarnya.
"Maaf, Nyonya memintaku untuk membersihkan kamar," ucap Asti.
"Oh. Silakan masuk. Sebentar lagi saya selesai," ujar Baskoro canggung.
Sungguh keadaan di sana canggung, tak mengenakkan. Gak seperti biasanya mereka selalu bercengkrama bahkan menimbulkan suara-suara erotis di seluruh penjuru rumah besar itu.
Asti ingin bertanya sesuatu yang mengganjal di hatinya saat ini. Ia merasa tak bisa menerima tanpa penjelasan setelah pertengkaran tadi malam yang ia saksikan. Asti dengan berani mengeluarkan suara untuk memecahkan kecanggungan di antara mereka.
"Tu-tuan," panggil Asti tergagap.
"Ada apa?" jawab Baskoro yang masih sibuk mengikat dasinya.
"Bagaimana dengan,-" tanya Asti menundukkan kepala dilengkapi dengan nada penuh keraguan.
Baskoro pun memalingkan wajahnya ke arah Asti. Menatap pelayannya yang berdiri diri cukup jauh dari dirinya.
Baskoro lalu membuang napasnya dengan kasar, "Asti dengar,"
.
.
.
Tbc
jangan lupa tinggalkan jejak dan terus dukung novel ini, agar author semangat up ya gaes. Yang sudah membaca dan stay dari awal, terima kasih banyak berkah melimpah buat kalian.
Salam 🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments