"Ayo melangkah bersama dan berhijrah lah!"
Kata itu terus terngiang di kepala Vania, membuat gadis itu duduk termenung meratapi nasib yang tengah menimpa nya, bahkan setelah suaminya itu keluar dari ruangan itupun kata-kata nya masih teras begitu nyata menggema di telinganya.
"Berhijrah." Bibir Vania bahkan kembali mengulang kata itu, sesuatu yang tak terdengar asing tapi sulit untuk di jalankan. Jika di pikirkan, masalah ini memang begitu pahit, ini benar-benar menyesakkan dada, fakta kalau sekarang status nya sudah berubah bak sebuah jalan buntu yang mengubah kebebasan nya membuat dia begitu terpuruk.
Namun, tragedi ini serasa membawa dia ke jalan yang baru, bertemu dengan orang-orang baru, merasakan suasana baru yang rasanya membuat dia menjadi sosok yang bisa lebih tenang. Mendapatkan kasih sayang dan perhatian bahkan dia pun bisa menerima nasihat yang baru-baru ini mulai memenuhi hatinya bak sebuah percikan cahaya yang mulai menyinari kegelapan dalam hidup nya.
Dia bimbingan, "Bisakah aku berhijrah?" Bibir Vania kembali berucap, mempertanyakan sendiri hal baru yang harus di ubahnya. Bahkan kini dia langsung melihat penampilan nya. Rasanya masih terbayang kemarin dia menggunakan sebuah rok mini dengan tank top yang hanya menutupi setengah perut nya dan kini dia menggunakan sebuah gamis yang benar-benar menutupi bentuk dan lekukan tubuhnya. Benar-benar perubahan yang berbeda seratus delapan puluh derajat dan dia tidak yakin akan bisa dengan mudah mengubah hidupnya.
"Ya Allah." Bibir Vania sampai bergetar, untuk pertama kalinya dia benar-benar serasa menjadi orang yang paling buruk dan orang yang paling kotor dengan lumpur dosa yang sudah sangat berkarat. Rasanya meski sekalipun kotoran itu di bersihkan pasti sisa karat karat itu tidak akan hilang.
"Sekalipun aku mengikuti jalannya, aku tidak yakin akan kuat dan aku pasti akan kembali pada jalan ku sendiri." Gumamnya lagi.
Vania kini bangkit, sebelum Afham keluar, katanya suami nya itu akan menjalankan sholat Dzuhur berjamaah di mesjid, dan dia di izinkan untuk melakukan apa saja di ruangan ini. Dan dia benar-benar akan melakukan itu.
Pertama, karena perutnya benar-benar lapar, dia harus mengisi dulu perutnya, menghabiskan semua cemilan-cemilan yang tersisa. Bahkan saat air minum di dalam gelasnya sudah habis, dia benar-benar berani meneguk air di gelas bagian suaminya.
"Tidak apa-apa kan, toh dia suamiku. Bahkan tanpa tahu malu aku mau mau saja di suapi oleh nya." Celoteh nya mulai riang sendiri. Bahkan tanpa ragu dia benar-benar menghabiskan semua cemilan itu.
Iya, begitulah Vania. Sebenarnya dia gadis yang periang, hanya masalah ini saja yang membuat gadis itu terpuruk, bak terkurung dalam kesedihan yang tak berarti.
Tiba-tiba sebuah ponsel berbunyi, mata Vania langsung bergerak cepat mencari keberadaan ponsel itu, dan saat tahu kalau itu pasti ponsel Afham karena ada di maja ruangannya dia pun langsung menghampirinya.
"Khumaira." Vania malah gugup, ini panggilan dari adik suaminya dan dia bingung harus bagaimana terlebih panggilan itu tak berhenti henti. "Haruskah aku mengangkatnya?" Dia langsung mengambil ponsel itu tapi saat benar-benar sudah ada di genggaman tangan dia kembali ragu. "Aisst, tidak boleh Vania. Tidak sopan kau bukan pemiliknya."
Saat rasa bimbang melanda, tiba-tiba ketukan pintu terdengar dari luar.
"Assalamualaikum, Nak Vania. Ini Ummi."
"Oh, Ummi. Syukurlah, mungkin ummi bisa mengangkat panggilan ini." Vania langsung berlari menuju pintu masih dengan menggenggam ponsel itu. "Waalaikumsalam, ummi." ucapnya dengan cepat dan langsung memberikan ponsel itu. "Maaf, ummi. Ini dari tadi terus berbunyi, sepertinya penting." ucapnya tanpa jeda, bahkan dia sampai lupa mempersilahkan ibu mertua nya untuk masuk dulu.
Ummi Aisyah sampai terkejut, terlebih saat melihat ekspresi Vania, syukurlah gadis ini sudah mulai peduli dengan urusan suaminya. "Khumaira." Setelah memastikan siapa di balik panggilan itu, ummi kembali mantap Vania dengan senyuman. "Apa Afham sudah menceritakan siapa Khumaira?" tanyanya memastikan.
"Iya, Ummi. Mari masuk dulu." Akhirnya Vania sadar dari tadi mereka terus berdiri di depan pintu. "Maaf, Kak Afham nya sedang ke mesjid."
Ummi hanya tersenyum, dia sudah tahu karena Afham sendiri yang memintanya melihat keadaan Vania selama dia berada di mesjid. "Itu ponsel suami mu, kenapa tidak langsung mengangkat nya?" tanyanya. Walau Vania orang baru bahkan mungkin orang asing, urusan suami tetap seorang istri yang terlebih dulu mengurus nya, dan ummi berusaha menghargai itu.
"Tidak Mie. Biar Ummi saja."
"Iya, duduklah. Biar Ummi mengangkat panggilan ini dulu!"
"Assalamualaikum, sayang."
"Waalaikumsalam, Ummi. Bang Afham nya mana?" Khumaira langsung bertanya, pasalnya ini urusan yang mendesak dan dia harus langsung bicara pada sang pemilik ponsel ini. "Tadi Bang Afham memberi ku list barang yang harus ku beli tapi bang Afham tidak menuliskan ukuran yang pasti." ucapnya lagi menjelaskan.
Ummi sesaat terdiam, biasanya kalau ada keperluan Afham selalu meminta bantuan sekretaris nya, tapi kenapa sekarang meminta bantuan Khumaira. "Abang mu sedang ke mesjid. Memang apa saja yang mau di beli?"
"Pakaian dalam, pakaian yang tertutup dan kerudungnya, baju tidur, sandal dan sepatunya. Ini keperluan Kakak ipar Mie. Katanya ini untuk hari ini saja karena untuk keperluan kedepannya Bang Afham sudah menyuruh sekretaris nya."
Ummi Aisyah langsung tersenyum, rupanya putranya itu sudah mempersiapkan semuanya dengan baik tanpa dia peringati. "Gunakan saja ukuran mu, Nak. Bukan hanya seumuran, kamu dan kakak ipar mu memiliki ukuran tubuh yang sama."
"Benarkah, apa dia cantik?" Mode kepo Khumaira mulai on. Bagaimana pun meski dia sudah tahu jalan cerita pernikahan mereka seperti apa, dia tetap ikut bahagia ada orang baru di keluarga nya. Dan dia penasaran, seperti apa wajah Kakak ipar nya itu.
"Iya, dia cantik." Ummi Aisyah sesaat menengok menatap Vania, dari segi visual, beliau juga kagum melihat kecantikan Vania, kulitnya putih, bibirnya yang tipis berpadu dengan hidung nya yang mancung terlihat begitu menggemaskan, bahkan rambut panjang nya juga terlihat indah menambah keanggunannya. "Pulang nya langsung ke pesantren saja, saat kalian sudah bertemu, kalian pasti akan cepat akrab." tuturnya lagi.
***
Waktu sudah menjelang sore, Afham terlihat baru kembali ke kamarnya setelah menyampaikan beberapa kajian yang ternyata hari ini memang merupakan jadwalnya. Walau tak enak meninggalkan Vania, tapi dia sudah meminta sang Ummi untuk menemani nya.
"Assalamualaikum, Dek!" Dibukanya pintu itu, dan begitu terkejutnya dia saat matanya melihat Vania sedang menyisir rambut panjangnya dengan keadaan tanpa pakaian lengkap dan hanya mengenakan kemeja putih miliknya yang hanya menutupi setengah bagian pahanya saja. "Dek!" Hampir saja dia mau keluar lagi karena lupa kalau itu istrinya.
"Kak Afham sudah kembali?" Vania tak kalah kaget, langsung berdiri tegak dengan menunduk malu, tangannya bahkan reflek menarik-narik ujung kemeja itu agar sedikit lebih menutupi bagian pahanya. "Begini...." dia sampai terbata-bata bingung harus menjelaskan semuanya dari mana. Semakin buruk lah dia di mata Afham karena tanpa permisi menggunakan pakaiannya.
"Maaf, tadi Ummi membawa makanan, dan tanpa sengaja aku menumpahkan nya sampai mengenai baju. Semuanya kotor dan bau amis. Aku langsung mandi, dan karena tidak ada baju ganti aku terpaksa menggunakan pakaian Kakak yang menggantung di sana." Vania bahkan langsung menunjuk dari mana pakaian itu tadi berada, "Maaf aku tidak minta izin dulu." ucapnya lagi dengan mimik penuh penyesalan.
"Iya, tidak apa-apa." Seketika Afham malah tersenyum, antara kasihan dan lucu melihat ekspresi Vania, bak sedang kepergok melakukan kesalahan, ekspresi nya itu malah seperti kucing jinak yang mengeong-ngeng minat ampunan. Tapi terlepas dari itu, kalau makanan nya sampai tumpah, berarti tidak ada yang termakan sedikit pun. "Jadi Adek belum makan siang?"
Vania langsung menatap suaminya nya itu, "Jadi dia tidak marah?" batinnya harap-harap cemas. Bukannya menggubris tentang pakaian nya lelaki itu malah bertanya akan hal lain. "Sudah, tadi hanya sisanya yang tumpah saat aku ingin membereskannya." Ucapnya menjelaskan, tadinya dia ingin belajar beres-beres tapi apalah daya tangan nya itu tak terbiasa yang ada keadaan kamar malah menjadi seperti kapal pecah.
Afham hanya bisa menghela nafas, tak apa sampai berantakan asal Vania merasa baik-baik saja, dia pun kini langsung melangkah menghampiri meja bermaksud mengambil ponselnya, "Apa Khumaira belum ke sini?" tanyanya memastikan, padahal tadi di ruang utama dia sudah melihat Azzam, tapi adiknya itu belum juga menemui Vania, padahal dia membutuhkan baju ganti untuk istrinya ini.
Belum juga Vania menjawab, ketukan pintu terdengar bersamaan dengan ucapan salam.
"Assalamualaikum Bang. Aku masuk ya!"
"Waalaikumsalam, Iya."
Yang di tunggu-tunggu akhirnya datang juga, sepertinya Khumaira sengaja menunggu Afham kembali dari mesjid untuk menemui kakak ipar nya. Vania yang merasa penampilan nya begitu memalukan langsung bersembunyi di balik punggung Afham, padahal tadinya dia ingin meminta waktu sebentar untuk dia menutup dulu tubuhnya tapi Khumaira sudah masuk terlebih dahulu.
Dengan begitu santai Khumaira masuk, kedua tanyanya bahkan menenteng beberapa paper bag yang berisikan pesanan Abang nya. "Mana istri Abang?" tanyanya belum sadar kalau yang dia cari ada di belakang kakaknya itu.
"Dek!" Afham sendiri bahkan tak sadar kalau istrinya itu ada di belakangnya. "Tidak perlu bersembunyi, dia adikku."
Brug.... Semua paper bag itu terjatuh ke lantai, Khumaira benar-benar kaget ternyata istri kakaknya ini orang yang dia kenal.
"Vania..." Bahkan suaranya sedikit berteriak saking kagetnya. Dia di beri tahu kalau nama nya Vania tapi tidak mengira kalau ini Vania teman kampus nya. "Ini beneran Vania Edward?" tanyanya lagi sambil melihat penampilan Vania dari atas sampai ujung kaki.
"Sifa!" Vania tak kalah kaget, akhir dari sekian banyak orang yang dia temui ada juga orang yang dia kenal. Dia bahkan reflek langsung memeluk kawan kampus nya itu. "Siapa sebenarnya nama mu, kenapa Kak Afham memanggil mu Khumaira." dengan polosnya Vania langsung bertanya di sela-sela pelukan mereka.
"Khumaira as-sifa, itu nama panjang ku." Khumaira kini langsung melepaskan pelukannya, sekarang bukan tentang nama yang penting. "Kenapa kau seperti ini? Apa bang Afham tidak memberi mu pakaian." tanyanya sambil mengelus pundak kakak ipar nya itu. Setelahnya dia langsung menatap sang Abang dengan begitu tajam.
"Bang, Abang bisa kan meminjam pakaian Azzura dulu. Dasar suami tidak bertanggung jawab." ucapnya kesal. Bahkan tangannya juga ikut kesal reflek memukul lengan kakak nya itu.
Afham sendiri hanya bisa melongo sambil terbatuk-batuk. "Kalian saling mengenal?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments
Moh Yasin
udah ada bestie
2024-08-14
0
🦋⃟ℛ★🦂⃟ᴀsᷤᴍᷤᴀᷫ ★ᴬ∙ᴴ࿐❤️💚
iya donk bahkan sebentar lagi bakal jadi Tim Bar Bar buat recokin mu Babang 😆🙈
2023-12-29
1
🦋⃟ℛ★🦂⃟ᴀsᷤᴍᷤᴀᷫ ★ᴬ∙ᴴ࿐❤️💚
wkwkkwkw Abang nya lagi yg salah 🤭
2023-12-29
0