"Semoga kita bisa berteman baik," ujar Aurasia seraya tersenyum tipis, tidak terlalu menanggapi balasan anak-anak itu.
"Berteman baik denganmu?" Lussy menaikkan satu alisnya.
"Sepertinya kau bukan orang barat, maupun orang utara," ujar Jack, melihat vitur wajah Aurasia yang berbeda dengan orang-orang Iresical lainnya. "Kau bukan penduduk asli Iresical, kan?" tebak Jack melanjutkan dengan wajah serius.
"Aku adalah penduduk asli Iresical. Aku lahir di Iresical dan juga besar di Iresical," jelas Aurasia dengan tenang.
"Lalu, kenapa warna rambut dan ciri wajahmu berbeda dengan orang Iresical?" sahut Jack, masih tidak percaya dengan ucapan Aurasia.
"Ibuku... warga Lanceena," jawab Aurasia, tanpa ekspresi.
"Warga Lanceena? Bukankah itu kerajaan asal Nyonya Yoshiko?" sahut Jack seraya mengangkat satu alisnya. Beberapa pasang mata dari anak-anak lainnya mulai tertuju pada ketiga anak kecil itu, mengamati, dan mendengar pembicaraan mereka.
"Kau tidak boleh main bersama kami. Karena tidak ada seorangpun yang tahu, apa yang akan dilakukan oleh orang-orang Lanceena itu!" seru Lussy dengan tatapan dingin dan menggeser kursinya menjauh dari Aurasia.
"Apa maksudmu berbicara seperti itu?" tanya Aurasia, dengan tatapan tajam. Emosinya sedikit terpancing oleh anak-anak itu.
"Kau benar-benar tidak tahu? Apa yang telah Nyonya Yoshiko lakukan pada Permaisuri Iresical sebelumnya, Permaisuri Ophelia?" ujar Lussy, dengan nada yang tinggi. Alisnya mengkerut, memandang gadis kecil berambut frost itu dengan sinis.
"Dia membunuhnya," lanjut Lussy, dengan menekankan kata-katanya.
"Kalian," Aurasia menggantung ucapannya dan menatap satu persatu pasang mata Lussy dan Jack, serta memandang sebentar anak-anak lain yang memperhatikan pembicaraan mereka.
"Kalian tidak boleh bicara sembarangan mengenai keluarga Kekaisaran. Hanya keluarga Kekaisaran yang tahu asli kebenarannya," ujar Aurasia seraya mengepal kuat kedua tangannya. "Apa lagi yang kalian bicarakan itu adalah hal yang sangat sensitif bagi keluarga Kekaisaran Iresical!" lanjut Aurasia dengan tegas, membuat anak-anak disekitarnya bergidik ngeri dan menelan ludah mereka.
"Dan tidak semua orang itu sama. Tidak semua orang Lanceena itu membunuh," tambah Aurasia dengan tegas. "Kalian juga tidak boleh sembarangan berbicara tentang Nyonya Yoshiko. Ini bukan sekedar gosip, tapi selama masa hidupnya, Nyonya Yoshiko telah banyak melakukan kebaikan dan mengabdi pada rakyat Iresical," ungkap Aurasia, ekspresinya mencerminkan pertarungan batin antara keinginan untuk tetap tenang dan amarah yang ingin meledak.
Meskipun dalam novel diceritakan bahwa Yoshiko melakukan kebaikan-kebaikan ini semua demi mengambil muka di depan Kaisar, setidaknya maksud tersendirinya itu menguntungkan rakyat.
"Permaisuri Rosemary bahkan memperlakukan rakyat lebih baik. Jadi tidak ada alasan untuk kami berterima kasih pada Nyonya Yoshiko," balas Jack, tidak mau kalah, seraya membusungkan dadanya.
"Tentu saja Permaisuri Rosemary memperlakukan rakyat dengan baik, karena beliau adalah Permaisuri negeri ini. Sementara Nyonya Yoshiko, beliau hanya seorang selir yang seharusnya melayani Kaisar saja. Namun, tidak demikian, beliau juga melayani rakyat Iresical dengan tulus," jelas Aurasia lagi, berusaha membuat anak-anak itu mengerti.
Belum sampai 24 jam aku di sini, aku sudah bicara panjang lebar. Kenapa juga anak-anak seumuran mereka sudah mengerti tentang politik seperti ini, batin Aurasia dan ia menghela napas lagi dan lagi.
"Jadi sekarang, berhentilah berbicara hal-hal yang tidak baik tentang Nyonya Yoshiko dan orang-orang Lanceena!" seru Aurasia dengan tegas. Putri kecil itu merasa jengkel ketika Yoshiko dibicarakan tidak baik seperti itu.
Meskipun Yoshiko adalah salah satu tokoh antagonis dalam novel, tetap saja di sini ia adalah ibuku. Tidak peduli dengan apa yang dilakukannya di masa lalu, aku akan selalu berada dipihak orang-orangku.
"Dan jika kalian tidak ingin bermain bersamaku, ya... terserah saja," lanjut Aurasia, dengan tatapan tajam, sebelum akhirnya ia berdiri dari kursinya, tak lupa ia mengambil piring bekas sarapannya, dan pergi dari ruang makan.
Seorang anak perempuan dengan rambut berwarna golden brown, yang memperhatikan percakapan mereka sedari tadi, mengikuti Aurasia ke dapur. Setibanya di dapur, dilihatnya gadis kecil berambut frost yang sedang membersihkan piring bekasnya tadi di tempat pencucian.
"Halo, namamu Aura, kan?" sapa anak perempuan itu menyentuh pundak Aurasia, sontak Aurasia pun langsung menoleh padanya. "Jangan terlalu dibawa hati dengan sikap kakak-kakak tadi," ujar anak perempuan itu melanjutkan sambil tersenyum.
Aurasia mendengus pelan. Kakak-kakak? batinnya seraya mengangkat satu sudut bibirnya, ia merasa konyol mendengar ucapan anak perempuan itu pada anak-anak kecil tadi.
"Tenang saja, aku sama sekali tidak memikirkan ucapan anak-anak itu," sahut Aurasia, dengan mengangkat kedua sudut bibirnya hingga membentuk senyuman simpul. "Terima kasih sudah peduli padaku," ujarnya melanjutkan seraya menatap mata gadis kecil itu yang berwarna hazel. "Ngomong-ngomong, siapa namamu?"
"Namaku, Hazel," jawab gadis kecil itu tersenyum lebar dan memperjelas pipi cabinya.
"Sama seperti warna matamu," balas Aurasia, seraya tersenyum riang.
"Aura, kau baru pindah ke sini, kan? Mari berkeliling panti bersamaku!" ajak Hazel, langsung menggandeng tangan Aurasia.
Aurasia pun mengikuti Hazel berkeliling panti dengan kedua sudut bibir yang terangkat membentuk senyum merekah.
Hazel dengan antusias menerangkan setiap sudut panti asuhan yang sederhana namun penuh kehangatan. "Halaman depan dan samping, tempat kami berkumpul dan beraktivitas bersama. Di sana, ruang perpustakaan yang sering kami kunjungi, meski bukunya sederhana, tetapi kami senang membacanya," ujar Hazel sambil menunjuk ke arah ruang-ruang tersebut.
Sambil berjalan, Aurasia merasakan kehangatan dalam setiap cerita yang diceritakan oleh Hazel. Mereka melalui koridor dengan dinding yang dilukis oleh anak-anak panti asuhan, menampilkan kreativitas dan keceriaan mereka.
"Hei, Hazel. Kau dipanggil oleh ibu asuh," ujar salah seorang anak yang tiba-tiba saja berada di dekat mereka.
"Oh tidak, aku lupa melipat selimutku!" ujar Hazel panik, seraya memegang pipinya dengan kedua tangannya.
"Aura, aku akan menemui ibu asuh dulu. Aku akan segera kembali," ujar Hazel dengan wajah paniknya yang menggemaskan dan segera berlari meninggalkan Aurasia.
Anak yang manis sekali, batin Aurasia tersenyum seraya geleng-geleng kepala. Aurasia pun melanjutkan berkeliling panti asuhan sendirian.
Setelah menjelajahi seluruh sudut panti asuhan, Aurasia memutuskan untuk meninggalkan halaman tersebut. Ia menikmati keindahan desa dalam dunia fantasi ini. Kesucian terasa di sini, udaranya segar dan damai, jauh dari polusi dunia nyata yang merajalela.
Setelah berjalan selama kurang lebih sepuluh menit, mata emas gadis kecil itu terpaku pada sebuah pohon besar yang terlihat dari kejauhan. Aurasia melangkah mendekati pohon itu dengan langkah yang penuh ketenangan. Setibanya di sana, terlihat sebuah ayunan tua yang bergantung dari dahan pohon tersebut. Di sampingnya, terdapat sebuah kolam kecil dengan air yang sangat jernih.
Aurasia duduk dengan lembut di ayunan itu, bokongnya bersentuhan dengan kayu ayunan. Dia mulai mengayunkan kakinya, membiarkan ayunan itu ikut bergerak seiring gerakan ringan kakinya. Senyum bahagia merekah di wajah gadis kecil berambut frost itu. Kenangan masa kecilnya di dunia nyata menghampirinya, di mana ia sering bermain di ayunan seperti ini.
Setelah merasa puas bermain di ayunan, Aurasia melangkah ke arah kolam. Ia melepas sepatu coklatnya dengan hati-hati sebelum merendam kakinya ke dalam kolam. Air kolam terasa hangat, memberi rasa nyaman yang mengalir hingga ke dalam hatinya. Sembari merasakan hangatnya air, Aurasia berbaring di atas rumput yang halus dan menatap langit desa Nefeloma yang biru nan luas.
"Apakah ini yang disebut kedamaian?" gumam gadis kecil bermata emas tersebut. Senyum tenang melintas di bibirnya yang memancarkan keindahan. Aurasia memejamkan matanya dan menghela napas dalam, merasakan kedamaian yang melingkupinya sepenuhnya.
...♡♡♡♡♡...
Aurasia membuka mata, terbangun dari tidur pulasnya. Gadis kecil berpipi tirus itu menggeliat lembut, melihat langit yang sedari tadi berwarna biru cerah, kini bertransformasi menjadi gradasi jingga yang memukau. Dengan perlahan, Aurasia duduk, merapikan rambut panjangnya yang tergerai dan mengatur gaun sederhana yang agak berantakan karena tidur. Ia memastikan sepatunya terpasang dengan benar sebelum berdiri. Suasana senja memperlihatkan pemandangan yang memukau, memantulkan kecantikan alam yang tenang di wajahnya.
Ketika Aurasia tiba di depan gerbang panti asuhan, ekspresi heran tergambar di wajah beberapa orang, diikuti oleh desiran napas lega saat melihat kehadiran gadis kecil itu. Bettie, dengan wajah pucat dan penuh kecemasan, segera mendekati Aurasia dan memeluknya dengan erat. Detak jantungnya yang cemas seketika mereda ketika melihat Aurasia kembali dengan selamat. Namun, kekhawatirannya masih terpancar jelas di matanya.
"Kemana saja kamu, Aura?" tanya Bettie, suaranya hangat meski penuh kekhawatiran. Tangannya lembut meraba pipi Aurasia, kemudian turun ke tangan kecil gadis itu. "Kamu membuatku sangat khawatir," tambahnya dengan nada yang penuh kasih.
"Bibi, maafkan aku. Aku tidak bermaksud membuatmu khawatir..." sahut Aurasia, suaranya lembut dan penuh penyesalan. Ia merasa begitu bersalah karena telah meninggalkan panti terlalu lama, tanpa memberitahu keberangkatannya kepada Bettie.
Namun, tidak semua orang merasakan kelegaan yang sama. Lussy, dengan tatapan sinisnya, melempar komentar tajam. "Dasar anak tidak berguna, menyusahkan orang lain saja."
Jack, yang berdiri di sebelah Lussy, menimpali dengan nada sinisnya sendiri. "Kau ini, belum sampai sehari di sini sudah membuat masalah."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments
Shinta Dewiana
hisss...lemes tu mulut bocah...
2024-05-12
0
Ayu Dani
Dasar lusy dan Jack gebleg anak kecil kok udah bisa gosip wkwkwkwk
2024-02-29
1
Witaa
what?
2024-02-23
1