Sebuah tamparan yang begitu keras mendarat dengan mulus di pipi Miya. Gadis yang masih mengenakan seragam sekolah itu, memegang pipinya yang terasa panas. Meski dengan kepala yang tertunduk, mata Miya menatap tajam Papanya yang berada di depannya saat ini. Keheningan pun terjadi beberapa saat di ruang keluarga yang terasa sangat panas.
Papa Miya berdecak. "Hanya dengan nilai delapan puluh tujuh ini, mau jadi apa kamu?" teriak pria paruh baya itu dengan kemarahan, seraya membanting selembar kertas ulangan milik Miya ke atas meja. "Kenapa semakin hari nilaimu malah tambah buruk?!" Papa Miya melanjutkan dengan suara yang semakin tinggi.
"Semester kemarin turun dari rank satu ke rank empat paralel. Semester akhir ini mau rank berapa lagi? Rank lima? Rank enam?" Papa Miya tak kuasa menahan amarahnya. Apa lagi bila mengingat peringkat Miya yang menurun.
"Dasar anak bodoh! Dimana otak kamu?!" tutur Papa Miya geram pada anaknya sendiri, seyara menunjuk-nunjuk kepala Miya beberapa kali. "Kamu pikir biaya sekolah dan bimbelmu itu murah? Setelah lulus dari kuliahmu dan mendapat pekerjaan, belum tentu kamu bisa mengembalikan semua uang itu sepenuhnya." Papa Miya menghela napas panjang. "Jika kamu tidak kunjung berubah, bagaimana bisa kamu akan lolos di Oxford, universitas impian kamu itu!?"
"Itu impian Papa. Miya gak pernah bermimpi untuk masuk Oxford!" Setelah mendengar keluh kesah Papanya yang dirasa berlebihan, akhirnya Miya membuka suara juga. Alisnya yang terlipat dan tatapan tajam menciptakan aura ketidaksetujuan yang kuat dengan pernyataan Papanya.
"Argh!" Miya meringis kesakitan, begitu Papanya kembali melayangkan tamparan yang sangat keras dan berhasil membuat Miya tersungkur ke lantai.
"Dasar anak tidak berguna! Beraninya kau melawan orang tuamu! Berhenti memandangku dengan tatapan seperti itu!" balas Papa Miya dengan amarah yang memuncak, benar-benar muak melihat wajah putrinya.
"Yana! Nasihati anakmu itu!" perintah Papa Miya pada Yana, Mama Miya. Papa Miya pun melangkah meninggalkan ruang keluarga.
Yana yang sedari tadi hanya memperhatikan ayah dan anak itu, akhirnya berdiri dari sofa dan mendekati Miya. Yana menghela napas ringan, sebelum akhirnya tersenyum lembut pada putri semata wayangnya itu. Tangan kanan Yana pun menyentuh bahu Miya. "Kamu harus bertanggung jawab atas masa depanmu, Miya. Ini bukan main-main," ujar Yana menatap Miya dengan lekat.
"Dan kamu juga tidak boleh melawan pada orang tuamu," lanjut Yana seraya tersenyum lembut. "Meskipun papamu terlihat keras, ketahuilah itu demi masa depanmu yang cerah."
"Aku tahu, beberapa hari lagi adalah pembagian peran drama pada ujian praktek kesenianmu, kan? Ingat Miya, kami telah mengeluarkan biaya yang besar untuk les drama. Jadi, berusahalah. Semoga kamu mendapatkan peran utama dan nilai yang tertinggi untuk ujian kali ini."
"Sekarang, kembalilah ke kamarmu dan lanjutkan belajar," suruh Yana seraya tersenyum lembut, sebelum akhirnya ia melangkah meninggalkan Miya di ruang keluarga sedirian.
Manik Miya berotasi, mengelilingi ruang keluarga yang terasa begitu suram. Setelahnya, gadis itu pun memilih untuk masuk ke kamarnya. Setibanya di kamar, Miya melempar tas sekolahnya ke sembarang arah. Kakinya melangkah ke cermin besar yang berada di samping lemari pakaian.
Pada cermin itu, Miya mendangi dirinya dari ujung kaki hingga puncak kepalanya. Terlihat sangat berantakan. Rambut panjangnya yang sudah acak-acakan dan pakaiannya yang telah kusut. Tangan Miya bergerak merapikan rambutnya, untuk melihat lebih jelas luka tamparan pada wajahnya. Miya menghela napas panjang. Berpikir bagaimana cara menyembunyikan luka di pipinya ketika ingin keluar nanti?
Tangan Miya pun beralih untuk membuka kancing seragamnya satu per satu. Begitu selesai melepas seragamnya, Miya menatap bahunya, bahu yang di pegang Mamanya tadi. Memar berwarna ungu mewarnai bahu Miya. Bukan mengelus untuk memberikan ketenangan pada putrinya, melainkan Yana menyubit dan memintal daging bahu Miya dengan sangat kencang.
Miya tersenyum miris. Maniknya kembali memperhatikan seluruh tubuhnya yang terpancar pada cermin. Sangat kurus. Miya merasa tubuhnya telah hancur, karena selalu di paksa belajar terlalu keras. "Ini sungguh memuakkan."
...♡♡♡♡♡...
"Aku mencintai orang lain."
Miya memegang dadanya yang terasa sesak. Meskipun sudah mengetahui fakta itu sejak lama, Miya tidak menyangka rasanya akan sesakit ini bila mendengar pengakuan itu secara langsung dari orang yang dicintainya.
"Aku salah, berpikir bahwa perasaanmu terhadap wanita itu akan hilang seiring berjalannya waktu. Wanita yang bahkan tidak pernah ada untukmu." Mata Miya mulai berkaca-kaca. Ia bahkan tidak dapat melihat dengan jelas pria yang berada di depannya saat ini.
"Apa maksudmu? Aku bahkan tidak pernah bercerita tentangnya, Miya," ujar pria itu dengan tatapan yang mendalam pada Miya.
"Aku sudah mengetahui segalanya, Setia," sahut Miya dengan suara serak dan senyuman miris.
"Aku terlalu naif, karena berharap kau akan mencintaiku dan berharap kau akan tulus padaku suatu hari nanti." Miya menepis air matanya yang sudah mengalir bebas di pipinya. Gadis itu pun berbalik dan melangkah cepat ke arah pintu keluar.
"Miya, tunggu!" Pria dengan nama Setia itu dengan cepat menahan tangan Miya, tetapi gadis itu menepis tangannya dengan kasar.
Miya menoleh tajam, tatapannya menusuk Setia seperti pedang yang membelah udara. "Jangan bicara denganku lagi, jangan temui aku lagi, sebelum kau membawakan cincin dan menikahiku, Setia." Setelah usai menyampaikan pesan terakhirnya, Miya pun keluar dari apartement milik Setia.
Setelah beberapa langkah, Miya kembali menoleh ke arah pintu apartement dengan nomor 222 itu. Miya kembali tersenyum miris, malu dengan dirinya sendiri karena berharap Setia akan keluar dan mengejarnya. Bodoh, batinnya sebelum akhirnya ia benar-benar keluar dari gedung apartement itu.
Saat itu, hujan mulai turun dengan deras di luar, menciptakan suara gemuruh yang seolah-olah menggambarkan kekacauan perasaan Miya. Bukan dari keluarga atau orang yang di sukainya, Miya hanya mengharapkan sedikit cinta dari mereka. "Benar, sebaiknya jangan pernah menaruh harapan pada manusia."
...♡♡♡♡♡...
".... Juliet diperankan oleh Natalie Margareta, Romeo diperankan oleh Owen Horison, dan peran terakhir, Rosaline, diperankan oleh Miya Levyna. Sekarang silahkan kalian lanjutkan untuk latihannya. Saya akan mengambil properti terlebih dahulu. Liam, bantu saya!" Setelah menyampaikan peran untuk ujian praktek para siswa, Bu Eliza pun beranjak dari ruang kelas.
Miya menghela napas panjang, begitu mengetahui ia tidak mendapatkan peran utama, Juliet. Bisakah Miya mendapat nilai tertinggi bila ia hanya akan melakukan beberapa adegan dan mengucapkan sedikit dialog? Papa dan mamanya pasti akan memarahinya lagi, karena tidak mendapatkan peran utama setelah melalui les drama dan seleksi peran.
Miya keluar dari ruang kelas dan berjalan menuju rooftop. Ia benar-benar membutuhkan angin segar untuk saat ini. Setibanya di rooftop, Miya duduk di tepi pagar pembatas. Seraya angin bermain-main dengan rambut panjangnya yang terurai, Miya memandangi suasana sekolah dari atas gedung.
Apa yang akan terjadi jika aku terjun dari atas sini? batin Miya bertanya, dengan tatapan kosong ke bawah. Tidak-tidak! Apa yang aku pikirkan? Miya menepuk pipinya dengan kedua tangannya, menyadarkan dirinya dari pikiran sesat yang terlintas sesaat.
Miya menghela napas panjang. Sejak beberapa hari yang lalu, perasaannya selalu tidak tenang. Meskipun hanya masalah-masalah kecil yang ditemuinya, entah kenapa ini terasa begitu berat.
Miya menoleh, tiba-tiba terdengar langkah kaki pelan di belakangnya. Seorang gadis mengenakan setelan hitam mendekat. Miya menyuguhkan senyum tipis, "Hai! Apa yang sedang kau lakukan-"
"Jika aku tidak bisa memiliki Setia, maka tidak ada seorang pun yang berhak atasnya," potong gadis itu, melihat Miya dengan tatapan tajam.
Mata Miya membulat sempurna saat gadis itu mendorong bahunya dengan penuh tekanan. Dalam hitungan detik, tindakan gadis itu membuat kepala Miya terasa berat. Tangan Miya berusaha untuk mencapai pembatas rooftop, tetapi tidak sempat. Ia pun terhuyung, jatuh dari gedung sekolah.
...♡♡♡♡♡...
Di tengah suasana yang begitu menegangkan, suara tangisan seorang bayi terdengar begitu keras, sebagai pertanda dari kehidupan baru yang dimulainya. Di tengah kekacauan ini, para dayang istana sibuk bergerak dengan cemas. Di atas tempat tidur, ibu muda terbaring dengan tenang, namun wajahnya mencerminkan keletihan dan kelemahan setelah usaha besar yang dilakukan untuk melahirkan bayi kecilnya.
Setelah membersihkan sang bayi, para dayang pun membantu ibu muda untuk memberikan posisi ternyaman pada sang bayi dipelukannya. Sang ibu memandang buah hati kecilnya dengan senyum merekah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments
Ayu Dani
Masih nyimak belum mudeng soalnya
2024-02-29
1
Witaa
semangat author 🔥
2024-02-23
0
Witaa
ih, ngapain tiba-tiba dorong orang! gak jelas bgt!!!
2024-02-23
3