Pendekar Payung Terbang
Lima Begal Cakrageni sudah dikenal sebagai kawanan rampok sadis di daerah utara kerajaan Indraprahasta yang berbatasan dengan kerajaan Wanagiri.
Dua kerajaan kecil bawahan kerajaan besar Tarumanagara saat itu. Lima sekawan yang dipimpin Gandara ini bermarkas di puncak bukit Gajah Depa. Sebuah bukit yang jika dilihat dari jauh tampak seperti gajah sedang depa (rebah tengkurap).
Sepak terjang mereka sangat ditakuti teruma oleh para saudagar kaya. Karena Lima Begal Cakrageni ini hanya merampok orang-orang kaya atau pejabat istana saja.
Sudah beberapa pendekar sewaan mencoba menumpas mereka namun selalu gagal bahkan pulang hanya membawa nama. Namun, bila ada seseorang yang mampu menandingi ilmu Cakrageni yang menjadi andalan, mereka selalu bisa melarikan diri. Menghilang beberapa hari kemudian muncul lagi setelah merasa aman.
Gandara, lelaki berumur hampir lima puluh tahun. Badannya kekar dan tegap. Tidak seperti perampok pada umumnya yang memiliki wajah seram dengan kumis tebal dan berewokan, Gandara adalah sosok lelaki tampan berwajah bulat dan kumis tipis tanpa jenggot. Tambah menawan dengan ikat kepala batik yang menutup rambutnya yang tergerai panjang sebahu.
Satu ciri khas seorang rampok adalah pakaian serba hitam. Begitu juga yang dikenakan Gandara yang saat ini tengah berdiri di halaman depan pondok kayu yang cukup besar. Tempat tinggal dia bersama empat kawannya, dan juga...
Anak lelaki semata wayangnya!
Anak lelaki yang kini jadi ganjalan dalam pikirannya karena sudah berkali-kali hendak kabur. Entah apa yang ada dalam pikiran anak yang sudah berusia tiga belas tahun itu?
"Aku tidak ingin ikut ayah!"
"Lantas kau ikut siapa, kemana?"
"Kemana saja, asal tidak bersama ayah!"
"Kenapa?"
"Aku tidak mau jadi perampok!"
Gandara terhenyak mengingat percakapan dengan Adijaya, anaknya, beberapa saat sebelum kabur lagi. Memang, dari dasar sanubarinya dia menentang pekerjaannya sebagai begal.
Dia tahu, dia sadar, bahwa itu adalah perbuatan hina, tercela. Walau yang dirampas hanyalah harta saudagar atau pejabat istana. Sehingga ketika sang anak tak ingin bersamanya lagi lantaran tidak mau jadi begal, dia tak bisa berkata apa-apa.
Tapi sebagai ayah tetap khawatir. Bagaimana nasib anaknya bila benar-benar hidup sendirian?
Lamunan Gandara buyar saat empat kawannya muncul bersamaan dari empat arah. Tampilan mereka tak jauh berbeda dengan pimpinannya. Berpakaian serba hitam, juga tidak ada yang memiliki wajah seram. Seperti orang biasa pada umumnya.
"Bagaimana?" tanya Gandara.
Darpa, Wikarta, Kuntala dan Sarkawi sama-sama menggeleng. Kali ini Adijaya benar-benar sukar ditemukan.
"Anak sialan!" Gandara mendengus marah.
"Lanjutkan pencarian, cari ke desa-desa terdekat. Dia pasti belum jauh!" perintah Gandara kepada empat kawannya.
"Baik!" jawab keempatnya serempak.
Kemudian mereka kembali pergi ke empat arah yang berbeda. Termasuk Gandara juga turun tangan ikut mencari anaknya. Dia pergi ke arah yang lain.
Setelah keadaan aman, muncullah Adijaya dari balik semak belukar yang tak disangka akan menjadi tempat persembunyiannya.
Anak lelaki yang bongsor, di usianya yang ketiga belas tinggi badannya melebihi anak seumurannya. Hampir menyamai tinggi ayahnya. Wajahnya juga tampan.
Tanpa pikir panjang lagi dia juga pergi ke arah yang berbeda.
Tanpa membawa bekal apapun, pakaian pun hanya yang dikenakan di badannya. Adijaya bertekad bulat meninggalkan ayahnya, keluarga satu-satunya yang dia miliki. Semua ini karena hati nuraninya yang bertentangan dengan pekerjaan sang ayah yaitu perampok.
Pemuda tanggung ini melangkah menyusuri jalan setapak yang jauh dari keramaian, entah sudah berapa jauh dia meninggalkan bukit tempat tinggalnya.
Adijaya tidak ingat sejak kapan ayahnya jadi perampok, mungkin sejak masih kecil. Dia teringat kepada ibunya yang sudah lama meninggal, saat itu dia masih berumur tujuh tahun.
Lebih jauh lagi dia mengingat-ingat saat masih kecil. Saat ibunya masih hidup, waktu itu dia tidak tinggal di puncak bukit Gajah Depa, tapi di sebuah kampung kecil yang damai.
Adijaya kecil yang selalu ceria sering bermain-main dengan teman sebayanya. Sang ayah yang walaupun jarang pulang -setidaknya sebulan sekali pulang- dia tidak terlalu memikirkan.
Mungkin karena masih anak-anak. Kata ibunya, ayahnya bekerja kepada seorang saudagar yang selalu kirim-kirim barang ke kota raja, makanya jarang pulang.
Namun, setelah ibunya meninggal karena penyakit yang sudah lama diidapnya, Gandara mengajak Adijaya pindah rumah ke bukit Gajah Depa. Di sana dia tidak lagi mendapati sang ayah yang pulang sebulan sekali. Hampir setiap hari selalu ada di rumah bersama teman-temannya.
Hanya selama satu hari saja Adijaya ditinggal di rumah, besoknya sang ayah sudah kembali membawa barang-barang berharga. Belakangan diketahui bahwa satu hari itu adalah saat beraksinya melakukan pembegalan.
Sekarang, di umurnya yang masih hijau pikirannya seolah sudah melangkah lebih maju. Ya, dia tidak ingin mengikuti jejak ayahnya.
Mulai dari sekarang, hidupnya akan berubah!
***
Sampai di perkampungan perutnya mulai terasa lapar. Adijaya menyapukan pandangan. Banyak orang lalu lalang yang baru pulang dari sawah dan ladang mereka, ada juga yang membawa sisa-sisa dagangan. Anak ini mendongak, semburat jingga berpijar di ufuk barat.
Hatinya girang sekarang, di salah satu sudut perempatan jalan dia melihat sebuah kedai makan yang masih ramai. Segera saja Adijaya menghampirinya namun bukan ke bagian depannya melainkan ke belakang.
"Permisi, Bi!" sapa Adijaya kepada seorang wanita paruh baya yang sedang memasak.
Si Bibi ini menatap sejenak, menyelidiki, barangkali dia mengenali Adijaya. Ternyata tidak.
"Ada apa, Jang?" (Panggilan kepada anak laki-laki)
"Saya lapar, Bii!" Adijaya terus terang. Polos.
Si bibi kembali menatap, dia berpikir anak ini pasti hendak minta makanan karena tidak punya uang.
Melihat dari penampilannya jelas sekali anak ini habis menempuh perjalanan jauh. Jangan ditanya soal orang tuanya, karena dilihat dia cuma sendirian.
"Saya tidak akan meminta cuma-cuma, Bi," ujar Adijaya seolah mengetahui isi hati si pemilik kedai. "Bibi boleh menyuruh saya mengerjakan apa saja dulu, saya mau!"
"Oh...!" si bibi angguk-angguk kepala. "Baiklah, kamu cuci saja peralatan makan di sana!"
"Baik, Bi!"
Segera Adijaya mengerjakan apa yang di suruh si bibi pemilik kedai. Setumpuk tempat makan yang terbuat dari anyaman bambu, tanah liat dan juga bumbung bambu yang dibuat seperti gelas sudah berpindah ke tempat cucian yang berada di samping kedai sebelah dalam.
Walau perut terasa lapar, tapi Adijaya begitu semangat mengerjakan tugasnya. Dia senang mendapatkan sesuatu yang dibutuhkan dari hasil keringat sendiri.
Bekerja.
Hal yang lumrah bagi semua orang untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Tapi kerja yang baik. Pekerjaan yang baik. Dilakukan dengan baik.
Bukan dengan cara merampok.
Dia ingat ayahnya. Namun, akan segera melupakannya. Dan jangan sampai bertemu lagi.
Kalau bisa untuk selamanya.
Baca terus lanjutannya....
Saran, like dam vote-nya ditunggu.
Salam Cersil Nusantara.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 216 Episodes
Comments
Deka pringga wana pw
bagus banget
2023-01-31
0
Styaningsih Danik
mampir thor...suka cersil lokal kayak gini👍...efek samping hobi baca wiro sableng kho ping ho cerita2 pendekar nusantara
2023-01-24
0
Andre Khecenk
cerita nya bagus
2022-11-23
0