"Ayah?" teriak Putra terkejut melihat Ayahnya, Baskoro di atas ranjang dengan perempuan lain.
"Asha! Tutup matamu dari pandangan yang tak seno-noh," teriak Putra kemudian memperingatkan istrinya yang berdiri di belakangnya.
Baskoro pun tak kalah terkejutnya saat pintu itu terbuka dan di depan pintu itu berdiri sepasang suami istri dengan ekspresi yang penuh dengan keterkejutan.
"Putra?!"
Seketika, Asti langsung turun dari atas tubuh Baskoro, lalu langsung memunguti daster yang tak jauh dari ranjang. Ia menutupi tubuhnya sembari menunduk malu. Seakan wajah Asti hilang dari tempatnya saat itu.
"Putra?! Apa yang kamu lakukan di sini?" ujar Ayahnya dengan gelagapan.
Bagaimana ia tidak gelagapan, anak sulungnya pulang dan mengetahui hal yang tak seharusnya diketahui orang lain selain dirinya dan kekasih gelapnya. Astaga, pelayannya itu.
"Seharusnya aku yang tanya ayah! Apa yang ayah lakukan dengan-," belum sempat Putra melanjutkan ucapannya, tangannya ditarik oleh istrinya untuk menjauh dari sana.
Baskoro yang melihat itu langsung meraih tubuh Asti dan berkata, "Kamu tenang saja, Baby! Aku pasti ngomong sama dia."
Baskoro pergi setelah memakai kembali pakaiannya menyusul anaknya itu.
"Kamu apa-apaan sih, Sayang? Kamu gak lihat kalau aku lagi ngomong sama ayah? Sia-l banget ayah bisa lakuin ini sama Ibu!" ujar Putra mondar-mandir sembari mengepalkan tangannya.
"Sayang, bukan gitu. Tapi kamu gak lihat apa? Mereka gak pake ba-ju sama sekali. Kamu gak malu liat wanita lain gak pake ba-ju?" tanya Asha ke arah suaminya itu.
"Astaghfirullah!" Putra mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya. "Gimana aku bisa ingat? Aku udah terlanjur emosi dengan semua ini, Sayang. Maaf ya," jawab Putra yang langsung menghampiri istrinya dan memeluknya.
"Putra! Apa-apaan kamu?" suara itu menggema di seluruh ruangan tepat di belakang suami istri yang sedang menenangkan diri.
Putra melepaskan pelukannya. "Ayah! Seharusnya aku yang tanya ayah! Apa-apaan perbuatan ayah ini? Apa selama ini ayah seperti itu di belakang ibu?"
"Jangan kurang ajar kamu!"
"Kurang ajar bagaimana, ayah? Jelas-jelas ayah yang melakukan hal keji itu di rumah ini! Apa ayah kurang puas sama Ibu? Kalau ayah bosan sama ibu, bilang ayah! Bilang!" teriak Putra yang tak dapat membendung emosinya.
"Diam kamu! Siapa yang menyuruhmu meneriaki ayah seperti ini? Siapa yang mengajarimu? Selama kamu nikah sama perempuan ini, adab kamu sudah tidak ada! Hilang, Putra!" ujar Baskoro yang membalas teriakan Putra.
Baskoro masih mengangkat jari telunjuk ke arah Asha, istri dari Putra. "Semua gara-gara dia! Putra kesayangan ayah sampai tidak ada adab sama sekali terhadap orang tuanya sendiri!" Baskoro lalu menatap ke arah Putra, "Ayah ingatkan, jangan pernah mengurusi urusan Ayahmu ini! Paham?!" tegas Baskoro lagi.
Bukan Putra namanya kalau dia tidak bisa mengantongi sejumlah alasan yang benar-benar logis, mengapa ayahnya melakukan hal seperti itu saat ibunya tidak ada.
"Ayah tidak sadar dengan perbuatan ayah ini? Justru aku kasihan sama Ibu! Kasihan sama perempuan itu! Gara-gara ayah, ibu sudah-,"
"Sudah apa, Putra? Sudah tidak bergai-rah lagi? Heh," lanjut Baskoro memastikan ucapan anaknya itu.
Putra hanya mampu menelan saliva yang melewati kerongkongannya. Benar apa kata Ayahnya. Ibu Andini sudah tidak lagi berselera terhadap Baskoro yang seperti itu. Haus akan s-ks dan tergila-gila akan perempuan. Untung saja dia tak tertipu dengan perempuan mainannya yang hanya bisa menguras hartanya.
"Sebab itu, ayah melakukan itu," ujar Baskoro lagi.
"Tapi bukan begitu caranya, Ayah! Bermain di belakang saat ibu tidak ada di rumah! Aku akan memastikan satu hal, apa ibu sudah tau semua ini?"
Baskoro menggelengkan kepalanya memastikan kalau Andini memang tidak tahu menahu soal dirinya.
"Lalu kenapa ayah tidak bicara dengan ibu? Kenapa Ayah melakukan hal itu sembunyi-sembunyi?" tanya Putra lagi dan lagi.
"Ibumu yang tidak pernah ada waktu," jawab Baskoro singkat.
Putra menarik napasnya dalam, "Lalu siapa dia? Perempuan dari mana dia?" tanya Putra lagi sembari mengepalkan tangannya erat.
"Ayah dan ibu yang menemukan dia di jalanan. Dan dia adalah pelayan di rumah ini atas permintaan ibu," jawab Baskoro melemahkan nada suaranya.
"Apa? Oh, astaga! Astaga, aku gak tahu lagi harus bagaimana!" ujar Putra dengan emosi yang langsung mondar-mandir mengetahui hal itu.
"Kenapa? Apa salahnya dia?"
"Salahnya dia adalah pelayanmu sendiri, Ayah! Ayah mem-perkaos* pelayan sendiri dan menjalin hubungan dengannya! Apa itu gak gila?" tanya Putra frustasi.
"Apa salahnya? Banyak majikan yang jatuh cinta kepada pelayannya sendiri. Apalagi dia cantik dan," Baskoro mendekatkan mulutnya ke daun telinga Putra, "mem-muaskan!" ujarnya pelan.
Putra terdiam seribu bahasa. Ia tak tahu harus bicara seperti apa lagi kalau bersama dengan ayahnya. "Aku tidak mau tahu, ayah beritahu hal ini dengan ibu! Jangan pernah memainkan perasaan wanita, Ayah! kalau mau nikahi saja dia!" ujar Putra geram dengan Baskoro.
"Ayo, sayang. kita pulang! Aku udah gak mood berada di sini!" ujar Putra meraih tangan istrinya dan langsung pergi meninggalkan Ayahnya seorang diri di ruang tamu bawah.
"Putra! Tunggu!"
Putra tak ingin menggubris panggilan Baskoro. Ia tetap melenggang ke arah mobil di mana mereka parkir. Setelah mobil ada di garasi, ia langsung tancap gas meninggalkan rumah besar kediaman Baskoro.
Baskoro yang hanya menatap sembari geleng kepala melihat kepergian pasangan suami istri itu. Ia tak tahu di belakangnya, Asti sudah berdiri tepat. Saat berbalik, Baskoro seakan sudah tahu kalau Asti akan muncul di sana.
"Baby?" ia mendatangi Asti. "Maaf, aku lupa mengunci pintunya. Seharusnya hal ini tidak pernah terjadi," ucap Baskoro kembali memeluk pelayannya itu.
Asti pun mulai bersuara. Isak tangisnya pun masih ada. "Anak Anda benar, Tuan. Saya bukan siapa-siapa dan tak layak seperti apa yang anda tawarkan kepada saya. Janji tinggallah janji," ujar Asti yang memberontak untuk dilepaskan dari pelukan Baskoro.
"Baby, bukan begitu. Aku akan bicara semuanya dengan Andini perihal kita. Sebelum itu, bagusnya kita makan dulu ya. Aku tahu kamu capek," ujar Baskoro lagi dengan lembut.
Asti mengangguk lalu berjalan ke arah dapur. Makanan yang ia masak tadi pagi masih utuh. Hanya tinggal panaskan hidangan saja.
Saat duduk berdua, Baskoro lagi-lagi memegang tangan Asti. Meyakinkan perempuan di hadapannya itu bahwa semua ucapannya, janjinya adalah benar. "Baby, kamu percaya saya?"
Asti tak menanggapi. Ia terdiam terpaku di sana. Namun seringaian terbit di bibir Baskoro saat melihat wajah polos Asti. Ia menurunkan tangannya, dan meraih pinggang Asti kembali untuk mendekat kepadanya. Tangannya yang turun itu, perlahan merayap ke bagian belakang, lalu me-re-masnya. Sontak saja Asti Terkejut dengan penuh teriakan.
"Argh,"
Baskoro tetap menatap wajah Asti walaupun Asti enggan melihat Bosnya. Tetap saja Baskoro meraba ke lain tempat. Ia turun-turun sampai ke bagian yang sangat disukainya. Tak disangka, Asti menahan lengan tuannya.
"Cukup, Tuan!"
.
.
.
Bersambung. . .
jangan lupa dukung authornya ya, dengan cara klik subscribe, like, comment, bahkan boleh kirim vote dan hadiah juga ya. Terima kasih!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments