"Maaf, Dek. Pinjam tangan Adek."
Afham langsung mengulurkan tangannya meminta tangan sang istri saat sudah sampai di depan pintu kamar. Dia harus mencocokkan data dan kembali men-setting kunci pintunya.
"Tangan?" Vania sesaat bingung, tapi detik selanjutnya langsung mengerti saat suaminya itu mengutak-atik layar monitor kecil di pintu kuci kamar itu.
"Sandi nya tanggal pernikahan kita, Adek jangan sampai lupa." Afham langsung menjelaskan, dan setelah Vania memberikan tangannya dia langsung menggenggam tangan itu menuntun nya menyentuh layar untuk memverifikasi sidik jarinya.
Tit....tit.... "Sidik jari baru terkonfirmasi."
Suara sistem dalam kunci tiba-tiba bersuara membuat Vania kaget di buatnya,
"Astaghfirullah..."
"Kenapa Dek?" Afham sampai tersenyum kecil, terlebih ekspresi kaget itu terlihat menggemaskan. Sesaat, rasanya masalah yang tadi dia bawa dari bawah sirna begitu saja. "Bukannya ini bukan hal baru untuk Adek. Hampir semua hotel yang Daddy akuisisi mengunakan akses kunci seperti ini."
Vania sampai menunduk malu. Padahal bukan karena dia tak tahu, pikirannya hanya sedang tidak fokus saja, di kepalanya masih terngiang-ngiang perkataan Khumaira, yang menyuruh nya untuk merayu sang suami agar perasaanya lebih baik, terlebih meski sidik jarinya sudah terdaftar, Afham masih terus menggenggam tangan nya dengan begitu lembut membuat dia semakin gugup.
"Kak," dia sampai reflek menatap Afham. Sekarang yang lebih penting bukan tentang kegugupan nya. Tapi tentang kenapa bisa Suaminya itu tahu kalau Daddy nya mengakusisi semua jaringan Hotel padahal dia belum bercerita tentang kehidupan pribadinya sedikit pun.
"Apa semua peralatan akses kunci itu, Daddy pesan dari perusahaan Kak Afham?" tanyanya menebak.
"Iya." Afham menjawab singkat. Sesaat dia kembali mengingat perkataan Farhan tadi, bahwasanya produk barunya sekarang di tolak oleh general manager hotel, kaki tangan Pak Edward Ayah mertuanya dan tak lain kekasih istirnya ini, haruskah dia membicarakan masalah ini sekarang. Mengingat saat sebelum Alvero terlibat di hotel, proposal produk nya tak pernah ditolak oleh pihak hotel manapun.
Akh, tapi rasanya ini bukan waktu yang tepat, dia harus membuat Vania nyaman dulu di lembaran hidup barunya. Dia memilih kembali menuntun tangan Vania untuk mencoba membuka pintu itu untuk kembali memastikan sistem nya. "Sudah, jadi segala akses pintu didalam kamar sudah bisa langsung terbuka hanya dengan adek nyentuh nya saja."
Vania sesaat tertegun, terlebih saat pintu kamar itu benar-benar terbuka lebar dan Afham langsung menuntunnya masuk ke dalam. Di lihatnya ruangan itu yang begitu luas dan mewah membuat dia begitu penasaran ada beberapa pintu di dalam sana. Satu, dua, tiga bahkan ada empat pintu yang entah tempat apa saja itu. Dia sampai terheran-heran ternyata di sebuah kamar terdapat banyak lagi ruangan. Sedikit berbeda jauh dengan kamar Khumaira.
Mata Vania kini tertuju pada layar monitor yang sama persis seperti yang ada di kamar Sifa. "Kak, lalu bagaimana dengan produk yang itu, apa semuanya berjalan lancar?" tanyanya penasaran, walau cukup ragu dia harus memastikan. Karena sudah pasti kalau produk itu gagal itu karena kesalahannya.
Afham sesaat memandang yang di tunjuk Vania dan kembali menatapnya. "Apa Khumaira sudah menceritakan nya?" tanyanya sambil menuntun sang istri untuk duduk di sofa kamarnya. Dan kini mereka berdua tengah duduk di sofa yang hanya berjarak beberapa senti saja.
"Iya." Vania langsung mengangguk, dan detik selanjutnya kembali menunduk saat sadar jarak mereka terasa begitu dekat. Ayolah sedikit tentang, kenapa dia menjadi gugup seperti ini. "Dia suami mu Vania, kau harus menjadi istri yang baik." Lagi-lagi menguatkan hati. Karena kata-kata Khumaira tertancap kuat di kepalanya.
"Sampai mana Khumaira menceritakan semuanya." Afham kembali memastikan, walau tadinya dia tak ingin membahas ini tapi Vania sendiri yang malah membahasnya. Khumaira ternyata cukup bawel untuk menceritakan segala urusannya.
"Semuanya. Dan apa mungkin hasilnya tidak sesuai harapan," Vania memberanikan diri untuk bicara. Bagaimana pun lelaki ini suaminya. Dan sebisa mungkin dia akan berusaha meringankan beban nya.
Afham yang awalnya sudah menyandarkan tubuhnya di sofa sampai kembali duduk dengan tegak, "Apa terlihat begitu jelas?"
"Iya, Kak Afham terlihat murung saat memasuki kamar Khumaira tadi."
Afham sampai tersenyum kecil, sungguh polos gadis ini sampai berkata dengan begitu jelas tanpa basa-basi, "Iya, memang ada sedikit masalah." jawabnya jujur. Meski tidak bisa langsung blak-blakan, setidaknya dia akan bicara perlahan.
"Apa, apa mungkin gara-gara aku?" Vania sampai antusias, bahkan tanpa sadar mengubah posisi duduknya menyerong menghadap suaminya itu. "Apa karena Kak Afham tak ikut persentasi gara-gara harus menikahi ku, proposal produk nya jadi gagal?" tanyanya lagi.
Afham sampai tersenyum kecil, bahkan sampai kaget karena dengan sendirinya kini Vania mau menatapnya dengan jarak begitu dekat. "Bukan, bukan gara-gara Adek." jawabnya dengan lembut. Bahkan tangannya kini bergerak pelan menyentuh pipi gadis itu dan mengelusnya. Rasanya ingin sekali dia bicara blak-blakan. Namun dia takut malah membuat gadis ini tak nyaman.
"Maaf, boleh ku buka kerudung, Adek." pintanya masih dengan menatap wajah cantik yang sudah bersemu merah itu. "Adek harus menggunakan ini saat di luar, tapi saat bersama ku adek bebas membukanya."
Seketika Vania sampai menjerit dalam hati. Oke di tahu lelaki yang tengah membelai wajahnya itu adalah suaminya, dia bebas mencumbu, merayu, bahkan menyentuh dari seujung rambut sampai seujung kuku lebih dari itu, tapi bukannya ini bukan waktu yang pas saat dia sedang mengkhawatirkan permasalahan kantor nya. Namun, dia tak bisa menolak, dia hanya mengangguk mengiyakan.
Afham kini perlahan membuka kerudung sang istri, bahkan langsung membuka ikatan rambut gadis itu dan mengelus, menggeraikan nya. Kini terlihat jelas, beginilah sosok Vania yang pertama kali dia lihat saat tengah malam itu. "Dek boleh aku bertanya?"
"Iya. Silahkan." Vania hanya bisa menahan kegugupan nya. Ingin rasanya dia mengumpat Sifa. Mana yang katanya Abang nya ini tak punya pengalaman memperlakukan seorang wanita, justru hanya dengan sentuhan seperti ini pun Afham benar-benar sukses merayu nya.
"Apa adek, mengenal Alvero. Alvero Atmajaya?" Tanyanya dengan serius. Maaf jika ini mungkin mengagetkan, tapi dia harus tahu dulu seperti apa sosok Alvero di mata istrinya.
Vania yang awalnya menunduk langsung mengangkat kepalanya menatap bola mata suaminya yang redup itu, mencari apa maksud perkataannya. "Apa Kak Afham sudah tahu tentang dia?" Dia malah membalikkan pertanyaan sang suami. Karena jelas pasti bukan tanpa alasan Kak Afham menanyakan itu padanya.
"Tidak, makanya aku bertanya pada, Adek."
"Kak." Vania sedikit ragu, tapi kalau tidak dia bicarakan malah akan membuat hatinya semakin tidak tenang. "Maaf, tapi tak apa-apa kan aku membicarakan lelaki lain di depan Kak Afham?" Tanyanya lagi memastikan. Pasalnya, saat tadi dia curhat pada Sifa tentang pacarnya itu, Sifa langsung menepuk nya dengan begitu keras. Bahkan adik ipar nya itu langsung menasehatinya panjang lebar.
Dia di larang mengungkit soal Alvero di depan Kak Afham, dan dia benar-benar harus melupakan lelaki itu meski hati nya masih belum bisa seyakin itu untuk melupakan lelaki yang begitu di cintai nya. Namun, dia sudah bertekad untuk melupakan perasaan nya. Dia sudah menjadi seorang istri, dan haram hukumnya jika dia memiliki perasaan pada lelaki lain. Dia bertekad untuk berhijrah dan dia akan berusaha untuk mengubah seluruh hidup nya, termasuk melupakan cinta yang hanya di dasari oleh hawa nafsu saja.
"Iya, ceritakan saja, aku ingin mendengar nya."
"Maaf, dia adalah lelaki yang begitu aku cintai." Dengan sedikit ragu dia menceritakan itu, walau terkesan begitu bodoh tapi itu faktanya. Bahkan saat dia bercerita pada Sifa, dia langsung ditertawakan.
Dia mencintai lelaki yang bahkan lelaki itu tak pernah memberikan cinta yang tulus untuknya. Buktinya saat dia menghilang kemarin lelaki itu sedikitpun tak mengkhawatirkan keadaan nya bahkan tak ada niatan sedikitpun untuk menanyakan keadaan nya. Dan saat itulah dia sadar, kalau cinta nya itu benar-benar salah.
"Tapi itu kemarin, sekarang dan untuk seterusnya tidak." lanjutnya dengan begitu serius, dia benar-benar bersungguh-sungguh. Dia akan mengakhiri rasa cinta itu dan benar-benar membuka lembaran baru. "Aku berjanji akan berusaha menjadi istri yang baik," ucapnya lagi masih dengan menunduk malu.
Afham sampai tak kuasa menahan haru, terlebih saat melihat tekad kuat istri nya untuk berhijrah. "Alhamdulillah. Terima kasih Dek." dia langsung bergerak kembali membelai wajah Vania, merapikan poni yang menghalangi wajah cantiknya, dan kini dia selipkan rambut itu ke balik telinganya. "Dek," panggilnya karena istrinya itu terus menunduk, dia pun perlahan mengangkat wajah itu agar pandangan mereka bisa saling bertemu.
"Iya." Kegugupan Vania kini bertambah dua kali lipat dari tadi, Afham terus menatanya tanpa beralih ke arah lain terlebih wajah tampannya itu kenapa begitu tenang bak hamparan air yang begitu jernih membuat hatinya semakin berdebar.
"Maaf," Afham perlahan menunduk, satu tangannya meraih tangan Vania dan perlahan mengangkat nya, "Maaf aku sempat berburuk sangka." ucapnya lirih sambil mengecup punggung tangan istrinya itu.
"Kak," Vania sampai terhenyak, bukan kah kadang ini terbalik, dia ingin bicara tapi bibirnya terbungkam saat tangan hangat suaminya menyentuh ubun-ubun kepala nya dengan cukup lama bahkan perlahan mengelus nya. "Ya Allah...." Entah perasaan apa yang Vania rasakan sekarang. Bukan hanya berdebar, ada perasaan yang begitu meluap yang bahkan tak bisa dia utarakan dengan kata-kata.
Matanya sampai berkaca-kaca, apa ini yang di namakan cinta dalam tasbih, Afham membisikkan sebuah doa yang bahkan dia tak tahu apa artinya, namun hanya dengan mendengar nya saja hatinya bak berbunga-bunga, tak sampai di sana kini wajah suaminya itu perlahan mendekat, mencium keningnya dengan waktu yang cukup lama bahkan tangannya tak henti mengelus rambutnya.
"Ya Allah...." Hatinya bak melayang, matanya perlahan terpejam membuat air matanya jatuh mengalir begitu saja, tangannya mencengkram ujung pakaian nya saat bibir Afham bergerak turun meluluh lantakkan hatinya, mengecup hidung nya dengan begitu lembut dan kini berakhir mengecup bibirnya dengan sentuhan dan kehangatan yang bahkan belum pernah dia rasakan.
"Semoga Allah senantiasa melindungi dan memberkahi pernikahan kita. Dek."
Bisikkan itu terdengar begitu jelas, dan di saat itulah Vania mulai membuka matanya dan langsung di sambut senyuman indah Afham. Vania hanya tertegun, senang bercampur mulu, menariknya mengukir senyuman membalas senyum hangat suaminya itu. "Aamiin."
"Kenapa menangis?"
Lagi-lagi bisikan hangat itu membuat hati Vania bak berkecamuk, tertunduk malu tak mampu menahan gejolak yang begitu menggelora di dalam hatinya.
Afham yang melihat sikap malu-malu Vania sampai tersenyum kecil, di rangkulannya pinggang istrinya itu dan ia labuhkan di pelukannya. "Istirahatlah, aku tidak akan menuntut apapun jika adek belum siap." ucapnya sambil mengelus rambut Vania. Dan saat gadis itu mengangguk dia langsung membenamkan kecupan di ubun-ubun kepala nya.
"Allahumma inni as-aluka khairaha wa khaira maa jabaltaha alaihi, wa a'udzubika min syarriha wa syarri maa jabaltaha alaihi. Ya Allah, aku memohon darimu kebaikan istriku dan kebaikan dari tabiat yang kau simpankan pada dirinya. Dan aku berlindung kepadamu dari keburukan istriku, dan keburukan dari tabiat yang Kau simpankan pada dirinya.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments
Moh Yasin
MasyaAllah 😍😍
2024-08-15
0
𝕄𝕒𝕤𝕪𝕒𝔸𝕝𝕝𝕒𝕙 𝕜𝕖𝕔𝕖𝕝𝕒𝕜𝕒𝕟 𝕞𝕖𝕞𝕓𝕒𝕨𝕒 𝕓𝕖𝕣𝕜𝕒𝕙 𝕚𝕟𝕚 namanyaaa🤭🤭
2024-02-28
1
Berkah Kafa Jaya
alur yg mengalir & membawa k Baikan🌟🌟🌟
2024-01-13
1