"Lalu siapa yang memiliki wewenang itu, Bibi?" tanya Aurasia dalam kesedihan dan rasa tidak sabar. Kaisar? Kaisar mungkin tidak mengetahui apakah Aurasia masih hidup atau tidak saat ini.
"Jika itu Kaisar, sepertinya kita tidak perlu meminta izin," ujar Aurasia yakin, tidak peduli dengan apa yang akan terjadi.
"Yang Mulia... kenapa Anda berpikir seperti itu?" tanya Bettie dengan wajah sedih.
"Kaisar tidak akan tahu apakah aku meninggalkan istana atau tidak. Dia tidak pernah peduli padaku, Bibi" sahut Aurasia dengan nada datar, berusaha menyembunyikan rasa sedih yang tidak disadarinya.
"Yang Mulia, saya harap Anda tidak berpikir seperti itu. Sebagai dayang Anda, saya berkewajiban menjaga keselamatan Anda. Saya tidak ingin hal buruk terjadi pada Anda. Ibu kota yang sangat berbahaya, apalagi tanpa pengawalan yang memadai," jelas Bettie dengan senyum tipis, berusaha membuat Aurasia mengerti. Ia benar-benar tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada Putri Aurasia.
"Jika begitu, mari kita cari tempat lain untuk membagikan buah-buahan ini selain di ibu kota Anatric, Bibi," usul Aurasia, mencoba membujuk Bettie.
"Hmm... tempat lain, ya..." pikir Bettie sejenak. Tempat yang tidak terlalu ramai oleh para bangsawan... batin wanita berambut coklat itu, seraya mengetuk pelan dagunya dengan jari telunjuknya.
"Bagaimana dengan desa Nefeloma? Itu adalah kampung halamanku," usul Bettie dengan senyuman ceria.
"Iya, Desa Nefeloma. Kita harus membagikan buah-buahan ini di desa Nefeloma, kampung halaman Bibi yang sangat aku cintai," jawab Aurasia dengan penuh antusiasme. Sebenarnya ia tidak tahu banyak tentang Desa Nefeloma, ini pun menjadi kesempatan pertamanya mendengar nama desa tersebut. Namun, Aurasia segera menyetujui saran dari Bettie, sebelum ia berubah pikiran dan terperangkap di dalam istana ini selamanya.
"Anda juga adalah orang yang sangat aku cintai, Putri," ucap Bettie dengan senyuman hangat, sebelum akhirnya ia memeluk Aurasia.
...♡♡♡♡♡...
Tangan mungil Aurasia melepas kalung mutiara yang menghiasi lehernya. Kemudian ia melanjutkan dengan mengganti gaun sutra berwarna ungu gelap dengan pakaian yang terlihat sederhana. Meski tampak sederhana, di butuhkan berapa koin emas untuk mendapatkan gaun bewarna hijau yang dipadukan dengan celemek putih itu. "Bibi, aku sudah siap. Ayo kita pergi sekarang," ajak seorang Putri yang menyamar menjadi gadis biasa itu.
Di subuh yang dingin ini, Aurasia dan Bettie berangkat meninggalkan Istana Spirit. Mereka melintasi hutan belantara untuk mencapai alun-alun Kota Anatric. Setibanya di sana, Aurasia dan Bettie mencari kereta kuda untuk disewa menuju desa Nefeloma.
Seraya mencari kereta kuda, manik Aurasia tiada hentinya berkeliling memandang kota Anatric yang begitu indah. Matanya terpukau oleh keindahan kota Anatric pada pagi hari. Ia memandang ke sekeliling, membiarkan pesona arsitektur bangunan kuno menyerapnya. Rumah-rumah dengan atap yang curam dan jendela-jendela kecil. Jalan-jalan berbatu dan lampu jalan klasik. Orang-orang terlihat berjalan-jalan, dan ada juga yang duduk di bangku taman, menciptakan suasana yang hidup namun tenang. Langit diwarnai dengan nuansa hangat oranye dan kuning, dengan burung-burung terbang di kejauhan.
Setelah mendapatkan kereta kuda, Aurasia dan Bettie pun melaju ke desa Nefeloma. Selama perjalanan, Aurasia tak henti-hentinya memandang keluar jendela, matanya terpaku pada pemandangan di luar. Dunia fantasi yang membentang begitu luas di depan matanya adalah seperti mimpi yang menjadi kenyataan. Padang rumput yang melarang mata, melambangkan kebebasan yang tak terbatas. Air sungai yang mengalir begitu bening, seolah-olah air itu sendiri membawa pesan-pesan rahasia alam semesta. Bukit-bukit yang terhampar begitu lembut, seolah-olah tercipta oleh sentuhan seorang seniman gaib.
"Yang Mulia, kita sudah sampai di desa Nefeloma, dan sebentar lagi kita akan tiba di rumahku," ujar Bettie memberitahu Aurasia dengan penuh kerendahan hati. Mereka telah melewati setengah hari perjalanan untuk sampai di desa Nefeloma.
Aurasia kembali memandang ke luar jendela. Pemandangan desa Nefeloma, tidak kalah indah dengan kota-kota dan desa-desa yang telah mereka lalui. Desa yang indah dan damai, yang dikelilingi oleh gunung-gunung bersalju yang menjulang tinggi di atas lanskap, dengan sungai yang mengalir melintasi desa tersebut. Langit cerah dengan awan lembut yang tersebar di seluruhnya, menunjukkan cahaya sore hari yang memancarkan bayangan panjang dan menerangi pemandangan dengan nuansa keemasan.
"Bibi, sejak aku dilahirkan, Bibi belum pernah sekalipun pulang ke rumah. Bibi pasti sangat merindukan keluarga, Bibi, ya," sahut Aurasia merasa bersalah dan kasihan pada Bettie, yang selalu tulus menjaga dan merawatnya.
Bettie memandang Aurasia dengan tatapan penuh perasaan. "Aku memang sangat merindukan keluarga dan kampung halamanku, tapi aku juga sangat bahagia bila bersamamu, Yang Mulia," balas Bettie dan tersenyum hangat pada Aurasia.
Kereta kuda pun berhenti. Bettie membuka pintu kereta kuda dan keluar. Ia memegang tangan Aurasia dengan lembut agar tidak terjatuh saat turun dari kereta kuda.
"Banyak sekali anak-anak di sini, Bibi," ucap Aurasia memperhatikan lingkungan sekitarnya. Sekarang mereka berada di satu-satunya panti asuhan di desa Nefeloma.
"Anda juga anak-anak, Yang Mulia," sahut Bettie tertawa kecil. Aurasia pun langsung teringat kalau saat ini ia sedang berada di dalam tubuh seorang anak tujuh tahun.
"Ayo!" ajak Bettie menggandeng tangan Aurasia berjalan menuju ke gerbang panti asuhan.
Aurasia berhenti begitu mereka tiba di ambang pintu gerbang itu. "Bibi, bisa panggil aku dengan nama "Aura", saat kita berada di depan orang lain?" pinta Aurasia yang tidak ingin identitasnya sebagai putri Kaisar terungkap. Aurasia saat ini hanya ingin hidup sebagai rakyat biasa. Ia tidak ingin diakui sebagai Putri Kekaisaran seperti dalam novel.
"Baiklah, Yang Mulia, jika itu keinginanmu," jawab Bettie menyetujui keinginan Putrinya dengan senang hati.
Aurasia dan Bettie pun melewati pagar besi bewarna hitam yang terbuka lebar. Manik emas Aurasia berkeliling, memperhatikan tampilan gedung panti yang cukup besar, cat putih polos, memberikan sentuhan arsitektur kuno, seperti bangunan Eropa pada abad pertengahan.
Sesampainya di dalam panti asuhan, Bettie dan Aurasia berjalan menuju ruang Kepala Panti. Bettie lantas memeluk Kepala Panti, yang merupakan ibu kandungnya, begitu mereka bertemu dan bertegur sapa. Ibu dan anak tersebut saling melepas rindu satu sama lain.
"Ibu, anak perempuan yang cantik ini adalah anak yang aku asuh. Dia adalah anak dari salah seorang pedagang di Anatric," ucap Bettie berbohong. Sebenarnya, tanpa diminta oleh Aurasia, Bettie sudah berencana untuk menyembunyikan identitas asli dari Putri kecil itu. Wanita berambut coklat itu akan melakukan apapun demi keselamatan Putri kesayangannya. Meski harus berbohong pada ibunya sendiri.
"Begitukah? Kamu imut sekali. Siapa namamu, nak?" tanya Kepala Panti dengan senyuman hangat, seraya mengelus lembut pipi Aurasia.
"Namaku, Aura, Ibu Kepala Panti," jawab Aurasia dengan sopan dan anggun.
"Hohoho, panggil saja aku, Nenek. Tidak perlu terlalu formal padaku, Aura," sahut Kepala Panti, gemas pada Aurasia.
"Baiklah, Nenek. Aku akan tinggal beberapa hari di panti asuhan ini. Mohon bantuannya, Nenek," balas Aurasia seraya tersenyum tipis, sambil membungkuk, memberikan hormat seperti seorang nona bangsawan.
"Oh, Aura, kau begitu menggemaskan. Bolehkah aku memelukmu?" pinta Kepala Panti seraya tersenyum merekah.
"Dengan senang hati, Nenek." Aurasia bergerak memeluk Kepala Panti. "Nenek, boleh memelukku kapan saja," lanjutnya, menikmati pelukan hangat dari Kepala Panti.
Bettie tersenyum, terharu, dan bahagia. Melihat keluarganya yang begitu hangat. Aurasia begitu manis, dan juga tampak dewasa. Bettie berharap semoga orang-orang yang berada di sekitarnya bisa selalu bahagia seperti ini.
...♡♡♡♡♡...
Keesokan paginya, Aurasia membantu para pengurus panti menyiapkan sarapan untuk anak-anak. Tangan mungilnya menata satu per satu roti dengan selai kacang pada piring yang telah disediakan di atas meja.
"Aura, apa yang kamu lakukan? Kamu tidak perlu repot-repot menyiapkan sarapan untuk anak-anak," ujar Bettie, seraya tersenyum dan geleng-geleng kepala.
"Tidak apa-apa Bibi, aku tidak kerepotan sama sekali. Aku hanya ingin meringankan pekerjaan para pengurus panti," sahut Aurasia, dengan tulus.
Bettie memegang kedua pundak Aurasia dan menuntunnya untuk duduk di kursi. Aurasia pun hanya menurut saja. Kemudian, Bettie mengambil sepiring sarapan dan diberikannya pada Aurasia. "Aura, makanlah. Aku tahu kamu pasti lapar. Kamu tidak perlu menunggu anak-anak lainnya untuk makan bersama," sahut Bettie dengan senyuman hangat.
"Hehe, Bibi tahu saja. Baiklah, terima kasih untuk sarapannya, Bibi," sahut Aurasia, dengan mulut yang melengkung membentuk senyuman manis.
"Oh, Putri... Anda manis sekali," gemas Bettie, memandang wajah Aurasia yang begitu mirip boneka dengan rona merah terkuas dari wajahnya.
"Bibi!" seru Aurasia dengan bibir berkedut dan mata yang membesar begitu Bettie memanggilnya dengan sebutan Putri.
"Ups, maafkan aku. Kemanisanmu sampai membuatku lupa dengan keadaan sekitarku," sahut Bettie menutup mulut dengan tangannya.
"Bibi terlalu berlebihan," ujar Aurasia, karena Bettie selalu memujinya setiap ada kesempatan.
"Baiklah, aku akan ke dapur. Habiskan sarapanmu ya, Aura sayang," Bettie pun melangkahkan kakinya ke arah dapur dan meninggalkan Aurasia.
Aurasia berhenti menggigit roti yang ada di tangannya, begitu ia mendengar banyak langkah kaki yang menuju ruang makan, tempat ia berada saat ini. Dan benar saja, segerombolan anak-anak panti memasuki ruang makan. Mereka pun segera duduk di kursi meja makan. Para anak-anak pun mulai memakan sarapan yang sudah tersedia di meja itu.
"Hai! Aku baru pertama kali melihatmu di panti asuhan ini. Apa kau anak baru?" sapa salah seorang anak perempuan yang duduk di samping Aurasia. Anak perempuan berkulit putih, dengan rambut sebahu bewarna ginger, sekiranya usia anak perempuan itu adalah sembilan tahun.
"Iya, kami tidak pernah melihatmu sebelumnya," tambah anak laki-laki berambut merah yang berada di samping anak perempuan itu.
"Ah, aku baru saja tiba di sini kemarin malam. Perkenalkan, namaku Aura," ucap Aurasia memperkenalkan diri dan mengacungkan tangannya untuk bersalaman dengan anak-anak tersebut.
Setelah menunggu beberapa detik, anak-anak tersebut tidak kunjung menjabat tangan mungil Aurasia. Tampaknya, mereka enggan melakukannya. Sabar, mereka masih anak-anak, batin Aurasia, dengan senyuman paksa.
"Hmm, aku, Lussy, dan dia, Jack," balas anak perempuan itu seadanya. Kemudian, anak-anak itu melanjutkan menyantap sarapan mereka.
"Semoga kita bisa berteman baik," ujar Aurasia seraya tersenyum tipis, tidak terlalu menanggapi balasan anak-anak itu.
"Berteman baik denganmu?" Lussy menaikkan satu alisnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments