"Bibi, kumohon, bangunlah." Putri kecil itu benar-benar khawatir hingga ia berkeringat dingin.
"A-aku akan membuatkan teh hangat," ujar gadis kecil itu, berusaha mengusir rasa takutnya dengan kegiatan. Aurasia melangkah keluar dari kamar Bettie, kaki kecilnya menuju dapur dengan cepat namun penuh kehati-hatian.
Beberapa saat kemudian, Aurasia kembali dengan sebuah nampan yang memuat segelas teh hangat. Ia membawa nampan itu dengan penuh perhatian menuju kamar Bettie.
Di ambang pintu kamar Bettie, gadis kecil bermata emas itu terdiam sejenak. "Bodohnya, aku," gumam Aurasia, menyesali tindakannya. Ia lupa bahwa Bettie tak sadarkan diri, membuat teh hangat tak memiliki arti jika Bettie tak bisa meminumnya.
"Ah, sekarang aku harus bagaimana? Aku bahkan tidak tahu apa penyakit yang dialami Bibi Bettie," ucap Aurasia dengan gelisah, pikirannya terasa buntu.
Pada novel juga tidak dijelaskan Bibi Bettie menderita penyakit apa. Ia meninggal begitu saja seakan itu adalah takdir dari penulis untuk kepentingan alur cerita. Meskipun ia adalah tokoh figuran, ini sungguh tidak adil! batinnya seraya mengingat kembali isi novel.
Aurasia menghela napas panjang. Tubuh gadis kecil berambut frost itu mulai terasa lemas karena keadaan. Ia meletakkan nampan dengan teh hangat itu di atas meja nakas. Kemudian, gadis kecil itu naik ke atas kasur, duduk di samping Bibinya. Tangan kanannya memegang tangan Bettie, sementara tangan kirinya mengelus lembut kepala Bettie.
"Bibi, maafkan aku," ujar Aurasia dengan suara bergetar. Kristal-kristal bening mulai mengisi pelupuk matanya.
"Aku pikir semuanya akan baik-baik saja. Karena aku yang tahu alur cerita ini berada di sisimu."
"Tetapi pada kenyataannya, aku hanyalah anak yang tidak berguna."
"Aku di kehidupan nyata dan di dunia novel ini tidak ada bedanya. Aku hanya seorang anak yang selalu dimanjakan oleh pengasuhnya."
"Maafkan aku karena telah menjadi beban bagimu, Bibi." Aurasia tidak dapat membendung air matanya lagi. Sungai kecil pun mengalir di pipi tirusnya.
Aurasia memeluk tubuh Bettie. Gadis kecil itu menangis terisak-isak di atas tubuh Bibinya yang begitu dingin. Ku mohon, Bibi, jangan tinggalkan aku. Hanya kamu satu-satunya yang benar-benar aku miliki di dunia ini.
...♡♡♡♡♡...
Aurasia melepaskan pelukannya dari Bettie yang masih belum sadarkan diri. Setelah menangis cukup lama, tangan kecil gadis itu menepis air mata yang membasahi wajahnya. Aurasia melirik ke arah jam bandul dinding yang hampir menunjukkan pukul dua belas siang.
Aku tidak bisa begini terus. Aku tidak bisa membiarkan Bibi Bettie pergi begitu saja, batinnya dengan tekat. Gadis kecil berambut frost itu turun dari kasur dan melangkah keluar dari kamar Bettie.
Aurasia memutuskan mencari bantuan di luar tembok Istana Spirit. Dengan tekad bulat, ia berencana memohon bantuan dari orang-orang Istana Kekaisaran Iresical yang lain. Meskipun di dalam novel menuturkan bahwa Keluarga Kekaisaran dan para pelayan tidak ada yang mau menerima keberadaan Putri Aurasia, ia harus tetap mencobanya. Ini semua demi keberlangsungan hidup Bettie.
Berdiri di hadapan pintu utama Istana Spirit, tangan mungil Aurasia bergerak menuju gagang pintu emas campuran itu. Namun, gadis kecil berambut frost itu tersentak mundur begitu pintu itu terbuka sebelum ia sempat meraih gagangnya.
"Abel?" seru Aurasia, begitu ia melihat sosok pria paruh baya itu berada di ambang pintu.
"Abel, tolonglah! Bettie sedang sakit. Aku bingung harus berbuat apa," seru Aurasia dengan cepat dan penuh ketidakpastian.
"Jangan khawatir, Yang Mulia. Saya akan melakukan segala yang Anda perintahkan. Mari kita periksa keadaan Bettie terlebih dahulu," jawab Abel dengan ekspresi tenang.
Kedatangan Abel membawa sedikit kelegaan bagi Aurasia. Akhirnya, ada sosok orang dewasa yang bersedia membantunya. Dalam perjalanan menuju kamar Bettie, Aurasia dengan hati-hati menceritakan keadaan yang dialami Bettie pada Abel.
Abel mendengarkan tanpa menyela, hanya menatap ke depan dengan wajah tanpa ekspresi. Aurasia sedikit merasa janggal dengan tatapan Abel yang sulit dijelaskan. Aku tidak boleh berpikir buruk tentang Abel. Dari dulu dia memang orang yang cukup dingin, batin Aurasia, berusaha untuk berpikir positif.
Setibanya di kamar Bettie, Abel dengan teliti memeriksa keadaannya, memeriksa denyut nadi dan mengamati ruam yang melingkupi kakinya.
Mata Aurasia melebar. Sejak kapan kaki Bibi jadi seperti ini? Terakhir kali aku memeriksanya, tidak begini, batin gadis kecil bermanik emas itu, penuh keheranan.
Apakah Abel memiliki pengetahuan khusus tentang penyakit Bettie? Mungkinkah dia mantan dokter? pikirannya dipenuhi kebingungan, karena Abel sepertinya mengenal betul penyakit Bettie.
"Saya akan memanggil dokter istana, Yang Mulia." Abel pun membungkuk hormat pada Aurasia sebelum akhirnya ia melangkah meninggalkan kamar Bettie.
"Cepatlah kembali, Abel," pesan Aurasia penuh harap. Aurasia duduk di kursi sebelah kasur Bettie, mengelus lembut kepala Bibi yang terbaring, menantikan kepulangan Abel dan kedatangan dokter dengan sabar.
...♡♡♡♡♡...
Aurasia mulai merasa gelisah, kekhawatiran, ketakutan, dan amarah meluap dalam dirinya. Semua perasaan itu bercampur aduk di dalam hatinya. Sudah empat jam lamanya ia menunggu kedatangan Abel yang dikatanya akan memanggil dokter. Namun, pria paruh baya itu tak kunjung kembali. Gadis kecil itu bahkan bolak-balik berkali-kali untuk memantau kedatangan mereka dari pintu utama istana hingga ke kamar Bettie yang terletak lumayan jauh.
Aurasia menghela napas lega ketika akhirnya ia menangkap kehadiran Kepala Pelayan dan Dokter Alice yang tengah melangkah menuju pintu Istana Spirit. Begitu tiba di sana, mereka langsung menuju kamar Bettie.
"Di dalam tubuh Bettie terdapat semacam racun," ujar Dokter Alice begitu ia selesai memeriksa Bettie.
"Bagaimana bisa ada racun di dalam tubuh Bibi?" Aurasia merasa sangat bingung dengan kejadian ini. "Apakah Anda bisa menyembuhkan Bibi, Alice?" tanyanya penuh harap.
"Mohon maaf, Yang Mulia. Racun di dalam tubuh Bettie adalah jenis yang tidak saya kenal. Ini pertama kalinya saya menghadapi situasi seperti ini," ungkap Alice.
Perasaan Aurasia kembali tidak tenang. "Lalu, apa yang harus kita lakukan untuk menyembuhkan Bibi?" tanya gadis kecil bermanik emas itu serius, mencari kepastian.
"Tidak ada, Yang Mulia. Kita hanya bisa menunggu waktu sampai Bettie menghembuskan napas terakhirnya. Sekiranya dua hari lagi ia bisa bertahan," sahut Alice dengan ekspresi datar.
Seakan sebuah beban tumpul yang sangat berat menghantam dada Aurasia ketika mendengar jawaban tersebut. Sesak dan rasa sakit menyelinap begitu dalam.
Mata gadis itu mulai berkaca-kaca. "Alice, pasti ada solusinya, bukan? Bibi Bettie tidak boleh berakhir seperti ini! Aku yakin pasti ada jalan keluar. Tolong, Alice! Lakukan sesuatu! Bantu aku menyelamatkan Bibi Bettie!" pinta Aurasia, tak mampu lagi menahan tangisannya. Kakinya yang terasa lemas membuatnya terduduk. Aurasia meraih tangan Alice dan memohon kepada dokter itu untuk memberikan pertolongan.
"Maafkan saya, Yang Mulia. Saya tidak memiliki kemampuan untuk mengubah takdir," ucap Alice, melepaskan tangan Aurasia tanpa rasa belas kasihan.
...♡♡♡♡♡...
Pembaca tersayang, kami sangat menghargai dukungan kalian. Yuk, like, subscribe, berikan gift, vote, dan tinggalkan komentar kalian!
Jika ada pesan khusus untuk para tokoh, boleh loh share di sini.
Oh iya, jangan lupa untuk follow Instagram kami @indah__laa agar tetap terhubung dan mendapatkan informasi terbaru. Ayo kita jadi komunitas yang lebih erat! 🌟
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments
Witaa
abel dari kemarin sus bgt yah
2024-02-23
2
Witaa
huaa pingin peyuk aura
2024-02-23
1