Awan telah menggelap ditemani para bintang-bintang. Juga ada bulan yang bulat bersinar walaupun tak seterang matahari di siang hari. Kendaraan beroda empat itu berjalan menyelusuri jalanan yang sepi.
"Kak, kita gak salah jalan, kan?" Diantha merasa khawatir dengan mereka berdua sekarang, takut akan jalanan yang mereka lalui bukan jalan yang menjadi tujuannya.
"Sudah lah diam. Kakak sudah hafal!" ucap Celandine penuh percaya diri. Dia terus melajukan mobilnya tentu dengan feeling-nya yang kuat.
Saat dari kejauhan mulai terlihat bangunan megah yang modern, senyum Diantha mulai merekah. Juga Celandine yang memasang wajah bangga.
"Turun lah di sini. Kita jalan kaki aja."
Celandine memarkirkan mobilnya di pinggir jalan. Dan memilih jalan kaki untuk memasuki rumah megah itu.
Seorang satpam yang sudah hafal dengan wajah mereka langsung membukakan gerbang. Dan beliau menyuruh mereka untuk masuk saja ke dalam.
Tepat di pintu utama sudah ada pelayan yang berjaga. Persis seperti pertama kali mereka ke sini, selalu ada pelayan yang menyambut mereka.
"Kami ingin bertemu dengan Anell. Kami sangat merindukannya," ucap Celandine membuat pelayan tersebut mengangguk paham.
Setelah pelayan menyuguhkan minuman, tak berapa lama Samantha datang. Bukan Anell yang datang melainkan Samantha. Beliau ikut duduk bersama mereka.
"Perjalanan yang melelahkan bukan? Apalagi kamu menyetir sendiri," ujar Samantha yang ternyata mengetahui bahwa Celandine mengendarai mobil sendiri. Padahal mobil mereka tidak terparkir dekat rumahnya.
Celandine dan Diantha langsung saling pandang.
"Sudah malam. Langit semakin gelap. Sebaiknya kalian pulang, lagipula Anell sudah beristirahat sejak tadi. Jika ingin berkunjung, sebaiknya saat siang hari."
"Tapi, kami hanya—"
"Baiklah, Tuan." Celandine langsung memotong ucapan adiknya. Dia menyentuh tangannya dan mengisyaratkan untuk diam.
"Kami permisi. Sampaikan salam kami pada Anell."
Diantha sempat memberontak dan tak mau pulang. Tapi melihat tatapan Samantha yang tak ramah, membuat mereka sedikit takut.
"Kak, kamu merasa ada yang aneh, kan?" Diantha menatap kakaknya dengan seksama. Perlakuan Samantha sangat berbeda saat dulu dan sekarang. Dulu saat mereka berkunjung kemari, beliau sangat ramah dan tersenyum lebar. Tapi sekarang, Samantha seperti mengusir mereka secara halus.
"Itu karna kita tidak sopan. Bertamu malam-malam."
Masih diselimuti perasaan khawatir, mereka terpaksa harus pergi meninggalkan bangunan megah itu tanpa bertemu sedetikpun dengan adik bungsunya.
"Lain kali saja kita datang lagi ke sini," janji Celandine pada adiknya-Diantha.
Perjalanan pulang mereka tentu memakan waktu yang sama lamanya seperti waktu berangkat tadi. Diantha yang kelelahan akhirnya tertidur di dalam mobil. Sedangkan Celandine harus terjaga matanya sampai mereka sampai di rumah.
Betapa terkejutnya saat mobilnya baru memasuki gerbang rumah. Terlihat kedai milik orang tuanya yang berada di sebelah rumah tampak masih menyala lampunya. Padahal malam telah larut, seharusnya kedai itu sudah tutup dari beberapa jam yang lalu.
Sebelum ia turun, tak lupa membangunkan Diantha yang sudah terlelap. Walaupun rasanya tak tega, tapi lebih tidak tega lagi jika adiknya harus tidur di mobilnya yang sempit ini.
"Kakak mau kemana?" Dengan kesadaran yang belum penuh, Diantha melihat kakaknya malah berjalan ke arah yang berbeda.
"Masuk dulu. Dan tidurlah," perintahnya kemudian.
Celandine mempercepat langkahnya menuju kedai karna ia yakin orang tuanya masih ada di dalam sana.
"Celand!" Baru saja dirinya membuka pintu kedai yang terbuat dari kaca itu, ayahnya sudah berdiri tegak menatapnya dengan tajam.
Tapi perhatiannya langsung tertuju pada kursi-kursi, meja-meja dan juga hiasan yang ada di dalam kedai yang hancur berantakan. Ada yang patah, robek dan tak beraturan.
"Kenapa ini—"
"Kau tanya kenapa!!!!!!!!!!!!" Ayah John hampir saja melayangkan pukulan pada putrinya tapi dengan cepat dicegah oleh istrinya-Raissa. Raissa tiba-tiba datang dengan mata sembab.
Celand langsung mundur ketakutan. Diantara bingung dan ketakutan. Di sisi lain bingung dengan keadaan kedai yang tiba-tiba hancur dan juga ketakutan dengan ayahnya yang tiba-tiba murka.
"Celand, kamu pergi mendatangi adikmu-Anell? Kenapa kau kesana tanpa memberitahu kami? Bukankah kamu acuh terhadap adik bungsu mu? Kenapa kamu malah nekat kesana?"
Dia masih terdiam, bingung dengan perkataan yang keluar dari mulut ibunya.
"Jangan ganggu adikmu. Jangan ganggu keluarga Samantha. Keluarga mereka sangat berbahaya," ujar ibunya lagi.
"Jadi, ini semua ulah dari keluarga Samantha? Mereka menghancur—"
"Diam, Celand!!!!" John masih tak bisa membunyikan kemurkaannya. Ia menatap putri sulungnya dan lama kelamaan matanya meredup. John hampir terjatuh dan langsung Raissa menopangnya lalu mendudukkannya di kursi.
***
Jam dinding menunjukkan pukul 10 malam. Hari-hari Anell sangat lah menjenuhkan. Statusnya yang katanya seorang istri nyatanya tidak selayaknya sebagai istri. Bahkan apa pun yang dibutuhkan dan diperlukan suaminya telah pelayan semua berikan.
Malam-malam dingin pun tak pernah sekalipun Arsen menyentuh ranjangnya ini. Ia hanya tidur sendirian di sini. Entah di ruangan itu ada sebuah kasur atau tidak, ia tak tahu.
Ada perasaan masih penasaran seperti sejak awal masuk ke sini, tapi tentu saja ada rasa takut juga.
"Ahhh, sebentar doang. Lagipula hanya ruangan biasa bukan? Ruangan melukis." Dengan tekad yang kuat, Anell membuka pintu ruangan itu dengan hati-hati. Kini ia tak lagi terkejut melihat lukisan di hadapannya, ia bahkan menjulurkan lidahnya seperti mengejek pada lukisan tersebut.
Saat memasuki ruangan itu ternyata ada sebuah lorong panjang. Ia berjalan sangat pelan, berusaha tidak mengeluarkan suara sedikitpun.
Tepat pada ruangan dengan cahaya yang redup, ia menemukan banyak lukisan-lukisan di sana. Ada lukisan bunga, pegunungan, pepohonan dan juga lukisan abstrak tapi berbentuk wajah seseorang yang dicoret-coret.
"Aneh."
Ruangan melukisnya ternyata tidak begitu luas, hanya sepertiga dari ruangan kamarnya. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan, tapi tak ia temukan sosok suaminya yang menyeramkan.
"Dimana dia? Apa dia sudah keluar kamar?"
Setahunya Arsen belum keluar ruangan sejak sore tadi, lalu sekarang ia berada di mana?
"Ya ampun!" Saat ia berjalan menuju jendela ternyata Arsen tertidur di sebuah kursi kayu panjang. Tubuhnya tertutup oleh gorden dari jendela tersebut.
"Di sini rupanya."
Ia menyibakkan gorden itu yang menutupi hampir seluruh badannya. Karna cahaya lampu yang redup membuat pandangannya terbatas.
"Apa tidak sakit tidur di kursi kayu seperti ini?"
Ia sempat bergidik ngeri saat tak sengaja membuat wajahnya tak tertutupi oleh rambut panjangnya. Terlihat jelas bekas luka bakarnya yang menjijikan itu.
"Ya Tuhan. Aku tidak menghina. Sumpah. Hanya saja itu terlihat sangat menggelikan."
Saat memandangi suaminya yang terlelap ada rasa kasian terhadapnya.
"Hidupnya pasti kesepian. Seperti kata pelayan, dia tak mau bergabung dengan saudaranya yang lain. Dia memilih mengasingkan diri."
Dengan penuh kehati-hatian Anell menyelimuti tubuh suaminya dengan sebuah selimut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
Tati st🍒🍒🍒
masih misteri sebenernya apa dan kenapa sih keluarga samantha kok kejam
2024-09-07
1
L i l y ⁿʲᵘˢ⋆⃝🌈💦
Dari kasihan, iba akan timbul rasa ❤
2024-01-11
1
Yunia Afida
semangat terus 💪💪💪💪
2024-01-09
1