Baskoro yang awalnya terdiam lalu menatap dengan penuh senyuman. "Tidak ada. Sudahlah jangan berpikir yang macam-macam, ok?"
Aku langsung melangkah pergi meninggalkannya yang masih berdiri di belakangku.
"Kamu yakin?" teriakanku yang berada di depan menggema ke seluruh penjuru rumah. Aku membuang pandanganku seolah mencari sesuatu. "Di mana Asti?"
"Aku sangat yakin 100%, Sayang," jawab Baskoro meyakinkan. "Asti akan datang. Mungkin dia lagi sakit perut sehingga dia gak bisa jemput kamu. Mending kita masuk kamar, yah? Ayo, Sayang," ajak Baskoro sehabis meletakkan belanjaannya ke atas meja dapur.
"Kamu ini aneh sekali, sih. Aku pulang bawa makanan. Emang kamu udah makan? Lagian aku suruh Asti gak usah masak loh. Ya kali kita masuk kamar langsung tidur," jawabku cemberut.
"Ya udah, kamu tunggu di sini dulu. Aku panggil Asti."
Baskoro pun langsung berbalik dan melajukan langkahnya ke kamar Asti. Sedangkan Andini hanya bisa menatap dari jauh kepergian suaminya itu.
"Bisa jadi sih, Asti sakit perut. Ya sudahlah," pikirku.
Andini langsung mengeluarkan makanan yang masih terbungkus rapi dari plastiknya. Menata satu per satu, bahkan ia pun menyediakan air putih di meja.
Sementara itu, di kamar Asti.
"Ya Allah, habislah aku ini. Bakalan dimarahin. Mana Nyonya Andini udah balik lagi. Astaghfirullah!" gumam Asti yang masih mondar - mandir memunguti pakaiannya yang masih berserakan.
Tok
Tok
Tok
Terdengar suara pintu di ketuk.
"Iya. . . Sebentar, Nyonya," jawab Asti dari dalam.
"Aduh, celana *alamku di mana sih? Ah tau ah, ambil yang baru aja deh," monolog Asti.
"Ti, Asti. Buka pintunya, Asti," teriak pelan Baskoro.
Namun Asti tak menggubris teriakan pelan Baskoro. Lantas lelaki itu pun mengetuknya kembali agar Asti mau membukanya dengan segera.
"Iya, Nyonya sebentar."
Asti yang buru-buru itu pun meletakkan celana *alamnya di atas kasur lalu cepat-cepat membukakan pintu kamar.
Cekrek
Asti menundukkan kepalanya setelah pintu terbuka. "Maafkan saya, Nyonya. Sebentar lagi saya ke dapur. Saya masih sakit perut, Nyonya," ujarnya pelan.
Baskoro yang melihat Asti sudah memakai pakaian daster berdada rendah itu pun langsung mengingatkan gadis itu. "Hust! Asti, ini Mas."
Mata Baskoro masih jelalatan melihat belahan yang terpampang nyata di depan matanya. Tak menyadari kalau air liurnya ingin menetes.
Asti yang mendengar itu langsung mendongakkan kepalanya dengan cepat. "Mas Baskoro? Ih, apaan matanya gitu banget."
"Habis kamu seksi banget. Aku jadi pengen lagi."
"Astaghfirullah, Mas Baskoro! Jangan gitu," jawab Asti sedikit malu.
"Makanya cepetan dikit. Udah ditunggu tuh, sama istri saya. Saya tunggu di meja makan, ya."
Baskoro langsung berbalik meninggalkan Asti yang menatap kepergian tuan rumahnya dengan aneh. "Ada-ada aja si Tuan."
Kembali ke meja makan.
"Lama banget kamu, Bas. Aku sampe makan duluan. Kelaparan nungguin kamu. Padahal cuma manggil Asti doang. Aku jadi curiga kamu ada main sama dia."
"Ya ampun, Sayang. Gak ada 5 menit loh aku panggil dia. Emang bisa main di bawah 5 menit? Kamu mah mikirnya kejauhan. Ini yang paling jauh dari yang jauh," jawab Baskoro menyela.
"Ya mana tahu, sih. Nah, itu dia," aku lantas menunjuk ke arah Asti yang sedang berjalan di mana aku dan Baskoro duduk.
Asti langsung mempercepat langkahnya untuk mencapai meja makan. "Maaf Nyonya, Tuan, saya terlambat. Perut saya sakit," ujar Asti menundukkan kepalanya. Q
"Udah, udah. Gak usah minta maaf terus. Duduk aja kamu di sini Asti," pinta Baskoro sembari menepuk bangku di sebelahnya. Sedangkan Andini memperhatikan sikap Baskoro.
Asti yang melihat itu mengalihkan pandangannya ke arahku, seolah-olah ia meminta persetujuan dariku. Aku yang menyadari tatapan mata Asti langsung tersenyum.
"Duduk, Asti. Gak papa, kamu di situ aja," ujarku sambil tersenyum.
Dengan segera Asti menarik kursi untuk dia duduki. Tangan Asti masih berada di bawah meja. Ia malu untuk mengangkat tangannya ke atas.
Baskoro yang mengerti, segera melancarkan akal bulusnya. Ia sengaja menjatuhkan sendok agar ia punya alasan untuk menyentuh Asti.
"Gak papa, Asti. Ini makanan untuk kamu. Ambil aja. Makan yang banyak ya, habisin." Aku memberikan sekotak makanan yang sama kepada Asti.
"Baik, Nyonya. Terima kasih banyak." Dengan sungkan Asti mengambil kotak itu, dan membukanya. Baru saja ia ingin makan, ia merasakan ada gelayar aneh di betisnya. Untung saja Asti tidak menjerit. Namun, gerakan mengejutkan itu tak luput dari penglihatanku.
"Ada apa, Asti?" tanyaku khawatir. "Apa makanannya gak enak?" lanjutku lagi.
"Tidak, Nyonya. Justru ini enak sekali makanya saya agak terkejut," jawab Asti sembari mende*sah sedikit.
"Oh, ya udah. Habisin ya. Aku nungguin loh, sambil balas chat sama klienku," ujarku.
Yang dilakukan Baskoro di bawah meja itu berhasil membuat Asti merasa nyaman dengan permainannya. Permainan Baskoro tak diketahui oleh istrinya yang berada tepat di depannya, karena terhalang meja makan yang terbuat dari kayu dan Andini sibuk dengan ponselnya walaupun ia masih menunggu.
Tangan Baskoro yang sudah bergerilya dan sampai di pahanya Asti itu pun perlahan masuk ke pangkal paha, dan bermain di bawah sana. Bukan tak tahu, Asti sudah merasa basah dibuat oleh tuannya sendiri. Asti menurunkan satu tangannya dan mere-mas tangan Baskoro kuat. Merasa tak tahan, Asti kembali merem-as tangan Baskoro dengan sekuat tenaga dan ingin berteriak, namun Andini langsung meletakkan ponselnya di atas meja yang membuat kedua orang di depannya terkejut. Baskoro langsung melepaskan tangannya, dan Asti kembali menaikkan tangannya ke atas meja.
"Bas, aku duluan aja, ya. Kalian nikmatin aja," ujarku menatap ke arah Baskoro. "Kamu juga, Asti. Makan tang banyak. Biar kamu betah di sini. Susah cari orang seperti kamu. Ya udah aku duluan," ujarku bangkit berdiri dan langsung meninggalkan meja makan.
"Iya, Sayang. Jangan tidur duluan, ya," pesan Baskoro yang dapat di dengar oleh Andini dan Asti.
Aku tak menggubris teriakannya. Aku langsung pergi meninggalkan mereka berdua di meja makan. Entah rasanya seperti apa, tapi aku tak bisa menjelaskan perasaanku saat itu.
Selepas Andini pergi, Baskoro langsung berpaling ke arah Asti. Ia tersenyum nakal melihat raut wajah gadis itu. "Gimana? Suka?"
Asti hanya menganggukkan kepalanya pelan sembari menyuapkan makanan ke mulutnya. Ia merasa bersalah sebenarnya dengan tindakan tuannya, namun apa yang dilakukan tuannya itu membuatnya melayang.
"Jangan seperti itu lagi, Tuan. Kalau Nyonya tau bagaimana?" tanya Asti kemudian setelah makanan yang ada di dalam mulutnya habis.
"Kamu takut ketahuan? Kamu gak percaya saya?"
"Bukan begitu, Tuan, tapi bukannya kita harus menghargai Nyonya Andini sebagai istri Tuan? Saya merasa gak enak, Tuan," keluh Asti lagi menundukkan kepalnya.
Baskoro mengangkat tangannya dan meraih wajah Asti. Meminta gadis itu menatap wajahnya dengan yakin. Mata Asti berpaling ke arah lain. Ia tak ingin menatap tuannya itu.
"Asti, lihat saya! Saya serius sama kamu. Tunggu saja nanti, saya akan bilang sama Andini!"
Sementara di kamar atas, kamar Andini dan Baskoro.
"Masa gak ada apa-apa sama Baskoro?" pikirku mondar-mandir. Lalu aku berdiam sejenak sembari membuka semua pakaian yang ada di tubuhku, "liat nanti aja deh. Kalau dia memang gak ada apa-apa, dia gak akan berubah sama aku,"
.
.
.
Bersambung. . .
Silakan memvisualisasikan, ya. Mohon maaf kalau kalian yang baca traveling jauh-jauh, ya dosa tanggung sendiri. 🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
𝐇𝖆𝖗𝖆ラ
ah
2024-01-04
0