Aurasia terkejut oleh perlakuan yang begitu cepat dan tak terduga dari anak laki-laki tersebut. Tangan anak laki-laki itu memegang erat dagu Aurasia, dan matanya menatap manik emas gadis itu. Aurasia pun membeku, tak mampu mengalihkan pandangan dari mata anak laki-laki itu. Ia seperti melihat bulan purnama bercahaya dalam mata anak laki-laki itu, cahayanya begitu memukau. Seakan bulan purnama yang baru saja tampak di langit telah berpindah ke mata sang anak laki-laki.
"Akhh!"
Tiba-tiba, terdengar rintihan kesakitan dari bibir anak laki-laki itu.
"Eh? Apa yang terjadi?" ujar Aurasia heran, seolah terbangun dari lamunan panjang.
Sejak kapan matanya terluka? Gadis kecil berambut frost itu bingung saat melihat tangan anak laki-laki itu menutup kedua matanya, dan darah mengalir dari balik telapak tangannya.
"Kenapa tiba-tiba-" kata-kata Aurasia terhenti, ia tersentak ketika tubuh anak laki-laki itu ambruk dan kehilangan kesadaran.
"Hei, bangunlah!" seru Aurasia sambil lembut menepuk pipi si anak laki-laki. Jari telunjuknya berhenti di depan lubang hidungnya, "Syukurlah, napasnya masih terasa," ujar gadis kecil itu dengan menghela napas lega.
Aurasia mengalihkan perhatiannya dari keadaan tak sadar sang anak laki-laki, fokusnya tertuju pada luka tusukan di perutnya. Dengan penuh harapan, kedua telapak tangannya ditempatkan di atas luka itu. Gadis kecil itu berdoa agar cahaya hijau Lux Sanatus kembali bersinar.
Sebuah helaan napas lega keluar dari Aurasia saat cahaya hijau itu kembali mengalir dari telapak tangannya. Mata emasnya berkilau, memancarkan kekaguman pada dunia fantasi yang dihadapinya. Luka tusukan itu perlahan menyusut dan lenyap tanpa meninggalkan bekas. "Ini sungguh ajaib," bisiknya dengan penuh kekaguman.
Lukanya sudah pulih, tetapi mengapa kesadarannya belum kembali? batinnya penuh kebingungan.
Apakah ada kaitannya dengan luka di matanya? Gadis kecil itu meletakkan lembut tangannya di atas kelopak mata sang anak laki-laki, memanggil kekuatan penyembuhannya kembali.
Mengapa ia tak kunjung sadar? bingungnya lagi, ia merasa sudah menyembuhkan anak laki-laki itu hingga tidak ada luka sedikitpun pada tubuhnya.
Sepertinya ini bukan pingsan biasa. Aurasia mencoba menebak, memandang wajah anak laki-laki itu dengan perasaan khawatir.
Dengan lembut, gadis kecil itu membersihkan darah di wajah anak laki-laki menggunakan gaunnya. Setelah aku perhatikan, tak ada luka di wajah maupun matanya. Mungkinkah dia menangis darah? Aurasia berpikir, ekspresinya campur aduk antara asal bicara dan kekhawatiran yang mendalam.
Aurasia mengambil pita rambutnya yang tergeletak di tanah. Dengan tangan kecilnya, ia mengikatkan pita itu di kepala sang anak laki-laki, dengan penuh kehati-hatian menutupi matanya. Dengan penuh kelembutan, gadis kecil bermanik emas itu melanjutkan dengan menata kembali blouse putih pada tubuh anak laki-laki itu.
Dengan penuh kepedulian, Aurasia mengangkat lengan sang anak laki-laki, memapah tubuhnya dengan lembut. Langkah gadis kecil itu mantap, membawa beban yang tak sadar dalam pelukannya. Meskipun tanpa arah yang pasti, dia terus berjalan, membawa harapan dan kehangatan dalam langkah-langkahnya yang tidak tergesa.
...♡♡♡♡♡...
Setelah berjalan cukup lama, Aurasia akhirnya memutuskan untuk berhenti. Rasanya seperti ia hanya berkeliling di jalanan yang sama sejak tadi. Suasana hutan pun semakin larut dalam kegelapan, dengan bulan yang sebelumnya menerangi perjalanannya kini tersembunyi di balik awan.
Dalam hening, Aurasia menghela napas, matanya memandang lembut anak laki-laki berambut hitam legam yang masih dipapahnya. "Apa yang seharusnya kita lakukan sekarang?" tanya gadis kecil itu dengan lemah, ekspresinya mulai dipenuhi keputusasaan. Cahaya di mata emasnya pun semakin redup.
"Aku harus kembali dengan cepat untuk menyembuhkan bibiku," lanjut Aurasia, mengganti keputusan sebelumnya untuk tidak memanggil neneknya, dan segera pulang ke Istana Spirit.
Gadis bermata emas itu bersyukur datang ke tempat ini, yang membuatnya bisa membangkitkan kekuatan Lux Sanatus-nya. Namun, kegelisahan dan ketakutan menyelip dalam pikirannya, khawatir tak bisa kembali ke Istana Spirit tepat waktu. Kekuatan yang dimilikinya menjadi hampa jika Bettie tidak bisa disembuhkan.
Langkah kecil Aurasia terasa rapuh. Genggaman tangannya pada anak laki-laki itu mulai melemah. Aurasia sudah tak mampu lagi untuk berdiri. Lelah dan keletihan menguasainya. Kelopak matanya perlahan menutup, menyembunyikan separuh mata emasnya. Tangan kecilnya melepaskan tubuh anak laki-laki itu saat tubuhnya merosot perlahan ke tanah.
Mata Aurasia kembali terbuka lebar saat tangan kekar menangkap tubuhnya, mencegahnya terjatuh ke tanah. Melirik ke arah pemilik tangan itu, Aurasia mendapati Alfonso berada di sana. Tidak hanya Aurasia, tapi Alfonso juga menangkap tubuh anak laki-laki yang tak sadarkan diri.
Aurasia menghela napas lega, merasa kekhawatirannya sebagian hilang melihat sosok Alfonso.
"Anda baik-baik saja, Yang Mulia?" tanya pria berambut coklat kemerahan itu, hatinya dipenuhi kepedulian, sambil dengan lembut menurunkan tubuh anak laki-laki itu ke tanah.
"Iya, aku baik-baik saja, Paman," jawab Aurasia sambil segera memeluk tubuh Alfonso. Pria itu pun membalas pelukannya, mengelus lembut kepala gadis kecil itu dalam kehangatan perlindungan.
Aurasia melepaskan pelukannya. "Paman, kita harus segera kembali ke Istana Spirit," ajak gadis kecil itu dengan penuh urgensi.
"Lalu bagaimana dengan Kepala Panti?" tanya Alfonso, sedikit kebingungan karena Aurasia tiba-tiba mengubah rencana pergi ke Desa Nefeloma untuk menjemput Kepala Panti.
"Kita harus segera menyembuhkan Bibi Bettie, Paman. Waktu kita terbatas, kita tidak punya kesempatan untuk menjemput nenek," jelas gadis kecil bermanik itu.
"Tapi bagaimana caranya, Yang Mulia? Bukankah Anda mengatakan bahwa penyakit yang diderita Bettie tak memiliki obat?" tanya Alfonso, semakin bingung.
"Dengan ini, Paman." Aurasia membuka kedua telapak tangannya, memancarkan cahaya hijau lembut dari sana. Cahaya itu menjadi harapan, terang di tengah kegelapan, membawa keajaiban penyembuhan.
Mata Alfonso membelalak dan mulutnya terbuka lebar, terpesona oleh keajaiban yang sudah lama tidak ia saksikan.
Tersenyum lembut, Alfonso berkata, "Selamat, Yang Mulia, akhirnya Anda dapat membangkitkan kekuatan Lux Sanatus." Alfonso teringat akan masa lalunya yang pernah terluka dan disembuhkan oleh kekuatan itu, yang diberikan oleh Nyonya Yoshiko, ibu dari Aurasia.
Aurasia membalas senyuman Alfonso sambil menurunkan tangannya.
"Namun, bagaimana ini mungkin? Apakah kekuatan itu muncul dalam situasi seperti ini?" tanya Alfonso masih takjub.
"Hmm, aku juga tidak yakin, Paman. Kekuatan ini muncul secara tiba-tiba saat aku hendak menolong anak ini," jawab Aurasia, sambil melempar pandangan singkat ke arah anak laki-laki berambut hitam legam itu.
"Anak ini?" Alfonso juga melirik ke arah anak laki-laki tersebut.
"Iya, dia yang telah menyelamatkanku dari serombongan bandit tadi," jelas Aurasia, mengingat bagaimana anak itu dengan cepat menariknya menjauh dari para pria bersenjata yang ia kira sebagai bandit.
"Ya Tuhan, Yang Mulia, itu sangat berbahaya. Syukurlah Anda selamat," ucap Alfonso dengan rasa khawatir, sambil menggenggam kedua tangan kecil Aurasia.
"Iya, Paman. Sekarang kita harus segera kembali ke Istana Spirit," ajak gadis kecil itu, merasa cemas akan keterlambatan.
"Tapi bagaimana dengan anak ini?" lanjut Alfonso, menunjukkan kekhawatirannya.
"Kita tidak bisa meninggalkannya di sini sendirian, Paman. Kita harus membawanya bersama kita."
...♡♡♡♡♡...
Pembaca tersayang, kami sangat menghargai dukungan kalian. Yuk, like, subscribe, berikan gift, vote, dan tinggalkan komentar kalian!
Jika ada pesan khusus untuk para tokoh, boleh loh share di sini.
Oh iya, jangan lupa untuk follow Instagram kami @indah__laa agar tetap terhubung dan mendapatkan informasi terbaru. Ayo kita jadi komunitas yang lebih erat! 🌟
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments