"Bagaimana, apa brandal brandal itu sudah di temukan?" Edward bertanya kepada bawahannya dengan begitu kesal, memeriksa sejauh mana progres mereka menemukan orang-orang yang berniat mencelakai putrinya. Meski bersyukur karena dengan kejadian itu Vania bisa mendapatkan jodoh yang baik tapi dia tetap kesal, berani sekali orang-orang sialan itu mengusik putrinya.
"Maaf, Pak. Jejak mereka benar-benar menghilang." Pak Zaki hanya bisa menunduk. Dia yang sudah bertahun-tahun mengabdi kepada Pak Edward hanya bisa tertunduk malu. Kali ini dia benar-benar tak bisa di andalkan di saat Nona muda hampir terancam.
"Aisst sudahlah." Edward malah tak enak hati melihat ekspresi itu, dia hanya bisa menyuruh bawahannya itu untuk lebih berhati-hati untuk kedepannya. "Lalu bagaimana sekarang pergerakan bocah benalu itu?" ucapnya mempertanyakan Alvero. Lelaki yang begitu Vania sukai padahal dirinya tidak menyukainya sama sekali.
"Seperti yang tadi Nona Vania sampaikan di telepon. Iya. Tuan Alvero menggunakan kekuasaannya dengan seenaknya." Pak Zaki lagi-lagi menunduk, merasa kecolongan karena dia juga baru tahu kabar ini sekarang. Kalau saja tadi pagi non Vania tidak menghubungi, dia akan mengira persentase produk itu lancar dan di terima dengan baik mengingat kalau perusahaan itu juga sudah mereka percaya sejak tahun lalu membuat kunci sidik jari yang menaikkan tingkat kemewahan hotel mereka.
"Bagaimana, haruskah saya kembali menghubungi perusahaan itu untuk kembali melihat persentase produk mereka."
"Tidak usah." Edward langsung menjawab dengan singkat, bawahannya ini belum tahu kalau CEO perusahaan itu adalah menantunya, dan dia sudah menyuruh menantunya sendiri datang ke perusahaan untuk membereskan semuanya sekalian membereskan hubungan putrinya dengan sosok Alvero yang begitu dia benci.
"Panggilkan saja Alvero untuk menemui ku sekarang juga." Edward sampai mencekam tangan nya dengan begitu geram, menatap sebuah foto yang tadi bawahannya berikan. Di foto itu terlihat jelas sosok Alvero yang tengah bermesraan dengan wanita lain. Memang bedebah bodoh sialan, seharusnya kalau mau melakukan hal menjijikan seperti itu lakukan di tempat lain dan jangan di hotelnya yang jelas semua mata akan melihat itu dan langsung melaporkan itu padanya.
"Bedebah sialan, kau harus menerima balasan yang setimpal, beraninya mengkhianati Vania padahal Vania begitu mencintainya."
......................
Rok rempel berwarna sage green dengan sweater berwarna senada telah terpasang di tubuh Vania. Gadis itu bahkan langsung memutar tubuhnya di depan cermin untuk memastikan kembali apakah pakaian adik iparnya ini cocok atau tidak di tubuhnya.
"Udah cantik, Vania. Cepat keluar sana, Bang Afham pasti sudah menunggu." Khumaira hanya bisa menatap nanar kakak iparnya itu, bisa-bisanya dari tadi mengacak-acak lemari pakaiannya, dan pada akhirnya hanya sebuah sweater yang dia pilih. Dan menakjubkannya kenapa outfit itu terlihat begitu cocok ditubuh Vania padahal saat dia gunakan jelek sekali.
"Bagaimana dengan kerudungnya?"
"Cantik, Vania." Khumaira sampai lemas sendiri meladeni kakak iparnya ini, katanya mau keluar dengan Kak Afham untuk menemui Om Edward tapi gayanya udah kayak mau berkencan saja. Dan pintar nya Vania memilih Sling bag hitam yang senada dengan kerudungnya membuat penampilan semakin sempurna. Bahkan langsung menggunakan sepatu yang benar-benar cocok dengan style nya itu.
"Tapi ngomong-ngomong, kenapa sedari tadi kau membawa buku itu?" Khumaira bingung sendiri, pasalnya saat masuk kamar nya tadi Vania membawa sebuah buku kecil yang cukup tebal dan sekarang hal pertama yang di masukkan ke Sling bag adalah buku itu.
"Ini hadiah." Vania menjawab asal sambil tersenyum manis, mengingat kembali kejadian dini hari tadi dan Afham langsung memberikan buku ini. Buku yang isinya tuntunan bacaan shalat, di lengkapi latin dan terjemahannya. Suaminya itu meminta dia untuk menghapalkannya, agar sedikit-sedikit bisa belajar shalat dengan baik. Dan dia akan berusaha menghapalkannya di sela sela senggang nya. "Ini dari Kak Afham." lanjutnya lagi dengan begitu girang.
Khumaira hanya bisa tersenyum yang di paksakan melihat kelakuan sahabat sekaligus kakak iparnya ini, lihat gadis itu, di kasih mobil Ferrari dan sebuah Apartemen sekelas Penthouse malah protes karena kebanyakan dan sekarang hanya di kasih sebuah buku girangnya gak ketulungan. Memang kepribadian unik di luar nalar.
"Iya-iya, Pergi sana, jaga hadiah itu jangan sampai hilang."
Vania kini sudah sampai di bawah, mendekati Afham yang tengah duduk dengan kedua orang tuanya. Dan saat dia semakin dekat saat itu pula mata Afham tertuju mantapnya dengan senyuman. Dia jadi malu sendiri, jadi begini rasanya pacaran setelah menikah, setiap tatapan itu selalu mendebarkan hatinya, dan setiap keromantisan menjadi ladang ibadah.
"Assalamualaikum, Ummi. Abie." sapa nya bergantian. Agak malu juga, di hari pertamanya dia tinggal di rumah ini dia tak ikut sarapan bersama, dia kesiangan, saat sedang menghapal buku tuntunan shalat setelah menjalankan sholat subuh tadi, dia malah ketiduran di sofa, dan saat bangun suaminya itu malah sudah mengambil sarapan ke kamar.
"Waalaikumsalam, Nak." Ummi langsung tersenyum mengelus kepala menantu nya ini, sungguh cantik, busana apapun yang dia kenakan selalu terlihat anggun dan nyaman. "Duduklah!"
"Terima kasih, Mie." Vania langsung duduk, terlebih tangan suaminya sudah terlebih dulu meraih tanyanya agar dia duduk sampingnya.
"Bagaimana, apa nyaman tinggal di sini?" Ummi mulai bertanya, tersenyum sendiri melihat Afham yang begitu perhatian pada istrinya itu. Padahal tadinya dia begitu kekhawatiran mengingat pasangan pengantin baru ini di nikahkan karena ketidak sengaja an. Dan lagi mereka benar-benar tak saling mengenal satu sama lain.
"Alhamdulillah, nyaman, mie."
"Apa suami mu memperlakukan mu dengan baik?" Kini Abie Ansell yang bertanya. Pasalnya dia tahu seperti apa putranya itu, Afham selalu mendadak menjadi dingin sedingin gunung es kalau dia sudah membahas pernikahan dan seolah tak tertarik dengan wanita sedikit pun. "Dia tidak pernah mau saat dulu Abie suruh mencari istri, jadi kalau dia tak memperlakukan mu dengan baik. Bilang saja pada Abie biar Abie yang memarahinya."
"Abie." Afham sampai bersuara, ayolah jangan mengungkit itu di depan Vania.
Vania malah tersenyum, jadi benar kata Sifa kalau suaminya ini sebelumnya tidak pernah berhubungan dengan wanita manapun, dia jadi senang karena bisa menjadi yang pertama, dan semoga untuk selamanya. "Tidak kok, Abie. Tidak perlu khawatir, karena Kak Afham memperlakukan ku dengan baik."
"Syukurlah kalau demikian. Jadi sekarang mau kemana rencana kalian. Kenapa terlihat rapi begini. Apa mau berkencan?" tanyanya ummi berusaha menggoda. Lihat bahkan Afham yang biasanya begitu cuek dengan penampilannya kini terlihat begitu rapi.
"Iya. Mie. Jadi kita pamit dulu." ucap Afham dengan cepat.
Vania sampai bersemu merah, tidak harus blak-blakan seperti itu juga kan, terlebih suaminya ini benar-benar langsung pamitan dan meraih tanyanya mengajak nya langsung pergi.
"Kak." Vania kini bicara saat mereka sudah ada di luar, dan Afham sudah membukakan pintu mobil untuk nya. Dia ingin bertanya sesuatu mengingat perkataan Abie tadi. "Kenapa sebelumnya tidak mau menikah?"
Afham masih belum menjawab, dia memilih masuk dulu dan memposisikan duduknya, "Entah, mungkin karena dulu belum waktunya." jawabnya singkat sambil menatap wajah yang begitu penasaran dengan jawaban nya.
"Kenapa, bukannya kata Sifa banyak yang menyukai Kakak, Kak Afham tinggal memilih salah satu dari mereka dan menikahi nya." Vania kembali bertanya, kurang mapan apalagi coba, kekayaan sudah tak harus di ragukan, ilmu berumah tangga sudah ada, terlebih Kak Afham pasti lebih tahu kalau menikah di sunat kan untuk menyempurnakan ibadah kita.
"Karena Adek dulu belum muncul, dan muncul nya kemarin malam." Afham menjawab dengan begitu lugas. Dan detik selanjutnya langsung tersenyum melihat wajah yang sudah tersipu malu itu. "Coba kalau Adek munculnya dari dulu mungkin kita sudah punya anak." ucapnya lagi malah menggoda.
Vania sampai di buat malu, mendadak keadaan di dalam mobil terasa begitu panas, begitu enteng sekali suaminya itu menggoda nya padahal membahas anak padahal mereka saja belum melewatkan malam pertama.
"Dek pinjam tangan, adek."
"Tangan?" Untuk kedua kalinya Vania di buat keheranan, kali ini apa lagi kenapa suaminya itu kembali meminta tangan nya. "Untuk apa?"
"Kemari lah." Afham hanya tersenyum dan meraih tangan Vania. Satu tangannya lagi merogoh sebuah kotak kecil yang sudah dia siapkan sebelumnya. Di ambilnya sebuah cincin dari kotak kecil itu dan dia pasangkan di jari manis Vania. "Jika kemarin untuk sidik jari, ini untuk tanda bukti pernikahan kita. Jangan sampai hilang." tuturnya menjelaskan.
Vania sampai tertegun, sedikit pun tidak mengira Afham akan memberikan cincin. Bahkan dia baru sadar kalau dari tadi Afham sudah menggunakan cincin dengan mede yang sama. "Apa ini cincin pernikahan kita?"
"Iya, Maaf bila cincin nya tidak sesuai dengan selera Adek," Afham langsung mengelus jemari tangan sang istri. Jujur kalau hari ini tidak ada janji untuk menemui Alvero dia akan mengajak Vania untuk memilih sendiri cincin sesuai keinginannya, tapi mengingat waktunya sudah mendesak dan dia harus memperlihatkan kalau mereka benar-benar sudah menikah membuat dia meminta orang lain untuk membelikan cincin itu.
"Tidak apa-apa, aku suka." Vania malah tersenyum lebar, bentuknya tidak penting, simbolis nya yang membuat dia senang, dia bisa memamerkan kalau mereka pasangan suami istri. Lelaki yang bak begitu sempurna ini adalah suaminya, dan tidak boleh ada yang mengambilnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments
Haaimah Nurhaimah
adakah di afham di dunia nyata??
2024-03-21
0
MasyaAllah yatuhan ku, tinggal kn slah satu buat para permpuan dimuka bumi ini seperti sangat ustad ya allah🤲🤲 amiin
knp baru sekrng menemukan novel sebagus ini
alhamdulillah msih blon terlambat/Smile/
2024-02-29
1
🦋⃟ℛ★🦂⃟ᴀsᷤᴍᷤᴀᷫ ★ᴬ∙ᴴ࿐❤️💚
Tak akan ada yg mengambil Babang Afham dari kamu Vania 🤭🤭🤭
Lagi kak Plisss 🤭🤭
2024-01-04
0